PROLOG



Seorang wanita dengan surai merah menyala terlihat berjalan tergesa-gesa melalui lorong. Ketidak-ramahan terpampang jelas pada wajah wanita itu. Percikan-percikan api terciprat kemana-mana hingga membuat semua orang enggan bersinggungan dengan dirinya. Bahkan hampir setiap pakaian abdi dalem yang melewatinya terbakar, membuat para abdi dalem itu berteriak histeris.

Tetapi wanita itu tidak peduli. Ia tetap melangkahkan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu ber-hak tinggi berhiaskan batu delima dan sulur emas pada lantai keramik.

"Ada apa dengan Sri Agni? Dia terlihat hendak menikam seseorang," bisik seorang abdi dalem estri berambut sulur bunga mawar yang tengah menyapu lantai.

"Hush!" tegur abdi dalem estri bermulut dan bertelinga kucing yang diajak berbincang. "Jangan asal bicara, kamu mau dibakar oleh Sri Agni!"

Abdi dalem estri berjenis bunga mawar tadi mengerucutkan bibirnya yang berwarna biru. Ia kembali melirik Agni yang berada jauh didepan. Seketika tubuhnya membeku kala mendapati Agni menatap sang abdi dalem dengan tajam. Ditambah rambut wanita itu semakin meninggi dan percikan api semakin liat hingga membakar beton yang menjadi langit-langit lorong. Abdi dalem estri tersebut langsung lari pontang-panting, takut akan dijadikan mawar gosong oleh sang garda api.

"Kaum rendahan," cibir Agni lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Baru beberapa langkah, ia menghentikan langkah lagi. Telinga runcing wanita itu terlihat bergerak-gerak, seolah-olah merasakan sesuatu. Manik putih wanita itu melirik kearah hutan yang terdapat pohon candramaya yang menyokong keajaiban Lokaswara.

Agni berdecak malas, "Manusia bodoh mana lagi yang mau meminta uang pada pohon itu?! Kerja woi, kerja!!!"

Sambil mendumel, ia langsung terbang menuju pohon tersebut untuk menemui manusia yang meminta pertolongan pada pohon candramaya.

Sementara itu, disebuah ruangan yang berdinding akan pohon akasia dan beringin. Terlihat dua orang berbeda jenis kelamin duduk berhadapan. Keduanya terlihat berdebat dengan alot membahas sesuatu.

"Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Kinanti. Tukang Sihir sinting itu mulai menembus perisai pelindung." Seorang pria bersurai hitam panjang diikat ekor kuda dengan mata berhias celak berpola sulur rumit, melempar argumennya.

Wanita berambut putih bernama Kinanti itu memijit tempat diantara mata. "Aku tahu Rakta, tolong iangan tambah beban pikiranku sekarang," keluh sang wanita.

"Aku bukannya mau membebanimu, tetapi kekosongan posisi Anagata harus segera diisi, Kinanti. Kita harus menyempurnakan para garda agar bisa menjaga Lokaswara." Ucapan pria bercelak itu membuat kepala Kinanti pusing tujuh keliling.

"Bagaimana bisa Anagata muncul, kalau penggantinya bahkan belum dilahirkan, Prabu Rakta!" seru Kinanti kesal karena Rakta menginginkan kesempurnaan para garda dalam waktu cepat.

"Aku tahu, Sri Kinanti! Tetapi Lokaswara memerlukan kehadiran Anagata segera!" balas Rakta tak kalah keras.

Kinanti menggeram kesal sembari menatap Rakta sebal. "Rakta, apa kau ingin merasakan mati sekali lagi?" tanya Kinanti sinis.

Rakta menatap Kinanti sinis, ia melipat tangan didepan dada seolah menantang wanita bersurai putih lembut tersebut. "Silahkan, dengan begitu dunia akan hancur ditangan Tukang Sihir itu."

Wanita berambut putih itu mendecak kesal lalu menenggelamkan wajahnya pada meja kayu jati. Ia mengabaikan Rakta yang masih mengoceh perihal kesempurnaan garda dan keselamatan Lokaswara. Ingin rasanya Kinanti melemparkan kursi tempatnya bernaung pada wajah pria dihadapannya.

Anagata sampun wangsul. (Anagata telah kembali.)

Kinanti terkejut setengah mati saat mendengar suara halus tersebut memasuki pikirannya. Sangking terkejutnya, ia sampai tidak sengaja menggebrak meja. Manik delima wanita itu langsung melihat kearah Rakta yang juga ikut membeku.

"Sri Kinanti," panggil Rakta penuh arti yang ditanggapi dengan anggukan oleh Kinanti.

*****

Seorang wanita berumur terlihat berjalan memasuki hutan sambil memeluk anak kecil yang dibungkus dalam kain. Wanita itu terlihat sedih. Airmata tak henti-hentinya keluar dari sepasang mata yang mulai rabun itu. Ia membungkuk melindungi anak kecil kala angin malam menerpa tubuhnya.

Ia mengusap pelupuk matanya lalu melihat keatas. Manik hitam legam itu memcerminkan cahaya bintang yang bertebaran diatas kepala. Sesaat ia terpukau pada keindahan langit yang menadahi dirinya.

Langit melukiskan angkasa malam yang berwarna hitam diselingi siluet abu-abu yang berasal dari awan. Bulan terlihat bulat sempurna, memendarkan cahaya putih layaknya lampu yang menyinari seluruh dunia. Tak lupa, bintang-bintang berkelap-kelip dilangit malam, bertaburan membentuk barisan lengan bimasakti.

Suara jangkrik dan tonggeret saling bersahut-sahutan. Seolah-olah sedang mendendangkan ajakan berperang antara satu sama lain. Wanita itu kembali melanjutkan perjalanannya. Mendaki bukit untuk mencapai sebuah pohon ajaib.

Ia hendak menyembuhkan cucunya yang sekarat karena terjatuh dari atap genting rumah. Gadis kecil yang ada didalam pelukan wanita itu tengah sekarat. Ia terjatuh dari ketinggian lima meter. Sehabis terjatuh dari genting saat mencoba mengambil layangan yang tersangkut di antena rumah milik sang nenek.

Jarak dari rumah wanita itu hingga ke rumah sakit, tidak memungkinkan untuk keselamatan sang cucu. Bisa-bisa, cucunya malah meninggal dunia diperjalanan. Satu-satunya harapan hanyalah membawa gadis kecil itu ke Pohon Ajaib.

Wanita itu mendaki bukit dengan susah payah sebelum akhirnya mencapai puncak dengan selamat. Ia duduk diatas tanah saat mencapai puncak sambil mengecek gadis kecil yang ada didalam dekapannya.

"Bertahanlah, Kia," bisiknya pelan lalu mencium kening gadis kecil itu.

Tidak ada afeksi apapun dari Kia membuat wanita itu semakin panik. Ia segera berlari ke sebuah pohon beringin rakasasa yang diselubungi oleh kunang-kunang. Cahaya emas berpendar disekitar pohon membuatnya terlihat magis dan sakti. Angin malam kembali bertiup membuat sang wanita, semakin mengeratkan pelukannya pada Kia.

Semakin mendekati pohon, semakin jelas wujud dari makhluk terbang bercahya itu bukanlah kunang-kunang, melainkan peri kecil. Peri-peri kecil yang hanya sebesar ujung jari itu terlihat mengerubungi Kia, saat Kiran telah sampai didepan pohon.

Kiran mulai menangis dihadapan pohon itu. "Tolong rencangi kula! (Tolong bantu aku!)" ucapnya seraya terisak.

"Rencangan menapa ingkang panjenengan kersani? (Bantuan apa yang kau inginkan?)" Seorang wanita cantik berpakaian kemben dan jarik berpola batik gajah mendung warna merah hati, muncul dari sebuah portal yang tercipta di pohon.

Sesaat Kiran merasa terpana dengan keindahan sang wanita. Wanita itu terlihat garang sekaligus menawan dengan rambut merah menyala, yang melayang keatas seperti kobaran api. Dihiasi dengan mahkota dahi dari logam berwarna hitam, bertatahkan batu delima besar tepat dibagian tengah dahinya. Manik matanya berwarna putih dengan pupil hitam seperti reptil. Menyeramkan namun indah disaat yang sama.

"Ku-kula ... (A-aku ...)" Dada Kiran terasa sesak hanya untuk mengatakan apa yang ia inginkan. "Kula- ... Tulung sugengaken wayahipun kula! (Aku- ... Tolong selamatkan cucuku!)" serunya seraya terduduk diatas tanah sambil menangis.

Wanita api itu melayang beberapa senti diatas tanah lalu mendekat kearah Kiran. Ia membungkukkan badan untuk melihat Kia yang berada didalam pelukan Kiran. "Ringkih. (Lemah.)"

"Gegar otaknya parah, pendarahan dalam dibagian abdomen, tulang selangka dan dua rusuknya patah. Aku juga mendeteksi trauma." Wanita itu kembali menegapkan tubuhnya dengan pandangan angkuh. "Panjenenganipun mboten badhe sugeng. Pergilah, sia-sia panjengan ngastanipun mriki. (Dia tak akan selamat. Pergilah, sia-sia kau membawanya kemari.)"

Kiran tercekat, ia memandang Kia didalam pelukannya dengan mata berair. Kia terlihat kesulitan bernafas dengan wajah yang mulai pucat. "Tidak ..." lirih Kiran panik.

Wanita api tadi hanya menatap Kiran datar lalu membalikkan badan untuk pergi. Namun pergerakannya terhenti saat Kiran tiba-tiba memeluk kakinya.

"Menapa ingkang panjenengan tindakaken?!! (Apa yang kau lakukan?!!)" seru wanita api itu murka. Rambutnya yang melayang terlihat semakin menyala dengan percikan api keluar dari sela-sela rambutnya.

"Kumohon sugengaken wayahipun kula! (Kumohon selamatkan cucuku!)" Kiran berteriak dengan wajah menyedihkan. Sebelah tangannya masih memeluk Kia, sementara sebelahnya lagi memeluk kaki wanita api yang melayang di udara. "Panjenengan inggih menika tiyang sakti! Kula tansah midhanget ingkang asalipin saking Wit Ajaib inggih menika tukang sihir ingkang hebat! Tulung sugengaken wayahipun kula! Kula badhe nindakaken menapa mawon demi kesembuhanipun! (Kau adalah orang sakti! Aku selalu mendengar bahwa orang-orang yang berasal dari Pohon Ajaib adalah tukang sihir yang hebat! Tolong selamatkan cucuku! Aku akan melakukan apapun demi kesembuhannya!)"

"Panjenengan! (Kau!)" Pupil mata wanita api itu melebar penuh amarah.

Tangan kanannya terangkat, memancarkan cahaya berwarna merah yang panas. Hendak ia layangkan pada Kiran yang masih memeluk kakinya. Kiran gemetar ketakutan, ia segera melepaskan kaki si wanita api dan memeluk sang cucu dengan erat menggunakan kedua tangan. Tubuh ringkih itu membungkuk dengan mata terpejam, melindungi Kia dengan tubuhnya.

Wanita api itu hendak melemparkan sihirnya, namun suara seorang wanita yang mengalun lembut. Membuat ia menurunkan kembali tangannya.

"Hentikan, Sri Agni."

Suara lembut mengalun berasal dari seorang wanita yang keluar dari portal. Wanita itu memiliki rambut berwarna putih panjang hingga menyentuh tanah. Rambutnya ikal terlihat seperti bulu domba yang lembut. Manik matanya berpendar seperti permata delima, tanpa adanya pupil mata.

Dikedua ujung matanya terdapat garis yang membentuk sulur tanaman anggur yang berkelok-kelok, berwarna merah muda. Kemben dan jarik yang membalut tubuhnya terlihat lembut, seperti pakaian dewa-dewi kahyangan, namun lebih terbuka.

Agni mendengus. Rambut merah yang tadinya memercikkan api, padam kembali. Api merah digenggamannya sirna. Ia bertanya dengan nada ketus, "Punapa kanjengipun sampeyan, Kinanti? (Apa maumu, Kinanti?)"

Kinanti tersenyum maklum. "Mboten sae nyerang setunggaling tiyang estri sepuh ingkang saweg kesisahan, Agni, (Tidak baik menyerang seorang wanita tua yang sedang kesulitan, Agni.)" ujarnya sinis. Ia berjalan melewati Agni dengan langkah anggun, penuh wibawa.

Agni berdecak sebal sembari mendaratkan kaki kembali keatas tanah. Ia membalikkan tubuh, melihat kearah Kinanti yang berjalan menghampiri Kiran. "Lare puniku sampun setunggal lampahan tumuju gerbang akhirat. Sia-sia mawon menyelamatkanipun. (Anak itu sudah satu langkah menuju gerbang akhirat. Sia-sia saja menyelamatkannya.)" Agni melontarkan pembelaan yang kejam.

Wanita berambut putih itu membungkuk dihadapan Kiran. Ia menyentuh dahi Kia dengan lembut. Kiran terpana melihat keindahan sosok Kinanti yang begitu cemerlang. Penampilannya cukup unik, namun juga sangat indah. Tanpa sadar ia menyentuh sehelai rambut Kinanti yang langsung ditepis dengan lembut oleh sang empu.

Mata merahnya bersinar saat merasakan energi yang begitu kuat yang berasal dari Kia.
Kinanti tersenyum penuh arti pada Kiran, sementara Kira tergugu. "Sampeyan lepat, Agni. Piyambakipun inggih punika lare ingkang diramalkan. (Kau salah, Agni. Dia adalah anak yang diramalkan.)"

Kedua mata Agni membelalak, begitupula dengan rambutnya yang ikut menyala. "Punapa?! (Apa?!)"

Dengan tergesa-gesa ia menghampiri Kia yang masih berada didalam pelukan Kiran. Melihat pergerakan Agni yang tiba-tiba, membuat Kiran merasa ketar-ketir. Mengingat wanita itu mencoba menyerangnya tadi. Wanita berambut seperti kobaran api itu mengarahkan telapak tangannya ke dahi Kia, mengabaikan Kiran yang ketakutan setengah mati.

Saat menyentuh dahi gadis kecil itu. Ia merasakan hawa hangat yang nyaman. Lama-kelamaan, ia juga merasakan kekuatan yang meledak-ledak dari tubuh gadis kecil itu. Ia kembali membelalak saat melihat inti kehidupan itu berpendar kuning, seperti cahaya yang terkekang dalam lentera.

"Mboten mungkin ... (Tidak mungkin ...)" lirihnya. Tanpa basa-basi, ia langsung mengambil alih Kia kedalam gendongannya lalu berjalan kearah portal.

Kiran gelagapan kala Agni mengambil alih cucunya. Ia meraih pundak Agni dan menghentaknya dengan keras. "Punapa sampeyan lampahaken?!! (Apa yang kau lakukan?!!)"

"Punapa sampeyan puniki?!! (Apa-apaan kau ini?!!)" seru Agni tak terima sembari melotot pada Kiran. "Lare puniki inggih punika kunci kemakmuran donya kita. Piyambakipun kedah tumut sareng kita! (Anak ini adalah kunci kemakmuran dunia kami. Dia harus ikut bersama kami!)"

"Mboten! Kula mboten mengijinkanipun! (Tidak! Aku tidak mengijinkannya!)"

"Saestunipun sampeyan manah, sampeyan sinten?! (Memangnya kau pikir, kau siapa?!)"

"Kula mbah putrinipun! (Aku neneknya!)"

"Punapa nggih? (Apa iya?)" tanya Agni dengan nada menyebalkan. "Setunggaling tiyang mbah putri ingkang ngejoraken putunipun memanjat genting lan dhawah saking keinggilan gangsal meter ngantos sekarat, kados puniku? (Seorang nenek yang membiarkan cucunya memanjat genting dan jatuh dari ketinggian lima meter hingga sekarat, begitu?)"

Wajah Kiran memerah akan amarah. Sontak ia melupakan rasa takutnya terhadap Agni, dengan menyambar Kia yang digendongan sang wanita api. Agni terpekik lalu menarik Kia kembali. Keduanya berakhir tarik-menarik Kia yang mulai bergerak tak nyaman dan menangis.

Seberkas cahaya mengarah diantara kedua wanita itu, tepat pada Kia. Kia tiba-tiba terlepas dari gendongan Agni dan melayang diudara diselubungi oleh cahaya berwarna putih terang. Tubuh Kia terbang, melayang masuk ke gendongan Kinanti dengan mulus. Agni langsung menarik lengan sang rekan, hendak membawanya kabur.

"Mangga kita kesah, Kinanti! Kunci kawilujengan Lokaswara wonten sareng kita sapunika! (Ayo kita pergi, Kinanti! Kunci keselamatan Lokaswara ada bersama kita sekarang!)" serunya sambil mencoba menarik
Kinanti yang tidak sedikitpun berderak. Seberapa kuat Agni menarik tangan saudarinya, Kinanti sama sekali tidak bergeser sedikitpun.

Kesal karena Kinanti tidak menanggapinya, Agni menghentak lengan Kinanti dengan keras. Pupil matanya kembali melebar dan rambut menyala lebih tinggi layaknya kobaran api. Ia melemparkan bola api kearah Kinanti.

Kiran berteriak saat bola api terarah apa si wanita putih yang masih menggendong cucunya.

Bola api itu melesat kearah Kinanti yang tidak berkutik sedikitpun. Wanita berambut putih itu menatap Agni yang mengamuk dengan pandangan datar. Tanpa bergerak atau mengucapkan apapun, perisai putih transparan tercipta, melingkupi Kinanti dan Kia. Bola api itu berakhir menabrak perisai dan menciptakan ledakan kecil yang membuat Kiran kembali berteriak.

"Ada apa denganmu?!" seru Agni penuh amarah.

Ia kembali menciptakan bola api yang lebih besar, namun gagal melemparnya karena diserang duluan oleh Kinanti. Sebuah bola putih melesat, menubruk tubuh Agni hingga membuat wanita itu ambruk keatas tanah. Perlahan cahaya putih itu meresap kedalam tubuh Agni. Membuat rambut Agni berubah jadi biru dan jatuh ke punggungnya.

Agni merasakan tubuhnya mulai terasa dingin dan amat menyakitkan. Ia mengerang pelan lalu membalikkan tubuh menjadi telungkup diatas tanah. Ia mencoba bangkit dengan menahan tubuhnya dengan kedua siku dan lutut, namun seluruh tubuhnya terasa sakit dan dingin. Sebagian rambut wanita itu jatuh kedepan menutupi wajah indah itu. Ia mengerang saat melihat helaian rambut yang membiru.

Nafasnya terengah-engah tapi ia masih mampu menatap tajam Kinanti yang tengah berjalan kearah Kiran. Perlahan matanya memburam dan kesadarannya mulai hilang. "Sial," umpat Agni pelan lalu terjatuh diatas tanah dengan keadaan tengkurap.

Sebagai seorang rekan, Kinanti sama sekali tidak merasa khawatir dengan keadaan Agni yang terlihat mengenaskan. Ia mengabaikan saudarinya itu dan memilih menghampiri Kiran yang terpaku membelakangi pohon.

"Halo, Nyai Kiran," sapa Kinanti ramah sembari menyodorkan Kia kembali pada neneknya.

Kiran terpaku. Manik legamnya menatap Kinanti dan Kia bergantian, sebelum dengan cepat meraih Kia kembali dalam pelukannya. "Ma-matur suwun (Te-terima kasih)," ujarnya agak tergugu.

Kinanti hanya diam sembari tersenyum formal. Hening melingkupi keduanya, tidak ada satupun yang berbicara. Kiran sibuk mengelapi wajah Kia yang berkeringat dan Kinanti sibuk memandangi keduanya. Bahkan tubuh pingsan Agni tidak diindahkan sama sekali, membuat Kiran sedikit merasa kasihan terhadap wanita api itu.

"Pu-puniku— (I-itu—)" Kiran hendak mengingatkan Kinanti perihal ketidaksadaran Agni, namun ucapannya segera dipotong oleh wanita itu.

"Nyai."

"Ng-nggih? (Y-ya?)"

Kinanti maju lengkah membuat Kiran mundur selangkah. Manik merah Kinanti menatap Kiran tajam membuat wanita tua itu tergugu.

"Kita badhe nyugengaken wayahipun panjenengan, ... (Kami akan menyelamatkan cucumu, ...)" Kiran hendak berteriak senang, namun langsung menegup ludah kasar, "... nangin wekdal panjengan yuswa 17 warsa. Panjenenganipun kedah wangsul mriki lan nderek kalih wula. (... tapi saat dia berusia 17 tahun. Ia harus kembali kesini dan ikut denganku.)"

"Ke-kengin menapa kedah kados menika? Punapa ingkang panjenengan kersani saking wayahipun kula? (Me-mengapa harus begitu? Apa yang kau inginkan dari cucuku?)" Kiran memberanikan diri untuk bertanya. Dia mana mungkin langsung mengiyakan permintaan wanita itu. Terlebih lagi asal-usul wanita itu berasal dari dunia lain.

Kinanti tersenyum. Sebuah senyuman yang tampak rumit. "Amargi mangke, panjenenganipun badhe menumpas petengan lan kehancuran ingkang kedades wonten Lokaswara. (Karena kelak, dia akan menumpas kegelapan dan kehancuran yang terjadi di Lokaswara.)"

*****

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top