35a. Melarikan Riun


Deka tidak percaya semua kejadian tidak masuk akal ini ternyata berpusat pada satu orang, Jala. Dipaksanya pemuda itu menjauh dari tempat pengintaian. Saat menemukan tempat terlindung di antara batang-batang pohon pisang, ia segera melancarkan interogasi.

"Ayo bilang, apa saja yang telah kamu lakukan sampai kita terjebak di sini!"

"Apa lagi? Aku sudah menceritakan semuanya."

"Siapa kamu sebenarnya? Kamu bukan budak, kan?"

Jala mengembuskan napas panjang. "Aku tidak berbohong. Aku memang pernah menjadi budak orang Penihing di daerah Kaso."

"Lalu dari mana kamu mengenal semua hal gaib ini?"

"Sudah kubilang, aku terlahir seperti ini. Bapaku adalah balian[1] dari suku Iban. Kami mendapat kemampuan ini turun-temurun. Karena ingin ketenangan, kami pindah ke pedalaman, di daerah perbatasan wilayah suku Penihing."

Mata Deka melebar dan semakin tidak sabar mengorek keterangan. "Kamu juga balian? Jadi selama ini, kamu cuma pura-pura bodoh? Kalau sakti, kenapa kamu nggak kabur dari perbudakan?"

Jala meredup, seperti ingin menepis beban berat. "Aku masih anak-anak saat dijual ke Kaso. Aku hanya menunggu waktu untuk menjadi lebih besar dan kuat. Saat kesempatan itu datang, aku melarikan diri."

"Bukan itu! Maksudku waktu kamu menjadi budak bapaknya Riwut. Kamu bisa kabur, tapi kenapa kamu bisa tertangkap lagi dan babak belur oleh mereka?"

Jala tercenung. Ia bukan tidak bisa kabur dari sana, melainkan merasa harus tetap berada di betang Deong. Di tengah pelarian, mendadak instingnya menunjukkan sesuatu telah terjadi. Firasatnya mengatakan di betang Deong itulah ia akan berjumpa penolongnya. Jadi, ia sengaja membiarkan dirinya tertangkap lagi. Dan ternyata penolong itu adalah Deka dan Urai. Namun, ia khawatir keterangan itu akan membuat Deka semakin curiga dan tidak mau membantu lagi.

"Mereka lebih sakti dan jumlahnya lebih banyak," ucapnya, berbohong.

"Kamu juga cukup sakti untuk merobohkan sebuah pohon. Kenapa kamu nggak membantu penghuni betang Deong dari serangan orang Punan itu? Dasar egois!" tukas Deka lagi.

"Kamu yang merobohkan pohon besar kemarin?" Urai ternganga.

"Bukan, bukan! Aku tidak melakukan apa pun!" Jala menggerakkan tangan dengan kalut.

Tentu saja, Deka tidak percaya. Urai pun menjadi kesal. Ia teringat bagaimana Riwut berusaha menyelamatkan mereka. Wajah pemuda itu kembali terbayang. Senyum dan tatapan matanya saat mereka berpisah di lubang lantai dapur masih sangat jelas dalam ingatan. Ia tidak menyangka, perjumpaan mereka sesingkat itu.

"Ternyata kamu sesakti itu! Kenapa kamu nggak membantu Riwut, malah ikut kabur? Pengecut!" Urai melampiaskan rasa sedih yang membuat dadanya sesak menjadi kemarahan pada Jala.

Bahu Jala turun. "Aku tidak sesakti yang kalian pikir," jawabnya lirih. Saat kejadian penyerangan orang-orang Punan, ia hanya memikirkan keselamatan Deka dan Urai, dua orang yang mungkin akan berperan penting dalam menemukan Riun. Tindakan heroik tidak termasuk dalam pilihannya. "Aku lemas dipukuli mereka. Makan pun cuma sedikit. Mana mungkin ikut bertempur melawan pasukan Punan? Lagi pula, Riwut menyuruhku mengawal kalian."

"Kamu pasti bohong!" Nuraini yang sedari tadi memperhatikan Jala, ikut nimbrung pembicaraan. "Auramu kelihatan aneh."

Jala menelan liur. Ia memang berbohong soal perintah Riwut. "Aku budak Riwut. Dia ingin Urai selamat. Itu berarti aku harus mengawalnya."

Mendengar Jala dan Urai membahas Riwut membuat hati Deka tercubit-cubit. Semakin lama, keterangan Jala semakin mencurigakan, seperti ada yang disembunyikan. "Yang aku lihat, beras ini berasal dari kamu. Coba jelaskan itu!"

Jala mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal beras."

"Bohong!"

"Aku tidak bohong. Sekarang aku tanya mengapa beras itu ada padamu?" Jala tak kalah ngotot.

"Hei, sudah-sudah! Jangan bertengkar di sini, nanti orang betang tahu keberadaan kita." Nuraini menyela pembicaraan Deka dan Jala. Ia juga menuding wajah Urai. "Terutama kamu, Maduku. Suaramu nyaring sekali!"

Urai kontan mendelik. Rasa takutnya pada arwah centil itu telah lenyap saat Nuraini menyebut "madu". Dadanya berubah dipenuhi rasa kesal. "Aku bukan madumu!"

"Eh, kok marah? Kamu memang maduku!"

"Nuraini, ehm!" Deka segera menghentikan pertikaian kedua gadis beda alam itu sebelum terjadi perang dunia.

"Ups, maaf," ucap si Arwah Centil sambil menutup mulut.

Deka mendengkus. Ia bisa gila kalau dikitari Nuraini terus. "Ya sudah. Aku sudah paham situasinya." Ia berpaling ke Jala. "Kita sudah memenuhi janji untuk menyelamatkan Riun. Sekarang kita tahu dia selamat. Jadi, maaf Jala, tugas kami sudah selesai. Sekarang kamu harus memenuhi janji untuk mengantar kami ke Matang Kaladan," lanjut Deka.

"Tidak! Aku belum mau pergi sebelum memastikan keadaan Riun dengan mata kepalaku sendiri."

"Ih, kok nggak percaya sama aku, sih? Aku nggak mengarang, loh. Riun memang sehat, sejahtera, dan bahagia," bantah Nuraini.

"Tidak! Pasti ada kesalahan. Dia tidak mungkin menikah dengan orang lain. Kalau dia dengan mudah mencintai pemuda lain, untuk apa kami melarikan diri dari pernikahannya dengan orang Punan?"

_____________

[1] balian adalah adalah orang yang bekerja pada upacara adat Dayak yang bertugas untuk berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal. Balian juga dapat bertugas memanggil sangiang sebagai juru damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara adat, serta memberikan pengobatan supranatural bagi orang sakit.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top