5
DANDELION (BUKAN) CINTA SEMPURNA sudah mulai up ya. Tetap di wattt kok. Silahkan mampir. Saya tunggu kehadiran kalian semua.
***
Rey akhirnya kembali bertemu dengan orang tuaku. Keluarga besar memutuskan untuk tidak menggelar pesta mewah. Lagipula aku belum terlalu lama putus dengan Anton. Mereka takut pada omongan orang nantinya. Aku masih tetap mengajar seperti biasa. Karena rencana pernikahan dilaksanakan pada hari sabtu dan berlokasi di Jakarta. Aku memutuskan tidak mengambil cuti. Sebenarnya karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang. Semua tahu kalau selama ini kekasihku adalah Anton. Tapi kemudian tiba-tiba menikah dengan Reynaldi. Ini pasti akan menjadi bisik-bisik dikalangan rekan kerjaku.
Pagi ini aku bangun dengan tubuh pegal. Sebenarnya aku sudah membeli beberapa testpack sejak minggu lalu. Tapi masih enggan menggunakan meski penasaran setengah mati. Namun rasanya pagi ini harus menguatkan diri. Aku sudah telat seminggu. Benarkah sekali berbuat bisa langsung jadi? Dengan malas aku melangkah ke kamar mandi. Berharap kalau pikiran burukku itu tidak terjadi. Apa kata orang kalau seorang guru hamil sebelum menikah? Bagaimana tanggapan orang tua murid dan pihak yayasan nanti?
Hamil adalah sesuatu yang tidak kuinginkan untuk saat ini. Selain pasti mendapat malu, juga tidak yakin dengan pernikahan yang akan kujalani. Hampir sebulan mengenal Rey, aku merasa semakin sulit memahaminya. Selain datar dan pendiam, ia juga seperti banyak menyimpan misteri dibalik kemeja hitam dan putih yang selalu dipakainya setiap hari. Semoga aku masih memiliki alasan untuk mundur.
Kutatap wajah dicermin sambil menunggu. Betapa kuyunya wajahku sekarang. Dimana semburat yang selalu tercetak jelas di sana? Aku seolah kehilangan nyawa. Benar-benar stres karena menyesal. Hingga perlahan muncul garis dua pada kedua testpack. Tubuhku mengigil, kupejamkan mata. Siapkah aku? Bagaimana cara memberitahu papa dan mama? Bagaimana menghadapi orang banyak saat bayiku kelak lahir? Bagaimana dengan pekerjaanku? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku pusing. Hingga kemudian tidak mengingat apapun lagi.
***
Aku sadar, dan akhirnya menyadari berada di sebuah klinik. Mama menatap cemas.
"Jingga sudah sadar?"
Aku menangis karena merasa sudah mengecewakannya.
"Ngga, minta maaf, sudah membuat papa dan mama malu." Aku yakin mama pasti tahu apa yang terjadi sekarang.
Mama menggeleng, ia memelukku. "Yang penting kamu sehat. Jangan mikir yang aneh-aneh. Ingat bayi kamu. Rey sedang dalam perjalanan kemari."
"Papa di mana?"
"Sedang membeli sarapan."
"Apa aku harus dirawat?"
"Katanya tidak perlu. Tapi papamu sudah mengabari pihak sekolah kalau kamu sakit. Mumpung ini jumat, kamu bisa istirahat sampai minggu."
Aku mengangguk. Tak lama papa masuk diikuti sosok Rey. Kutatap dinding berwarna putih.
"Kalian harus bicara. Papa dan mama menunggu di luar." ucap papa sambil mengecup keningku.
"Apa berita itu benar?" tanya Rey saat kami hanya berdua. Aku mengangguk.
"Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita akan ke dokter kandungan untuk lebih memastikan. Aku ingin kalian berdua sehat."
Kutatap wajah dinginnya. Sepertinya ia tidak masalah dengan kehamilan. Tapi tidak juga terlihat bahagia. Entahlah sulit untuk menebak isi pikirannya. Namun kemudian ia duduk di sampingku. Matanya menatap perutku sambil tersenyum tipis.
"Boleh aku menyentuh perutmu?"
"Ya."
Ia mengelus perutku dengan lembut, matanya berkaca. Sepertinya ia tengah berbicara dengan bayi kami. Cukup lama sampai kemudian mengecup perutku yang masih datar.
"Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi tolong jaga dia. Ini memang terlalu tiba-tiba, dan mau tidak mau kita akan menjadi orang tua. Aku berharap kalian berdua sehat." Suaranya terdengar pelan.
Aku hanya mengangguk. Mau bagaimana lagi?
***
Kuantar Jingga pulang ke rumah kedua orang tuanya setelah kami mengunjungi dokter kandungan. Kondisi kehamilannya sangat rentan. Dokter menyarankan untuk istirahat. Meski sebenarnya lebih ingin membawanya ke rumahku sendiri. Untuk pertama kali aku memasuki kamarnya. Cukup besar namun tempat tidurnya kecil. Sepertinya ia penyuka warna kuning dan biru.
"Sorry." Kali ini kalimatku tulus. Jujur, aku belum siap punya bayi. Tapi tidak juga dalam posisi menolak. Masih bingung dengan yang terjadi. Aku yakin, Jingga juga sama.
"Apakah pernikahan kita bisa dipercepat?" tanyaku.
"Nanti kutanya papa."
"Jangan ragu menyampaikan keinginanmu padaku. Aku akan berusaha untuk memenuhi."
"Terima kasih."
Tak lama, papanya meminta kami makan bersama. Kulihat bagaimana interaksi mereka sebagai keluarga. Mamanya melayani kami makan. Setelah selesai aku langsung pamit pulang dengan alasan pekerjaan. Padahal aku kembali ke rumah. Hidupku kini berubah seratus delapan puluh derajat. Tanpa berganti pakaian kurebahkan tubuh di atas ranjang.
Sebentar lagi rumah ini akan memiliki penghuni baru. Lalu akan ada anak-anak yang berkeliaran. Siapkah aku menjadi ayah dan suami? Bagaimana jika Jingga mengetahui siapa aku sebenarnya? Apakah ia akan pergi? Atau bertahan karena ada anak-anak? Kuembuskan nafas kasar. Tak sengaja mataku menatap foto Naina di dinding. Bergegas bangkit dan menurunkan. Kucari kardus lalu memasukkan seluruh barang-barang mantan kekasihku ke dalam. Termasuk pakaiannya yang masih tinggal di dalam lemari. Mencoba menghapus jejak yang ditinggalkan. Tidak ingin kalau Jingga menemukan kelak. Kuletakkan kardus tersebut di tempat sampah. Selesai semua entah kenapa perasaanku lega.
Aku kembali memasuki rumah lalu mengambil makanan kucing. Kemudian duduk halaman hingga satu persatu kucing kampung mendekat. Seperti biasa aku meletakkan makanan di tempat khusus. Mengelus mereka satu persatu. Buat orang mungkin ini aneh, tapi bagiku menjadi salah satu cara untuk mengusir kesepian. Kucing-kucing itu tak berbeda denganku. Tidak memiliki tempat namun beruntung masih bisa bertahan hidup. Tidak ada yang memelihara. Hanya mereka teman sejati yang tidak akan peduli tentang siapa aku sebenarnya. Cukup lama aku duduk di halaman. Beberapa tetangga menatap aneh. Namun sekali lagi, aku tidak peduli pada orang lain.
***
Pernikahan kami dilangsungkan dengan sederhana dua bulan kemudian. Meski begitu seluruh keluarga besar Jingga datang, kecuali salah seorang adik papanya yang tinggal di Manado. Aku tidak terlalu peduli. Mereka menyambutku dengan baik terutama setelah mengatakan bahwa aku benar-benar seorang yatim piatu. Begitu mudah mengelabui mereka yang sebenarnya terlihat berpendidikan. Untuk kali ini Jingga mengambil akhirnya mengambil cuti. Karena dokter memintanya untuk tidak terlalu banyak bergerak. Aku juga mengawasi, biarlah dikatakan posesif.
Jingga mengenakan gaun pengantin dengan model sedikit longgar dibagian perut serta sepatu datar. Sebenarnya aku khawatir karena dari hasil pemeriksaan terakhir, dokter mengatakan kondisi jantung bayi kami kurang baik. Dokter sudah mewanti-wanti agar Jingga jangan terlalu lelah. Beruntung ia tipe perempuan penurut. Bahkan aku berencana untuk memintanya berhenti bekerja jika memang kandungannya bermasalah nanti. Seperti apapun masa laluku, seorang anak tetaplah penting.
Tidak banyak yang diundang. Karyawan kantor terkejut karena undangan pernikahan kuberikan dua hari sebelum hari H. Juga beberapa rekan bisnis lainnya. Apalagi aku menikah dengan perempuan yang bukan Naina. Sehari sebelum pernikahan, aku menonaktifkan kedua kartu yang selama ini dinikmati Naina. Meski pengeluaran di sana tidak terlalu besar. Tapi tetap saja ia masih menggunakan. Aku ingin memberi ruang bagi diriku sendiri dan juga Jingga. Setidaknya kini aku akan menikah dan menjadi suami. Aku akan berusaha agar masa laluku tidak terulang. Kasihan anak-anakku kelak. Kepahitan ini hanya untukku sendiri.
Pesta pernikahan dengan undangan hanya dua ratus orang itu berlangsung singkat. Pukul sembilan malam kami pulang ke rumahku. Dalam perjalanan Jingga hanya diam, sepertinya ia kelelahan. Padahal banyak acara yang kucoret dari daftar tadi. Termasuk berdansa. Aku khawatir dengan wajah pucat Jingga sejak pagi setelah pemberkatan. Ia juga kerap merasa perutnya kram.
***
Reynaldi menarik koperku masuk ke dalam rumahnya. Sebuah hunian di dalam kompleks yang cukup sepi. Meski rumah disekitarnya semua terisi dan tanpa pagar. Layaknya sebuah perumahan elit, ruangan di sini lumayan luas. Entah karena memang minim furniture. Hanya ada sebuah sofa kecil lengkap dengan meja di ruang tamu. Sementara di ruang makan, ada meja dengan empat kursi. Semuanya kotor. Asbak penuh dengan rokok. Di lantai satu ada dua kamar tidur. Taman belakang menyisakan tiga meter terlihat gersang dan kosong.
Gelas-gelas kotor memenuhi wastafel. Juga bungkus makanan instan. Bisa kutebak seperti apa seorang Reynaldi. Sepertinya di sini hanya ada kami tanpa pembantu.
"Kamar kita sebenarnya di lantai dua. Di sini kadang ada temanku bertamu hingga tengah malam, bahkan menginap. Kamu bisa saja terganggu dengan suara keras dan obrolan kami. Tapi karena kehamilan kamu, aku tidak ingin mengambil resiko."
Kami lalu memasuki kamar. Tidak ada apa-apa kecuali sebuah lemari dan matras dengan ukuran king size. Kamar mandinya lumayan bersih.
"Kamu boleh membeli barang-barang yang kamu inginkan. Tapi ingat, jangan membeli yang tidak perlu. Aku tidak suka rumah yang sempit karena penuh dengan benda yang tidak penting. Kamu isi pakaian dulu di lemari. Besok aku akan meminta dua orang OB di kantor untuk membantu selesai bekerja pagi. Kamu nggak boleh capek. Masih cuti, kan?"
"Aku cuti sampai rabu. Nggak usah, nggak enak sama atasan kamu. Nanti dikira kita memanfaatkan." tolakku.
"Kamu yakin masih menganggap aku seorang bawahan?"
Aku tertawa kecil. "Dari dulu juga tidak. Bawahan mana yang bisa sesuka hati meninggalkan kantor hanya karena urusan fitting dan food testing secara tiba-tiba."
"Kamu cerdas." jawabnya sambil tersenyum.
Aku memilih diam. Ia kemudian membantu membuka koperku. Terasa sulit, namun dengan sigap Rey membantu. Segera kukeluarkan handuk dan perlengkapan mandi. Namun sebelum sampai di kamar mandi, perutku kembali terasa melilit hingga kemudian aku memegang dinding.
"Kamu kenapa?" tanyanya panik.
"Perutku."
Rey segera membimbingku kembali menuju tempat tidur lalu membantu berbaring. Kucoba mengatur nafas.
"Kamu berkeringat. Mau ganti baju dulu?"
"Ya, tolong ambilkan home dress-ku."
Bergegas ia bergerak. Melupakan rasa malu kubiarkan ia membuka resleting gaunku. Beruntung bukan gaun yang sulit. Kemudian bergegas pergi ke luar, sementara aku mengganti pakaian. Ia kembali dengan segelas teh hangat.
"Kamu minum dulu. Bagaimana rasanya?"
"Nggak nyaman banget." jawabku sambil berusaha bangkit. Kembali rasanya ingin ke kamar mandi. Namun saat melangkah, Rey berteriak.
"Jingga, darah!"
***
Happy reading
Maaf untuk typo
1122
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top