Asheeqa 8
بِسْــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dalam hidup kenyataan adalah yang terpenting. Bukan hidup dengan penuh kerahasiaan, walaupun menyakitkan tapi itulah kenyataannya.
-Asheeqa-
Sedari kecil rasa ingin tahuku selalu lebih dominan. Apa aja yang membuatku bingung atau bertanya-tanya selalu aku ungkapkan pada bunda ataupun abah.
Kenapa burung bisa terbang? Kenapa ada siang malam? Atau yang lebih membingungkan saat itu bagiku. Kenapa aku punya bunda, abah, abi dan umi. Dan mengapa aku harus menghormati dan menyayangi abi dan umi seperti layaknya mereka adalah orang tua kandungku. Bukannya seorang anak hanya punya ibu dan ayah, atau bunda dan ayah, atau umi dan abi, atau mamah dan papah. Tapi kenapa aku punya dua ibu dan satu ayah serta abah kakekku. Kenapa aku tidak punya dua ayah, dan dua ibu.
Sejak kecil aku hanya tahu kalau orang-orang yang di dekatku, yang memperlihatkan kalau mereka adalah orangtuaku, ya hanya mereka berempat. Bukan satu orang lagi yang seharusnya aku memanggilnya dengan sebutan ayah, pasangan bunda. Kenapa hanya ada abah yang selalu di dekat bunda, bukan ayah.
Abi dan umi saja selalu bersama kenapa bunda dan ayah tidak? Kenapa hanya ada abah. Dan siapa umi dan abi? Siapa mereka untukku. Kenapa mereka selalu bilang kalau mereka juga orangtuaku.
Abah hanya tersenyum dan mendudukkanku di pangkuannya. Umurku saat itu 9 tahun. Aku selalu menanyakan hal yang sama tentang umi dan abi itu siapanya aku. Dan kenapa orang-orang selalu menanyakan kemana ayah kandungku. Bukannya udah ada abi. Tapi kenapa mereka selalu menjawab abi bukan ayah kandungku. Terus siapa ayah kandungku?
Abah membelai rambutku yang terurai panjang. Bunda yang di sebelahku juga hanya tersenyum, tapi aku tahu senyum bunda palsu. Ada rasa khawatir dan takut di matanya yang berkaca-kaca. Ketika aku menanyakan hal yang sama selama berapa hari ini.
"Asheeqa cucunya abah. Kebanggaan abah, kesayangan abah, cintanya abah. Bunda adalah ibu kandung kamu yang mengandungmu selama sembilan bulan dan yang melahirkanmu." Ucap Abah memulai perkataannya.
Aku menatap bunda sekilas dan tersenyum. Aku dari kecil tahu, kalau hari-hariku selalu di temani bunda. Makan di suapin bunda dan tidur pun bareng bunda.
"Abi sama umi siapanya aku bah? Kok kata Dito, 'abi bukan ayah kandungku.' Aku hanya punya bunda dan aku nggak punya ayah." Kalimat inilah yang akhirnya aku ungkapkan. Sekian lama aku memendamnya. Hanya aku simpan rapat-rapat dan menguncinya di lemari terdalam dari hatiku. Jujur sebenarnya saat pertama kali mendengar perkataan itu, ingin rasanya aku langsung tanyakan pada bunda ataupun abah yang tinggal bersamaku. Tapi aku takut membuat mereka khawatir tentang kehidupanku di sekolah yang ternyata selalu jadi bullyan teman-teman.
Sejak memasuki bangku sekolah dasar, aku selalu diejek kalau aku nggak punya ayah. Tapi aku selalu menjawab kalau aku punya abi. Bukannya abi itu panggilan buat ayah. Kenapa mereka masih saja memperolok-olokku kalau aku nggak punya ayah. Walaupun abi dan umi tidak serumah denganku, abi akan datang kerumah saat pagi untuk mengantarku, bang Igo dan bang Aries berangkat sekolah. Dan bunda akan datang menjemput kami sepulang sekolah. Begitu setiap harinya, kadang aku juga menginap di rumah mereka.
Bunda memegang tanganku, dan tersenyum walaupun airmata di pelupuknya tak terbendung lagi. Umi dan abi yang ada di depanku juga terlihat sedih, mendengar apa yang aku katakan. Mereka baru tahu, kalau selama ini aku di ejek. Tapi aku selalu bilang kalau di sekolah semua sayang Asheeqa.
"Kaka." Panggil Bunda lembut. Bunda memang lebih suka memanggilku dengan sebutan kaka, dibanding dengan sebutan ade dari umi dan abi. Kata bunda kaka diambil dari namaku Asheeqa. Kalau di panggil Asheeq (Asik- penyebutannya) nanti dikira bunda lagi nyanyi lagu dangdut.
"Kaka, umi ini yang nyusuin kaka waktu bayi." Terang bunda.
"Ko umi yang nyusuin kaka bun?" Tanyaku bingung. Bukannya kalau orang yang nglahirin pasti juga nyusuin anaknya.
"Waktu bunda nglahirin kaka, bunda sakit makanya umi Yuka yang nyusuin kaka." Kata Abah mencoba menjelaskan.
"Umi sakit, nggak bisa ngasih ASI sama kaka. Waktu itu bang Aries baru berumur satu tahun dan masih menyusu sama umi. Dan dengan baiknya bang Aries berbagi susu sama Kaka." Kini Umi yang bersuara.
"Jadi kaka nggak minum ASI-nya bunda?" Tanyaku dengan polos.
"Setelah bunda sehat, kaka minum susu bunda kok."
"Ohh, jadi umi itu kayak Halimah Sadiyah ya bah?" Tanyaku mengingat sejarah baginda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam.
"Iya kaka. Makanya umi dan abi juga orangtua kaka. Bang Igo dan bang Aries juga saudara kaka." Jelas bunda yang menjelaskannya padaku yang masih kecil.
Abi dan umi tersenyum, dan mereka meyakinkanku kalau aku adalah anak mereka juga. Memang bukan darah abi yang mengalir di tubuhku, tapi hanya air susu umi yang aku minum selama dua bulan.
Dan sekarang saat aku berumur dua puluh dua tahun. Aku tahu maksud perkataan bunda dan abah dulu. Tentang siapa umi, abi, bang Aries dan bang Igo. Dalam Al Qur'an juga tertulis jelas, kalau seseorang yang meminum air susu dari ibu yang bukan ibu kandungnya, dia akan mempunyai mahram sesuai nasab sang ibu yang menyusuinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ
“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….”(an-Nisa: 23)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةِ
“Ya. Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (HR. al-Bukhari no. 5099 danMuslim no. 1444)
Sebenarnya bunda dan abah juga tidak pernah merahasiakan siapa sosok ayah kandungku. Bunda pernah memperlihatkan sebuah foto yang sedikit usang. Foto dua orang pengantin, aku kenal wanita cantik yang memakai baju pengantin dia itu bunda. Sedangkan seorang pria disampingnya yang memakai stelan jas kata bunda itu ayahku. Ayah yang nggak bisa bersama denganku dan bunda. Hanya selembar kertas dari pengadilan agama, yang memperlihatkan alasan kenapa bunda dan ayah tak bisa bersama.
Tapi lagi-lagi aku hanya mengenal abah dan abi yang menjadi ayah untukku. Bukan dia yang hanya terlihat di foto itu, dan hanya tertulis di akta kelahiranku. Makanya aku tidak memusingkan kenapa dia tidak ada di sampingku, ketika anak-anak yang lain di antar oleh ayahnya ke sekolah. Toh aku punya abi yang mengantar aku ke sekolah . Dan aku juga tak mempermasalahkan saat ayah teman-temanku dengan bangganya mengambil raport. Toh aku punya abah, yang menggantikan bunda saat berhalangan hadir mengambil raport di sekolah. Satu hal lagi aku tidak pernah marah sama bunda dan abah kenapa saat aku sakit nggak ada sosok ayah yang menjagaku ketika malam. Yang rela bergadang menunggu panas badanku turun. Semua rasa tidak adanya ayah di kehidupanku aku simpan rapat-rapat, dan tak pernah aku ungkapkan bagaimana perasaanku sebenarnya.
Aku selalu bersyukur dengan apa yang aku punya. Bersyukur ada bunda, abah, umi, abi dan kedua abangku yang selalu menjagaku.
Tapi aku bisa menjadi terpuruk dan lemah, bahkan menangis hingga tak ada kata atau suara yang aku keluarkan karena sakitnya hatiku. Saat tahu sebuah rahasia besar ketika bunda mengandung hingga melahirkanku. Rasanya tak ada kata yang pantas buat aku bangga untuk menjadi anaknya. Buat aku bahagia menjadi anaknya. Dan membuatku benci kalau aku harus jadi anak shaleha yang menutup aurat agar ayah terhindar dari api neraka. Karena mempertanggung jawabkan apa saja yang aku lakukan di dunia ini.
Dia nggak seperti abah, yang menyayangiku, mengasihiku, menafkahiku dan mendidikku. Bukannya itu adalah tanggung jawab dia sebagai seorang ayah. Kenapa abah dan abi yang mengemban tanggung jawab itu. Kenapa bukan dia.
Di dunia ini kenapa ada anak durhaka. Kenapa tidak ada ayah durhaka atau ayah mendzalimi anak dan istrinya. Yang menelantarkan istrinya saat hamil. Dan meninggalkannya saat melahirkan. Hingga bunda harus koma satu bulan lebih setelah melahirkanku. Abah harus menjual seluruh hartanya demi mengobati bunda. Beruntung ada abi dan umi yang membantu abah membiayai perawatan bunda di rumah sakit. Memberikan ASI untukku.
Airmataku kembali mengalir ketika aku mengingatnya. Aku memaksa pada abah dan bunda untuk menceritakannya. Tapi, aku nggak habis pikir kenapa bunda dan abah melarangku membencinya. Dan melarangku tidak menganggap kalau dia ayahku. Bunda abah begitu mulianya hatimu. Buat Asheeqa sepertimu bunda, nggak ada dendam dan sakit hati di dada ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top