𐙚˙⋆.˚ 14. Musuh Amarah

"Lo tadi nolak kue ini kan? Dibanding mubazir, lebih baik dikasih ke perut gue yang membutuhkan."

Tepat di depan Stefan dan Jingga, Harsa membuka kotak kue Jingga, dan memakannya tanpa rasa bersalah. Jelas saja, Stefan langsung berusaha merebutnya kembali. Berbeda lagi dengan Jingga yang mencoba menahan amarahnya. Jingga sudah memutuskan untuk lebih bersabar dalam menanggapi apa pun yang terjadi.

Stefan memelototkan mata ke arah Harsa, dia berkata, "Lo gak punya hak buat ngambil kue Jingga. Lagian kuenya bukan buat lo. Jadi balikin."

Harsa merotasikan mata, dan menjawab, "Punya lah! Toh, lo udah nolak kuenya 'kan? Jingga bilang dia udah makan banyak kuenya, jadi dibanding dibuang mendingan buat gue aja."

"Ya 'kan, Jingga?" tanya Harsa dengan senyuman lebar.

Harsa menunggu amarah Jingga meledak, dan menunggu gadis itu merampas kembali kotak kuenya. Namun, meskipun Harsa sudah menghitung mundur dari tiga ke satu. Jingga tak menunjukkan ciri-ciri akan meledak, seperti biasanya. Dibanding berdebat dengan Harsa, Jingga memutuskan untuk pergi ke kelas dan berpamitan pada Stefan, "Bentar lagi masuk kelas, gue ke kelas duluan."

Stefan mengangguk, sementara tangannya masih berusaha menggapai kotak kue yang Harsa sembunyikan. Berbeda lagi dengan Harsa yang mengernyitkan kening. Akhir-akhir ini, Harsa sadar jika Jingga sedang menghindarinya. Padahal Harsa sudah melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian Jingga. Namun, keberadaannya malah dianggap angin lalu.

"Dimarahin lebih mending dibanding dicuekin kayak gini. Sebenernya tuh orang kenapa?" tanya Harsa bingung.

Harsa hampir lengah, dan Stefan hampir berhasil menggapai kue di belakang punggung Harsa. Meskipun akhirnya Harsa kembali mengangkat tangannya ke atas, sembari memberi tatapan tak suka kepada Stefan.

Stefan akhirnya tersenyum kecut, sembari menyilangkan tangan di depan dada. Dia memberitahu, "Jingga gak suka sama lo. Kenapa lo terus-terusan gangguin dia?"

Harsa membuka kotak kue, lalu memakannya tepat di depan Stefan. Dia mengernyitkan kening, sembari mengunyah kuenya beberapa menit. Setelah puas mencicipi kue Jingga, Harsa melirik ke arah Stefan dengan tatapan sinis. Dia membalas, "Seenggaknya gue gak munafik kayak lo."

Stefan tertawa kecil, dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia berdecak, kemudian kembali melihat ke arah Harsa dengan tatapan tajam. "Tau apa lo tentang gue?"

Harsa memajukan langkahnya, dan membalas, "Tau banyak, saking banyaknya sampai gue muak liat wajah lo."

"Sebelum gue bongkar sifat asli lo di depan Jingga, mendingan lo gak usah deket-deket sama dia," ancam Harsa.

"Punya hak apa lo ngelarang gue? Lo bukan temen, apalagi pacar Jingga. Kalian gak punya hubungan, dan Jingga gak suka sama lo," balas Stefan.

Fakta yang dibeberkan Stefan tak membuat semangat Harsa rapuh. Harsa tersenyum, dan kembali memakan kue milik Jingga. Dia memberitahu, "Bukan enggak, tapi belum."

•••

Setelah menghabiskan dua materi pelajaran terakhir, kepala Jingga dipenuhi angka-angka yang perlu dihitung. Banyak soal matematika dan soal fisika yang dijadikan pekerjaan rumah. Hingga akhirnya, Jingga memutuskan untuk mengerjakannya di saat otaknya sudah tidak panas.

Selain karena tugas, Jingga juga tiba-tiba memikirkan dalang dari perusakan karya seni sekolah. Dia sudah bertanya pada Arjun, tetapi Arjun mengatakan jika dirinya tidak masuk, di saat pentas drama berlangsung. Lalu kunci ruangan disimpan oleh anggota lain, yang sampai saat ini tidak Jingga ketahui adanya.

"Gue bingung," ucap Jingga.

Rasa penasaran melingkupi hati Jingga. Apalagi ketika dia tak sengaja membuka kotak pesan, dan melihat banyak pesan dari Harsa yang belum dia lihat satu pun. Di pesan itu, Harsa mengatakan jika dia berhasil menemukan dalangnya. Namun, Jingga enggan membukanya, karena takut Harsa benar-benar berhasil, dan menagih janjinya untuk menjadi pacar Harsa.

"Gue gak ngerti jalan pikiran cowok ini. Apa untungnya buat dia, ngasih tawaran kayak gini? Apa dia sebenernya mau manfaatin gue, karena mau balas dendam?" gumam Jingga.

Jingga menghentikan langkahnya di koridor. Dia membiarkan Elsa berjalan pulang lebih dulu, sementara Jingga fokus berpikir tenang tanpa gangguan. Dia tak sadar, ketika Harsa berada di depannya, dengan punggung bersandar pada tembok.

Mata Jingga bertemu dengan mata Harsa. Jingga tersentak, dan pura-pura memalingkan wajahnya ke arah lain. Gadis itu langsung mempercepat langkahnya, tanpa mempedulikan Harsa yang bertanya, "Mau sampai kapan lo ngehindarin gue kayak gini?"

Jingga tak membalas, dan malah mempercepat langkahnya. Hal ini memancing tangan Harsa untuk menahan pergelangan tangan Jingga. Keduanya kembali berhadapan, dengan mata yang bertemu satu sama lain. Namun, ini tak bertahan lama bagi Jingga yang langsung mendorong Harsa, dan menghempaskan tangan pemuda itu.

"Gue gak bawa topi saat upacara, gue juga gak pake dasi. Selain itu, gue buang sampah sembarangan di depan mata lo. Kenapa lo gak marah?" tanya Harsa.

Jingga tak menjawab, dan Harsa akhirnya berjalan lebih cepat dari Jingga. Sebelum akhirnya berdiri tepat di hadapan Jingga kembali. "Gue gak suka diabaikan. Lo juga tahu itu," peringat Harsa.

Jingga mengepalkan tangannya, dan menjawab, "Gue juga gak suka diabaikan. Tapi gue udah muak marahin lo tanpa hasil. Meskipun udah gue peringatin, lo gak pernah sekali pun nurut. Jadi buat apa gue omelin lagi?"

Kedua pasang mata bertemu, dan Harsa malah menarik sudut bibirnya ke atas. Dia mengungkap, "Gue gak akan bosen narik perhatian lo, sebelum lo mau jadi pacar gue."

Jingga memalingkan wajahnya, dan membalas, "Gue gak suka sama lo."

Penolakan Jingga tak membuat Harsa menyerah begitu saja. Harsa ingin kembali menjawab, tetapi Jingga sudah lebih dulu berkata, "Gue gak suka tukang buli. Kenapa lo kembali ngelukain Chandra lagi? Sebenernya apa salah Chandra sama lo?"

Harsa menarik dan mengeluarkan napas panjang. Mau tak mau, dia mengungkap, "Setelah diskors, gue udah janji gak akan ngusik dia lagi. Dan sampai sekarang, gue bener-bener berhenti ngusik dia."

"Lalu alasan dulu gue ngebuli dia, karena pas masuk sekolah... dia tanpa tahu malunya ngejek nyokap gue," balas Harsa.

"Chandra gak mungkin ngejek lo," balas Jingga tak percaya.

Harsa menarik dan mengeluarkan napas panjang. Dia sebenarnya tak mau mengungkap masalah keluarganya pada orang lain. Namun, untuk Jingga, Harsa membalas, "Nyokapnya Chandra itu, istri baru Bokap gue. Lalu Chandra minta, supaya Bokap gue gak sering nemuin Nyokap gue, karena orang tua gue udah cerai."

"Dia dengan gak tahu malunya, ngatain Nyokap gue kegatelan, padahal nyokapnya duluan yang jadi pelakor. Gue gak terima, wanita yang gue sayang jadi objek hinaannya," balas Harsa.

Jingga langsung terdiam, sembari menurunkan sudut bibirnya. Dia meremas rok sekolahnya, lalu mengungkap, "Maaf, gue gak bermaksud ngungkit masalah ini. Tapi, lo gak seharusnya bales semua ini pake kekerasan. Apalagi main keroyokan sama temen-temen lo."

Harsa berucap, "Gue sadar, oleh karena itu gue udah berhenti gangguin dia."

Jingga mengernyitkan kening, dan tiba-tiba Harsa menunjukkan sebuah foto di layar ponselnya. Foto itu menunjukkan beberapa siswa sedang berfoto, di mana di belakang siswa-siswa itu terdapat Chandra yang sedang mengangkut kotak kardus. Jingga langsung memelototkan mata, dan berkata, "Dari mana lo dapet ini?"

Harsa menjawab, "Dari temen gue. Tepat di hari pameran, ternyata orang yang buang kotak kardus itu adalah Chandra."

Jingga bertanya, "Oh, jadi setelah lo tahu Chandra pelakunya, lo sengaja bikin Chandra babak belur lagi?"

Harsa menjawab, "Bukan gue, udah gue bilang kalo gue pensiun gangguin dia. Lagian itu kayaknya azab, karena dia diem-diem suka ngejek nyokap gue."

Jingga mengernyitkan kening, dan bertanya, "Kalo bukan lo, siapa lagi yang seneng gangguin Chandra?"

Harsa menjawab, "Gue gak tahu, tapi yang pasti gue udah nemu tersangka pertama dari kerusakan kotak kardus ini. Dan ada bagusnya, kalo lo persiapin diri, buat taruhan kita."

"Sementara itu, gue bakal terus nyar---" Belum sempat Harsa mengakhiri ucapannya, Jingga sudah lebih dulu memotong, "Makasih buat semua usaha lo, buat bantu gue. Tapi, lo gak perlu bantuin gue lagi, karena gue gak mungkin bisa menuhin keinginan lo."

"Sebagai balas budi, lo bisa minta sesuatu yang gak berhubungan sama permintaan lo ditaruhan lo itu," balas Jingga.

"Kenapa gak bisa? Apa lo mau ngasih alesan klasik buat gue? Kayak... lo mau fokus belajar dulu, gue terlalu baik buat lo, atau nyokap lo gak ngerestuin?" tanya Harsa.

Jingga mengangguk. "Semuanya. Termasuk... gue gak boleh temenan apalagi deketan sama lo."

"Kenapa?" tanya Harsa.

Jingga dengan jujur berkata, "Nyokap gue gak suka sama lo. Pas lo nganterin gue pulang, dia bilang... kalo kita gak bisa jadi temen. Jadi tolong, mulai sekarang jauhin gue."

Harsa ditolak mentah-mentah, padahal pemuda itu belum pernah berhadapan langsung dengan ibunya Jingga. Hal ini membuat Harsa mematung tanpa bisa memperbaiki kesannya yang sudah tercoreng di mata ibunya Jingga. Sementara Jingga sendiri hanya bisa meminta maaf, lalu berpamitan pulang lebih dulu, tanpa menatap mata Harsa sedikit pun.

"S*al, belum aja ngajuin diri jadi calon menantu, eh udah diblacklist duluan," gumam Harsa.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top