𐙚˙⋆.˚03. Mencari Sumber Amarah

Langit berwarna biru cerah, dihiasi oleh awan-awan putih yang bergerak sesuka hati. Tepat ketika suara lonceng istirahat berbunyi, Jingga langsung keluar dari kelasnya. Dia membatalkan acara pergi ke kantin bersama temannya, hanya untuk mencari keberadaan Harsa. Di dalam hatinya, Jingga berharap dia bisa menemukan titik terang di balik kerusakan yang terjadi pada karya seni pameran.

Sayangnya, harapan Jingga tak mudah terkabul. Baru saja kaki Jingga melangkah menuju tempat terjauh dari ruang kepala sekolah, Jingga tak menemukan pangkal hidung Harsa sedikit pun. Matanya menyipit, dia melihat ke kanan dan ke kiri, ruangan di depannya. "Biasanya dia bolos kelas, dan nongkrong sama anggota gengnya di sini."

Jingga menarik dan mengeluarkan napas panjang. Gadis itu menyilangkan tangan di depan dada, sebelum akhirnya mengembungkan pipinya kesal. Padahal Jingga yakin, setelah diskors Harsa pasti akan kembali ke tempat yang dijadikan markas perkumpulan teman-teman Harsa. Namun, setelah menunggu sepuluh menit, tak ada seorang pun yang mendekati tempat ini.

Di depan Jingga hanya terdapat ruangan dengan jendela tak berkaca. Pintu masuk ruangannya dipenuhi oleh bekas pukulan. Sarang laba-laba menghiasi sudut-sudut ruangan, dan barang-barang bekas tersimpan berserakan di dalam lemari besar. 

Terkadang debu terhirup indera penciuman Jingga, sampai Jingga terbatuk beberapa kali dan memutuskan untuk memundurkan langkahnya. Dia berdecak, dan memalingkan pandangannya ke arah lain. "Katanya hari ini terakhir diskors, dan bakal balik lagi ke sekolah. Tapi kok gak ada?!"

Pertanyaan Jingga tak akan mendapatkan jawaban, jika Jingga hanya diam menunggu kedatangan Harsa. Akhirnya, Jingga memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke tempat lain. Dia mencoba mengingat-ngingat tempat di mana Harsa dan teman-temannya menghabiskan waktu saat istirahat. Namun, setelah mencari-cari ke tempat yang Jingga ingat, Jingga tak kunjung menemukan apa yang dia cari.

Jingga menundukkan kepala, kemudian merogoh ponselnya. Di dalam hatinya muncul niat untuk menghubungi Harsa. Akan tetapi otaknya menolak untuk melakukan hal itu. Terlebih lagi, Harsa senang menyusahkan Jingga. Jika dia tahu Jingga sedang mencarinya, sudah pasti Harsa akan bersembunyi.

"Gue harus ke mana lagi?" tanya Jingga pada dirinya sendiri.

Ketika Jingga sampai di sisi lapangan sekolah, langkahnya langsung terhenti. Matanya tak berkedip, menyaksikan Stefan sedang bermain bola basket bersama teman-temannya. Sadar atau tidak, kedua sudut bibir Jingga terangkat ke atas. Ingin rasanya dia bersorak untuk menyemangati Stefan, tetapi suara sorakannya kalah oleh para gadis pemandu sorak yang berteriak dengan penuh semangat.

Meskipun suaranya tenggelam di antara para gadis pemandu sorak, Jingga tetap memberikan dukungannya untuk Stefan. Gadis itu terdiam di tengah jalan, hanya untuk menyaksikan gesitnya Stefan dalam memainkan bola basket. Bahkan, panas dari matahari yang bersinar terang pun, tak lagi dirasakan Jingga. Fokus gadis itu masih belum bisa menjauh dari Stefan.

"Go! Go! Stefan!"

Angin siang hari menerbangkan helaian rambur Stefan yang berlari ke sana ke mari untuk mendapatkan bola. Setelah bola ada di tangannya, dia memantulkannya beberapa kali tanpa hambatan. Sampai kakinya terdorong untuk meloncat, dan memasukkan bola ke dalam ring basket.

"Stefan! Menang lagi!" teriak para gadis serentak.

Mata Stefan menyipit, dengan sudut bibir terangkat ke atas. Pemuda itu mengusap keringat yang membasahi keningnya dengan menggunakan tangan. Ketika dia keluar dari lapangan, para gadis terburu-buru menyerahkan botol air minum miliknya pada Stefan. Mereka berebutan memberikan botol, ataupun handuk kecil pada anggota favorit mereka.

Sementara itu, di kejauhan Jingga hanya bisa memberikannya senyuman tipis. Gadis itu masih setia memandangi Stefan yang tersenyum menerima uluran botol minum, dan handuk kecil dari orang lain. Lalu ketika Stefan tak sengaja melirik ke arah Jingga, Jingga langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.

Sebisa mungkin Jingga berpura-pura memantau kantin, tanpa melihat kembali ke arah Stefan. Lalu tanpa diminta, matanya tiba-tiba menemukan sosok berjaket dengan goresan kuku harimau di belakang punggungnya. Pemuda itu memiliki tinggi yang sama dengan Harsa, hingga akhirnya Jingga langsung berlari mengejarnya.

"Harsa!" panggil Jingga.

Orang yang dipanggil berhenti berjalan. Begitu pula dengan teman-temannya yang ikut menghentikan langkah. Mereka semua menatap gadis bertubuh kurang tinggi, yang sibuk berlari sembari memanggil nama Harsa.

Harsa yang menemukan sosok Jingga melengkungkan sudut bibirnya ke atas. Tanpa niat menghindar, pemuda itu menyilangkan tangan di depan dada. Lebih tepatnya memperhatikan usaha Jingga untuk mengejarnya, dengan rambut melompat-lompat dan kening berkeringat.

"Boss, mau apa si Ketos lari-lari?" tanya Dika, pemuda berhidung mancung yang saat ini berada di samping Harsa.

Harsa mengeluarkan napas panjang, kemudian mengusap rambutnya sendiri. Dia menjawab, " Apa lagi selain nemuin gua?"

Jawaban Harsa membuat Dika menyenggol bahunya. Dika memperingati, "Kayaknya dia mau ngomel-ngomel lagi. Mendingan kita cabut aja, gua males urusan sama dia lagi."

Belum sempat Harsa menjawab perkataan Dika, Jingga tak sengaja bertabrakan dengan gadis yang sedang membawa nampan dengan gelas di atasnya. Jingga masih bisa menahan keseimbangannya supaya tidak terjatuh. Namun, cairan cokelat yang ada di gelas menabrak bahu Jingga sampai gelasnya jatuh. Bersamaan dengan air kopi tersisa yang mengotori baju seragam putih Jingga.

Luna memelototkan mata, ketika melihat gelas pecah dan noda di baju seragam Jingga. Dia langsung berkata, "Ma... ma... maaf! Aku... aku... aku gak sengaja!"

Air kopi merebes masuk ke baju seragam putih Jingga. Tak butuh waktu lama, bagi cairan cokelat menyebar hingga menodai lebih banyak bagian di bahu Jingga. Gadis itu menutup nodanya dengan telapak tangan kecil, sembari membalas, "Maaffin gue juga. Gue yang lari dan nabrak lo duluan."

Dika yang sedari tadi memperhatikan Jingga berlari tak tahan menutup mulut untuk menertawai Jingga. Pemuda itu menepuk-nepuk bahu Harsa, sembari menunjuk ke arah Jingga. "Liat si Ketos bocil itu! Akhirnya kena azab setelah ngaduin kita!"

"Rasain!" teriak Dika yang dibalas suara tawa para teman-teman Harsa.

Selain Dika, siswa siswi lain yang melihat Jingga menabrak Luna ikut tertawa. Mereka menjadikan Jingga sebagai hiburan di siang hari, sementara orang yang ditertawakan langsung berjongkok dan memunguti potongan gelas. Jingga merasa bersalah pada Luna. Dia mengakui kesalahannya, dan berkata, "Lun, ini gelas dari ruang guru kan? Biar gue yang beresin dan tanggung jawab. Sekali lagi gue minta maaf."

Luna ingin menolak, tapi ketika mendengar suara tawa kearahnya, gadis itu hanya mengangguk dan berlari menuju kelas karena malu. Lalu Jingga sendiri membereskan pecahan gelas tanpa bantuan sedikit pun. Dia berniat untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu, tetapi Jingga tiba-tiba merasakan sebuah handuk kecil menyentuh bahunya.

"Syukurlah badan lo kecil, jadi handuk ini bisa nutupin nodanya," ucap Stefan di belakang Jingga.

Ketika para siswa senang Jingga terkena masalah, Stefan sendiri datang dan membantu Jingga tanpa mempedulikan suara tawa anak-anak nakal. Pemuda itu membantu Jingga untuk membawa pecahan gelas, meskipun akhirnya handuk di bahu Jingga disingkirkan Harsa.

"Handuk itu kotor, udah dipake ngelap keringat," peringat Harsa sembari melepas jaketnya, untuk diberikan pada Jingga.

••• 













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top