PART 3

Tahun 2008

"Ke mana lagi kamu semalem? Ditelepon nggak diangkat. Di-SMS nggak bales."

Sekilas aku melihat Bunda berkacak pinggang menyambut Om Kus yang baru saja masuk rumah.

"Cerewet! Jadi istri itu nggak usah kebanyakan protes. Sudah tahu suami kerja cari duit, masih saja nggak percaya!" omel Om Kus sembari melepas kemejanya.

Aku yang tengah duduk di ruang tamu pun merasa kurang nyaman melihat pertengkaran mereka.

Aku mendengar Bunda tertawa sumbang. "Kerja cari duit? Mana hasilnya, mana?" Bunda membuntuti Om Kus masuk ke kamar.

"Kamu itu duit saja yang dipikirin!" bentak Om Kus pada Bunda.

"Hah! Apa nggak salah? Kamu lupa siapa yang nyolong di kantor?" balas Bunda tak kalah emosi.

Aku tersentak saat mendengar suara pintu yang dipukul oleh Om Kus. Kemarin lusa, aku harus merelakan pot hias di halaman rusak ditendang Om Kus. Saat itu, Bunda tidak memberinya uang untuk membeli rokok.

Kemarin, piring di dapur pecah dibanting Bunda. Semua hanya karena Om Kus mencacat masakan yang dibuat Bunda dengan susah payah.

Hari ini, pintu yang menjadi sasaran kemarahan lelaki itu. Entah besok apalagi yang mereka ributkan dan barang apalagi yang menjadi korban.

Sudah lima bulan, Bunda dan Om Kus selalu ribut. Awalnya hanya cek-cok kecil, tapi menjadi semakin memanas sejak Om Kus dipecat dari pekerjaan tiga bulan lalu. Padahal usia pernikahan mereka baru tiga tahun, tapi hawa neraka selalu melingkupi rumah ini.

Kalau aku amati, akar permasalahan terletak pada Om Kus. Terlebih, setelah dia terbukti menyalahgunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Bunda sama sekali tidak mengetahui ke mana perginya uang itu. Mulai saat itulah, setiap hal yang diperbuat Om Kus akan salah di mata Bunda, pun sebaliknya.

Aku menyambar tas cangklong, memasukkan beberapa buku pelajaran dan alat tulis. Pertengkaran ini tak mungkin reda dalam waktu singkat—paling tidak sampai Bunda berangkat kerja nanti. Oleh karena itu, aku memilih untuk pergi ke perpustakaan demi mencari ketenangan. Aku melirik sekilas jam yang tergantung di dinding kamar, baru pukul 11.20. Masih cukup waktu untuk mampir ke warung makan di seberang jalan, sebelum kembali berkutat dengan tumpukan buku fisika. Besok hari terakhir UTS (Ujian Tengah Semester) dengan mata pelajaran fisika. Aku tidak mau gara-gara pertengkaran Bunda, membuat aku gagal mengerjakan soal ulangan.

Sekilas masih kudengar pertengkaran dari dalam kamar Bunda. Aku mengurungkan niat untuk berpamitan pada Bunda.

"Mau ke mana, Mala? Panas-panas 'gini ndak takut item?" sapa Budhe Paidi-tetangga sebelah rumah-saat aku menutup pintu gerbang.

"I-iya, Budhe. Mau ke perpus, ng ... mau belajar di sana, Budhe." Aku memberi salam pada wanita yang telah kuanggap seperti budhe sendiri itu.

Budhe Paidi melirik ke dalam rumah. "Padu maneh, Mal?"

Aku tersenyum kikuk. Mau menutup-nutupi juga tak mungkin, mengingat rumahku dan Budhe Paidi menempel tembok. Terkadang orang ngobrol saja pasti terdengar, apalagi suara Bunda dan Om Kus yang bertengkar.

"Bu-Budhe mau pergi y-ya?" Aku melihat Pakdhe Paidi mengeluarkan mobil dari garasi.

"Iya, La. Mas Eko, suamine Mbak Puji dines ke Kalimantan. Budhe ndak tegel, nek mbakyumu Kui sendirian di rumah, momong dua anak sendirian. Ini Budhe mau ke Semarang, dianter Pakdhe," jelasnya.

"Ng-nginap lama, Budhe?" tanyaku.

"Nek Budhe yo rodo suwe, La, kalau Pakdhe palingan besok siang juga sudah pulang."

Aku tersenyum lega. Paling tidak, kalau ada tetangga itu agak tenang. Beginilah kalau tinggal di kampung, letak rumahnya beda dengan di kota yang saling berdekatan. Rumahku berada di ujung gang, depannya cuma kebun pisang. Sebelah kiri, rumah Budhe Paidi. Sedangkan rumah tepat di depan Budhe Paidi, sudah lima tahun ini dibiarkan kosong oleh pemiliknya. Jadi wajar 'kan kalau aku merasa lega. Ya, karena rumah paling dekat punya Budhe Paidi.

"Yo wes, ndang mangkat kono. Keburu sore, koyone mau hujan. Kamu sudah bawa payung?"

"Sa-sampun, Budhe. Njih mpun, Ma-mala pergi dulu. Salam buat Mbak Puji," pamitku sambil mencium punggung tangan Budhe Paidi.

Aku menengadahkan kepala, menatap langit kelabu yang mulai menampakkan tanda-tanda akan turun hujan. Harus cepat sampai perpustakaan. Aku tidak mau kehujanan di jalan.

***

Perpustakaan ini sebenarnya hanyalah sebuah gedung kosong yang tak terpakai. Bukan gedung besar atau bertingkat seperti di kota besar. Hanya berukuran kira-kira 9x10 meter dengan halaman yang luas. Di sekelilingnya masih berupa sawah dan kebun pisang. Namun sangat sayang kalau dibiarkan terbengkalai, jadi tidak memiliki nilai guna. Oleh karena itu, penduduk desa gotong royong merenovasinya hingga kini menjadi sebuah perpustakaan.

Bagi kami yang tinggal di pinggir kota Solo, fasilitas seperti ini pun sudah menjadi barang mewah. Susah bagi kami untuk menuju perpustakaan daerah atau perpustakaan kota. Jarang ada angkutan umum yang melewati jalan kampung. Biasanya, kami menyewa mobil atau menggunakan becak kalau ingin ke kota. Bisa juga naik bis kota, tapi harus jalan setengah jam dulu, baru sampai halte bis.

Jadi, perpus ini sangat bermanfaat. Buku-bukunya pun sudah lebih lengkap dibanding ketika awal perpus ini berdiri. Walau kebanyakan buku bekas, tapi bagi anak-anak sekitar, sudah lebih dari cukup untuk menambah ilmu.

Di perpustakaan juga disediakan beberapa komputer dan internet, sehingga siapapun bisa dengan mudah mencari informasi yang dibutuhkan. Cukup mendaftar dengan menggunakan KTP atau KK sudah bisa menggunakan fasilitas secara gratis.

Aku memilih untuk duduk bersila di gazebo yang terletak di depan gedung utama. Memandangi sederetan soal fisika yang njelimet, berusaha mengingat cara penyelesaiannya. Rintik hujan mulai membasahi dedaunan di sekitar gazebo, membuatku semakin terbuai dalam pesona sang rumus.

Sesekali mulutku komat-kamit, entah merapalkan rumus atau hanya sekedar mengomentari betapa susahnya soal-soal itu. Memang seperti inilah caraku belajar. Harus sambil dilafalkan. Hingga tanpa kusadari, beberapa pemuda berteduh di gazebo yang sama denganku. Aku diam-diam memperhatikan mereka.

"Woi, cepetan! Basah nih," ujar cowok berkaos hijau navy.

"Hujan air tok wes mbingungi. Coba hujan duit." Cowok bertopi baseball terlihat santai, berbeda dengan kedua temannya.

"Ha ha ha ... kalau hujan duit malahan nggak bingung, Cung," sahut anak lain yang memakai celana sobek-sobek.

Aku tersentak mendapati ketiga cowok itu telah mendominasi gazebo. Refleks, aku beringsut ke pojok. Gazebo ini hanya memiliki satu pintu, sehingga siapa pun yang akan naik ataupun turun, tentu saja harus melewati pintu yang sama.

"Sendirian aja, Mbak?" sapa si cowok bertopi.

Aku mengkerut di pojokan. Butiran keringat mulai menampakkan diri di dahiku.

"Wah, Mbake sombong. Ndak mau njawab," celetuk si celana sobek.

"Mbake takut sama kamu, Jok. Tampangmu dah kaya genderuwo," tambah si kaos navy.

"Walah, ngece tenan. Ganteng kayak Nikolas Seputro 'gini kok gendruwo," protes celana sobek seraya meninju lengan kaos navy.

Aku memasukkan seluruh barang ke dalam tas dengan tergesa-gesa.

"Eh, mau ke mana, Mbak? Masih hujan deres, lho," cegah si topi, tapi tak kuhiraukan.

Aku berlari di bawah derasnya guyuran air hujan, tak memedulikan lagi tubuh dan tas yang sudah basah kuyup. Yang terpenting aku bisa sampai di rumah secepatnya.

Risih rasanya berada dalam satu ruang dengan mereka, sangat tidak nyaman. Aku tahu mereka bukan orang jahat, tapi entah mengapa tak ada sedikit pun rasa nyaman yang muncul dalam hati.

Astaga. Tanpa sadar aku sudah berlari sejauh ini. Basah kuyup pula. Padahal aku membawa payung di dalam tas, tapi karena panik yang melanda, sampai tidak kepikiran.

Sayup-sayup mulai terdengar azan Maghrib berkumandang, rupanya sudah cukup lama aku berada di perpustakaan.

Rumah masih sepi dan tampak gelap. Biasanya, Bunda pulang kerja sebelum Magrib. Namun, setelah Om Kus dipecat dari kantor, jam kerja Bunda terpaksa diperpanjang. Dan kalau masuk shift sore seperti ini, pukul 23.00 baru sampai rumah.

Aku menyalakan lampu depan, dan ruang keluarga terlebih dahulu, lalu masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Besok masih ada UTS fisika, aku tidak mau sampai sakit.

Setelah mengeringkan badan dan berganti pakaian, rasanya tubuhku begitu lemas. Mataku pun terasa sangat berat. Mungkin karena tadi terlalu terforsir untuk berlari dari perpustakaan ke rumah. Rasa lapar tak lagi kurasa. Hanya ingin merebahkan diri sejenak. Melepaskan sedikit penat dan kantuk yang mendera.

***

".... Kamu cantik ... tubuhmu sangat menggoda. Kamu tahu, sudah sejak lama aku menginginkanmu. Akhirnya hari ini datang juga."

Lamat-lamat aku mendengar seseorang berbisik, entah ini masih dalam alam mimpi atau nyata. Namun, sentuhan tangan kasar itu serta-merta membuat mataku terbuka lebar.

"O-om Kus! A-apa ini? Kena–"

Tangan kasar itu kini membungkam erat mulutku, memotong pekikan terkejut yang kini harus teredam oleh bekapannya. Sebelah tangan yang lain mengunci kedua lenganku ke atas dengan kasar. Membuat tubuhku melengkung kesakitan. Apa yang dia lakukan padaku? Kenapa dia berbuat seperti ini?

Bulu kudukku meremang, napasku tersekat seolah ada buntalan kapas menyumpal di tenggorokan. Wajahnya semakin mendekat, embusan napas yang beraroma alkohol sangat menusuk hidung. Baru kusadari, tubuhnya sudah naik ke tempat tidur. Bahkan kini terasa separuh beban tubuhnya tertumpu padaku.

Sampai kiamat pun aku tidak akan melupakan wajah itu. Wajah penuh seringai menjijikkan. Dia tak ubahnya seperti seekor serigala kelaparan. Dan aku hanyalah seonggok daging yang dapat memuaskan nafsunya.

Mataku melebar penuh kengerian. Aku memang bukan jenius, tapi bukan pula orang idiot yang tak tahu arah tujuan manusia rendahan ini. Aku berusaha memberontak, menendang-nendang ke udara, mencoba berteriak. Namun, tak ada satu pun yang berhasil membuatku terlepas dari niat jahatnya.

"Dengar, Cantik. Semakin kamu memberontak, akan semakin sakit," desahnya tepat di telingaku.

Ratusan butir air mataku telah tumpah dari cawan yang menjaganya. Tidak! Aku tidak mau!

"Hhhmmmh!!! Hhmmmhfp!" Aku mencoba berteriak selantang mungkin, tapi sia-sia.

"Percuma, Cantik. Tidak akan ada yang mendengarmu. Dan jangan harap Bunda brengsekmu itu nolongin!"

Aku kembali berusaha melepaskan diri. Meronta. Menjejak.

"Asal kamu tahu, Mala. Semua ini karena Bundamu itu. Dia tidak mau lagi disentuh. Sok paling benar. Dan aku paling tidak suka diremehkan. Dan kamu ... kamu yang harus membayar semua sakit hatiku pada Bundamu."

"Toloooong!!! Jangan, Om! Mala mohon!" teriakku saat kedua tangannya mengoyak kaus yang kukenakan.

"Toloooong!!!" Aku menjerit lagi. Namun, suara hujan di luar meredamnya.

Aku menendang tulang keringnya dengan keras, tapi dia semakin beringas. Seluruh pakaianku terserak di lantai. Tangan kasar itu menjamah. Melalap senti demi senti tubuhku. Menjelajah. Mencecap segala rasa dalam diriku. Mencabik, lalu mencampakkan harga diriku hingga ke dasar jurang neraka.

Lelaki itu menanggalkan penutup tubuh gempalnya. Melepaskan tubuhku dari cengkeramannya. Secepat kilat aku beringsut. Menggapai pintu kamar. Namun, tangan itu kembali mencekal pergelangan kakiku. Menyeret lalu mengeban tubuhku ke atas tempat tidur. Menempeleng berulang kali hingga ragaku terkulai layu.

Mata itu. Aku benci melihatnya. Mata penuh nafsu binatang. Senyum menjijikkan itu lagi. Ingin rasanya merobek mulutnya biar tidak bisa menampakkan seringainya lagi.

Aku menangis hebat. Meraung, berharap dia akan melepaskanku. Namun, Om Kus sama sekali tak menggubrisku. Lelaki itu seperti kesetanan. Dengan tenaga yang tersisa, aku merapatkan tungkai.

"Buka kakimu!" bentaknya.

Tidak akan! Aku harus mempertahankan satu-satunya barang paling berharga yang tersisa. Namun, apalah arti kekuatanku di matanya. Lelaki itu membentangkan kedua kakiku dengan biadab.

"Aaaakkkhhh ...!!!!!" Aku berteriak ketika dia berhasil menancapkan dirinya ke dalam tubuhku. Merobek. Mengoyak segala penghalang.

Sakit! Pedih! Dia telah mengobrak-abrik tirai suci yang kujaga seumur hidup. Om Kus benar-benar dikuasai oleh hasrat binatang. Tangisku pun tak mau lagi didengarnya. Dia seperti harimau lapar yang baru menemukan mangsa. Dengan brutal, dia menghentakkan diri menyerangku yang hanya bisa menangis.

Lelaki tak bermoral itu melenguh panjang. Merodok dengan buas. Menumpahkan lahar ke dalam inti diriku.

"Jangaaan ...." Aku mendesis pilu. Tubuhku lemas lunglai. Bagaimana kalau aku hamil?

Dengan sisa kesadaran, akhirnya lelaki itu menyudahi ulah bejatnya. Meludahi wajahku.

"Kamu benar-benar memuaskanku. Sekarang kamu dan Mira tidak bisa bersikap sok suci lagi. Kamu sampah!" ucapnya sebelum berbalik meninggalkan tubuhku yang terbujur kaku.

Sakit! Nyeri! Seluruh diriku hancur, sehancur-hancurnya. Aku cuma bisa menangis, merasakan perih tak terperi pada sekujur tubuhku.

Aku hanya barang bekas, tidak berharga lagi. Tubuh ini menjijikan, sangat kotor. Nista! Aku memukul seluruh tubuh dan menjambak rambut dengan keras. Aku jijik dengan tubuh ini. Aku pukuli dada, sesak! Terasa nyeri tepat di dada.

"Bunda ... Bunda ...!!!" Aku berteriak memanggil nama bunda, menangis, meraung. Berharap dia tahu, aku kesakitan sendiri.

Aku melepas semua beban yang ada dengan berteriak sekeras mungkin. Seperti berada di ruang kosong tanpa udara, terasa sesak. Itu yang aku rasakan saat ini.

Semua terenggut paksa oleh manusia berhati iblis, dia bahkan tidak pantas di sebut manusia. Dia itu binatang!

Apa lagi yang aku miliki? Tidak ada. Semuanya menguap. Meninggalkanku dalam nestapa tak berujung.

Kurasakan nyeri teramat sangat di bawah sana. Merabanya dan mendapati cairan kental anyir mengalir membasahi sprei. Bukti nyata bahwa ini bukanlah mimpi. Aku merasakan sebaskom es batu mengguyur seluruh tubuh. Menggigil. Membeku. Hampa. Tak berjiwa.

Duniaku berakhir saat ini juga.

***

Solo, 23 Januari 2017

Edit
Solo, 10 Juni 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top