𐙚˙⋆.˚07. Arah Amarah

Untuk pertama kalinya, Jingga menerima uluran tangan Harsa. Gadis itu tak banyak bicara, ketika jantungnya berdetak kencang karena suara para polisi yang semakin dekat dengannya. Lututnya bergetar hebat, begitu pula dengan tangannya yang meremas jaket Harsa. Jingga tak pernah membayangkan, jika dirinya bisa mengalami kepanikan, karena takut ditangkap polisi.

"Peluk gue," ucap Harsa, sebelum melajukan sepeda motornya dengan kecepatan, yang membuat jantung Jingga semakin berdetak kencang.

Jingga meremas baju seragam Harsa, tanpa berniat memenuhi ucapan Harsa. Sementara Harsa sendiri tak habis akal untuk mencari kesempatan dalam kesempitan. Pria itu mempercepat laju sepeda motornya, sampai tubuh Jingga tersentak ke depan, dan terpaksa berpegangan pada pinggang Harsa.

"Lo mau ngajakin gue m*ti?! Jangan ngebut-ngebut!" omel Jingga di belakang punggung Harsa.

"Kalo gak ngebut, kita kena tangkep!" balas Harsa dengan senyuman lebar.

Jingga semakin merasa gelisah. Jari jemarinya mempererat pegangannya pada seragam Harsa, sementara keningnya sendiri mulai mengeluarkan keringat kecil. Padahal Jingga memegang teguh pikiran, bahwa dirinya harus selalu patuh pada peraturan yang ada di masyarakat.

Namun, karena Harsa. Hari ini Jingga melanggar prinsip hidupnya sendiri. Pertama, Jingga menghampiri Harsa lebih dulu. Kedua dia memakai jaket harimau dari geng yang paling tidak dia sukai. Ketiga, Jingga kabur bersama Harsa dari polisi. Lalu terakhir, Jingga tak memakai helm dan Harsa melajukan sepeda motornya, layaknya di area balap.

"Harsa, gue masih punya banyak mimpi yang belum gue raih. Tolong jangan bawa gue ma*ti sama lo! Kak Stefan masih belum tahu perasaan gue," gumam Jingga sembari mempererat genggaman tangannya pada seragam Harsa.

Sepeda motor yang Harsa lajukan semakin cepat. Pemuda itu mengambil jalan yang berbeda dengan anggota lain. Mereka berpencar untuk mempersulit pergerakan polisi. Lalu Harsa sendiri, mengambil jalanan sepi yang tak banyak dipakai orang-orang.

"Lo... lo... lo... mau bawa gue ke mana?!" tanya Jingga mengkhawatirkan arah jalan yang Harsa pilih.

Harsa melirik ke kaca spionnya. Dia bisa menemukan kening mengernyit, dan tatapan khawatir Jingga. Namun, bukannya membuat Jingga merasa tenang, Harsa malah bercanda, "Mau gue ajak kawin lari."

"Gil*! Lo!" gerutu Jingga.

Harsa tertawa, dan Jingga berusaha menahan tangannya untuk tidak mencubit pinggang Harsa. Dia masih punya otak untuk tidak melakukannya. Karena jika Jingga menyakiti Harsa, dan Harsa kehilangan fokusnya mengendarai sepeda motor, sudah pasti tubuhnya akan mendarat di jalanan berlubang.

Suara sirine polisi menghilang sedikit demi sedikit. Bersamaan dengan jalanan di depan Jingga, yang semakin tak berbentuk. Gadis itu ingin meminta Harsa untuk menurunkannya saja, tetapi suasana di tempat yang dia lihat tidak dia kenali. Saat inilah, Jingga sadar bahwa dia tak seharusnya menerima tawaran Harsa untuk lari bersamanya.

"S*alan! Kita ada di mana?!" tanya Jingga bingung.

Harsa memberhentikan sepeda motornya di depan sebuah taman. Pria itu mengajak Jingga turun, dan beristirahat sebentar di atas kursi taman. Namun, bukannya tenang, Jingga malah merasa jantungnya terus berdetak tak senormal biasanya. Jingga ketakutan, dia sadar betul dirinya tak pernah melarikan diri dari orang seperti polisi.

"Harsa! Ini gak lucu! Kenapa lo bawa gue ke sini?!" tanya Jingga.

Harsa tersenyum, dan menepuk-nepuk kursi taman di sampingnya. Dia masih berniat mengajak Jingga untuk duduk di sebelahnya. Namun, Jingga memelototkan mata, melihat sudut bibir Harsa yang mengeluarkan darah, bersamaan dengan warna biru kehijauan yang ada pada satu pipi Harsa

"Ya ampun, lo harusnya pergi ke rumah sakit," ucap Jingga.

Jingga menyentuh pipi Harsa, tetapi dalam hitungan detik, dia sudah melepaskannya lagi. Harsa mengernyitkan kening, dan dia melihat Jingga pergi ke toko kecil di samping taman, hanya untuk membelikannya es dan juga obat merah.

Jemari Jingga membungkus satu es dengan sapu tangan miliknya, dia memakai balutan es itu untuk mengobati luka yang ada pada wajah Harsa. Jingga melakukan pertolongan pertama, sesuai dengan apa yang pernah dia pelajari. Jingga mengomel, "Lo gak bakal kena luka kayak gini, kalo nurut sama gue."

"Padahal gue udah ngelarang lo buat berantem, tapi kenapa lo masih aja nyari gara-gara?" tanya Jingga sembari mengompres luka Harsa.

Bukannya membalas ucapan Jingga dengan jawaban yang sebenarnya, Harsa malah menjawab, "Gue nyari gara-gara, supaya bisa diobati sama lo."

"Gue pikir, lo cuman bisa mukulin gue aja. Ternyata, lo juga bisa ngobatin kayak gini."

"Kemampuan lo ini, semakin buat gue yakin... kalo lo itu calon istri gue di masa depan," ungkap Harsa yang dibalas satu pukulan pelan pada kepalanya.

Harsa berpura-pura mengaduh, kemudian mengusap-usap kepalanya sendiri. Dia menarik sudut bibirnya ke atas, lalu berkata, "Wah, Ji. Nanti kalo kita udah nikah, ada baiknya lo kurangin pukul memukul kayak gini."

"Belum aja nikah, gue udah kena kasus KDRT," canda Harsa, yang membuat Jingga menarik dan mengeluarkan napas panjang.

Jingga mengernyitkan kening, tak mengerti dengan isi pikiran Harsa. Di depan semua orang, Harsa menjelek-jelekkan Jingga tanpa mempedulikan perasaan Jingga. Lalu ketika keduanya hanya berduaan saja, Harsa memberikan perhatiannya, meskipun terkadang sikapnya dinilai menyebalkan bagi Jingga.

"Lo itu plin-plan dan aneh banget," ungkap Jingga sembari merotasikan matanya.

Jingga mendengkus, dan membuang plastik es batu ke tempat sampah terdekat. Lalu setelah itu, dia duduk di samping Harsa, sembari bertanya, "Sampai kapan kita di sini terus? Polisi pasti udah balik ke tempatnya lagi, jadi ayo pulang. Nyokap gue... dia pasti khawatir."

"Bentar lagi," ucap Harsa sembari memperhatikan kolam tak berikan di depan matanya.

Harsa menatap genangan air tanpa berkedip. Lalu Jingga sendiri mengangkat wajahnya untuk melihat langit berwarna oranye dengan tambahan matahari setengah bersembunyi ke balik sebuah bukit. Di tempat ini, Jingga bisa melihat jelas pemandangan matahari tenggelam, sampai matanya fokus memandangi matahari.

"Cantik," gumam Jingga. Jingga menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dia tanpa sadar menunjuk ke arah matahari tenggelam, di depan matanya pada Harsa. Namun, ketika Jingga ingin memamerkan hasil temuannya, Jingga mengernyitkan kening, melihat Harsa setia menundukkan kepala, untuk menatap genangan air kolam di depannya.

"Lo liatin apa?" tanya Jingga.

Harsa menunjuk kolam, dengan cara memajukan bibirnya beberapa senti. Dia lalu melihat ke arah Jingga, dan membalas, "Gue lihat bayangan lo di kolam, dan ngebandingin bayangannya sama gambar cumi di dinding kolam."

Seharusnya Jingga tak bertanya. Jingga lupa, jika Harsa adalah orang yang gemar memberinya jawaban asal tanpa berpikir dua kali. Namun, karena rasa bosan yang menghampirinya, kali ini Jingga meladeni candaan Harsa sembari menangkup salah satu pipi dengan tangannya. "Air di taman ini lumayan gede, tapi gak ada satu pun ikan yang ada di sini."

"Yang ada cuman, gambar makhluk laut di samping dinding, yang gak mungkin jadi hidup," kata Jingga.

Harsa menarik sudut bibirnya ke atas lalu bertanya, "Lo suka ikan?"

Jingga mengangguk, dan tersenyum kecil. "Dulu pernah suka banget, tapi sekarang gak begitu suka."

"Kenapa?" tanya Harsa.

Jingga menundukkan kepala, sembari meremas jemari tangannya. Dia tanpa sadar bercerita, "Pas gue TK, gue mau ngisi kolam ikan di depan rumah, sama ikan-ikan kecil."

"Kakak gue yang dulu masih SD kelas 2, tahu keinginan gue dan berniat ngisi kolam ikan sama ikan-ikan kecil yang dia beli. Tapi, pas mau masukin ikannya, dia kepeleset jatuh ke kolam, sementara ikannya malah jatuh ke tanah," lanjut Jingga.

"Ujung-ujungnya, gue disalahin nyokap gue, karena minta kolam diisi ikan," kata Jingga.

Kemarahan sang ibu, dan tangisan sang kakak masih teringat jelas di otak Jingga. Meskipun Jingga sudah remaja, dan memori masa kecilnya tak teringat sepenuhnya. Namun, entah kenapa kejadian itu masih menempel di kepalanya, dan menjadi salah satu ketakutan Jingga ketika ingin meminta bantuan pada sang kakak.

Harsa tak berkata apa-apa, hal itu memancing rasa penasaran Jingga untuk melirik ke samping. Dia ingin mencari tahu reaksi Harsa setelah mendengar cerita masa kecilnya, yang berujung kemarahan ibunya. Namun, Harsa yang ditatap malah menawarkan, "Kalo gitu, lo mau liat gue isi kolam ini sama ikan juga?"

Jingga menggelengkan kepala. Lalu berdiri dari duduknya. Setelah bercerita, dia jadi teringat dengan ibunya. "Gue cuman mau pulang aja. Nyokap gue pasti nyariin, dan gue gak bisa ngehubungin dia karena ponsel gue abis baterai."

Harsa menjulurkan ponselnya, dan menawarkan diri, "Lo bisa pake HP ini, buat ngehubungin Camer gue."

"Serah lo," balas Jingga. Jingga merotasikan mata, dan mendengkus setelah mendengar apa yang Harsa ucapkan. Dia menganggap apa yang dikatakan Harsa bercanda, oleh karena itu Jingga meraih ponsel Harsa tanpa banyak bicara.

Namun, sebelum Jingga membuka layar ponselnya. Harsa sempat memberitahu, "Lo kayaknya masih ragu sama perasaan gue."

"Siapa juga yang bakal kena rayuan anak nakal kek lo," balas Jingga.

Harsa kembali mengambil ponselnya, lalu tersenyum dan menunjukkan sebuah gambar kepada Jingga. Dia memberitahu, "Lo yakin, masih belum percaya. Setelah gue nemu petunjuk, orang yang ngancurin karya seni sekolah?"

•••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top