Enam :: Bian Lupa
"Ngapain kamu di sini?"
Eri tersenyum lebar sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Sttt. Ibu jangan rame-rame."
Ibu terkekeh, lalu menarik lengan Eri agar masuk ke dalam rumah. "Nggak boleh ngintip. Ayo masuk, nanti dimarah Ramah."
Eri mengangguk. Kendati hatinya tak ingin lekas berlalu dari sana, Eri tetap melangkah masuk. Lebih baik pergi sekarang daripada ramah yang menyeretnya masuk ke dalam rumah.
Untungnya saat tiba di dalam, ramah sedang asik bersama televisi. Menonton berita kesayangannya di channel TV satu. Eri memilih untuk segera masuk kamar, daripada harus berduaan bersama ramah di ruang TV. Ia tidak akan mengerti selama apa pun ramah mencoba membicarakan tentang berita-berita itu dengannya. Jadi Eri cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Lagipula ia juga penasaran, apakah Bian akan menempati kamar lamanya atau tidak.
Dengan semangat menggebu, Eri menatap kamar seberang sana seksama. Melihat apakah lampu itu sebentar lagi menyala atau tidak. Karena baru-baru ini ia mengetahui fakta bahwa kamar Bian hanya dipakai ketika tamu datang. Mengingat setelah laki-laki itu pindah, rumah itu ditempati salah satu saudara ayah Bian yang masih belum memiliki anak. Eri kira, kamar itu juga ikut ditempati, tapi ternyata tidak. Untung Eri tidak pernah melihat hal-hal aneh terjadi di kamar seberang itu. Kalau iya, mungkin Eri tidak akan berani menatapnya seperti sekarang.
Lampu kamar itu masih mati. Mungkin Bian dan keluarganya sedang sibuk membereskan barang-barang bawaan mereka. Meski Eri tidak bisa bertemu Bian secara langsung sekarang, setidaknya Bian sudah pulang. Mematahkan kegalauan Eri beberapa waktu lalu, karena perkataan Rika. Terbukti apa yang gadis itu bilang tidak sepenuhnya benar, cowok itu pulang. Walaupun Eri tak tahu apakah Bian melupakannya atau tidak.
🌼🌼🌼
Pagi-pagi buta setelah subuhan, Eri disuruh bunda untuk membuang sampah di depan. Karena oknum yang biasa membuang sampah belum pulang juga, alhasil Eri yang melakukannya. Ramah pasti sedang bergosip bersama bapak-bapak di masjid, pikirnya. Walaupun sebenarnya tidak, ramah tidak suka bergosip. Paling tidak sedang membicarakan isu politik atau ekonomi yang ia tonton semalam.
Dengan baju tidur kebesaran serta mata tak sepenuhnya terbuka, Eri menenteng sebuah kresek besar untuk ia buang di depan gang besar di sana. Di saat yang bersamaan, ia melihat seorang pemuda menenteng tas kresek besar sedang berjalan ke arah yang sama, di belakangnya. Ia tak melihat itu siapa, yang perlu Eri lakukan di sana hanyalah membuang sampah lalu pulang ke rumah. Sambil berjalan, ia menyenandungkan sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering ia dengar. Lalu berjalan lebih cepat saat mendengar suara langkah kaki tak jauh di belakang.
Eri ingin menoleh, tapi takut. Pagi-pagi begini, jarang sekali ada orang lewat. Jadi ia semakin mempercepat langkahnya lalu melempar kresek berisi sampah itu dengan sekuat tenaga ke dalam tempat pembuangan sampah. Saat hendak berbalik, Eri terkejut saat pemuda itu melakukan hal yang sama. Lebih terkejutnya lagi saat Eri melihat pemuda itu adalah pemuda yang sama yang semalam ia lihat. Tidak lain dan tidak bukan adalah Bian.
"Loh, Bian?" katanya pelan.
Entah Bian yang tidak mendengar atau bagaimana. Pemuda itu hanya menatap Eri sekilas lalu melangkah pergi. Meninggalkan Eri yang masih terdiam tidak mengerti.
"Bian lupa, ya." Eri mendesah kecewa. Ternyata memang benar kata Rika. Bian melupakannya.
Eri memilih untuk tidak mengejar Bian atau berjalan di sampingnya. Ia melangkah pelan, jauh di belakang pemuda itu. Menatap diam-diam. Sambil menerka-nerka dalam hati, sebanyak apa Bian berubah hingga tak lagi mengingatnya? Eri sedih tentu saja. Tapi bukan berarti ia harus bersedih hati seperti teman-temannya ketika putus cinta. Toh, Eri bukan siapa-siapanya Bian. Pemuda itu juga berhak melupakannya.
Tapi mengapa rasanya tetap sakit?
Ia menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. Sepertinya Eri harus menenangkan diri sejenak. Agar tidak terkejut saat ternyata Bian benar-benar tidak ingat siapa dirinya. Sudah Eri katakan bukan? Jika Bian melupakannya, ia yang akan membuat Bian kembali ingat. Bagaimanapun caranya.
🌼🌼🌼
Eri menyimpan sepedanya di pinggir sawah, setelah bersepeda hampir 20 menit lamanya. Jarak antara rumah dan tempat ini memang cukup jauh. Tapi entah mengapa ini menjadi tempat terbaik saat Eri merasa sedih. Eri akan berada di sini, menatap hamparan sawah luas, sembari menatap langit cerah. Atau sekedar duduk, menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan atau sekedar mengamati kegiatan petani jauh di depannya.
Jarang sekali ada orang datang selain petani di sini. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Eri betah berada di tempat ini. Jarang terdapat rumah, hanya ada hamparan sawah yang luasnya Eri tidak tahu pasti. Juga beberapa pohon besar di pinggir jalan setapak yang sering kali menjadi tempat Eri duduk di bawahnya. Terkadang, saat berada di sini sendiri, Eri merasa takut. Namun ketakutan itu perlahan sirna saat berkali-kali Eri ke sini dan tak pernah terjadi sesuatu yang buruk.
Kadang ia datang sendiri, kadang bersama Rika. Rika pun setuju, tempat ini menenangkan. Rika juga mengaku, ia pergi ke tempat ini saat sedang merasa penat sendiri.
Kebetulan yang menyenangkan saat Eri duduk di sana selama hampir 10 menit lamanya, seseorang datang menghampirinya. Kebetulan, Rika juga sedang ingin datang.
"Loh? Kamu ke sini juga?" tanya Eri sesaat setelah Rika duduk di sampingnya.
"Sekalian olahraga."
"Padahal jarak dari rumahmu ke sini jauh banget."
"Emang kenapa? Lagian juga udah liburan ini. Bosen di rumah mulu. Nggak ada hiburan."
"Biasanya juga drama mulu. Sekarang nggak ada yang ditonton?"
"Nggak ada yang lebur (seru)."
Eri hanya mengangguk saja. Lalu membiarkan hening melingkupi mereka. Sebenarnya dalam hati, Eri sedang bingung. Apakah ia harus menceritakan apa yang baru saja dilaluinya atau tidak. Sesaat ia merasa tak perlu menceritakannya karena Eri tahu pasti bagaimana respon Rika nanti. Bukankah yang paling tidak suka saat Eri membicarakan Bian adalah Rika? Karena itu, Eri jadi ragu saat hendak bercerita.
"Bian pulang."
Namun Eri memutuskan untuk tetap bercerita. Bagaimanapun juga, Rika lah yang selalu menemaninya kapan pun dan bagaimanapun keadaan Eri. Ya, meski kadang Rika menyebalkan, tapi Rika tetaplah sahabatnya bagaimanapun juga.
Rika tertegun sejenak. Ia menoleh, menatap Eri yang saat itu sedang menunduk. Sesaat, Rika terdiam.
"Dia inget kamu?"
Eri menggeleng.
"Udah aku bilang kan, mending lupain dia aja. Walaupun dia pulang, belum tentu dia inget kamu juga."
Eri hanya mengangguk. Sudah menduga akan seperti ini reaksi Rika jika ia menceritakannya. Tapi apakah bisa ia melupakan Bian saat orangnya saja sudah berada di depan mata? Tak lagi jauh seperti sebelumnya.
Nampaknya akan sangat susah bagi Eri. Mereka tinggal berdekatan, tak menutup kemungkinan Eri akan terus bertemu Bian. Lalu bagaimana cara Eri melupakannya? Pura-pura tak kenal seperti Bian tadi?
Entahlah.
🌼🌼🌼
Madura, 271120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top