Bab I: Abiogenesis

Di era sebelum adanya aksara dan masa, tersebutlah satu tempat bernama Samudra Sangkala dalam Ketiadaan. Luas terbentang di atas Firmanen, tempat itu dibanjiri energi-energi stagnan yang tak terbatas. Darinya pula hadir entitas-entitas yang mampu mengendalikan energi tersebut dan memiliki kehendak bebas atas diri mereka sendiri. Energi-energi ini adalah bentuk magi primordial-kekuatan asing yang mereka kenali sebagai yang pertama dan yang terbesar dari yang lainnya. Dengan menjinakkan kekuatan ini, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Sekalipun demikian, tidak ada yang bisa mereka lakukan dengan sesuatu yang mereka sendiri tidak memiliki pengetahuan atasnya.

Entitas-entitas naif ini awalnya tak memahami apa-apa selain dirinya sendiri saat keluar dari kedalaman Samudra Sangkala. Mereka tidak pula terikat oleh hukum-hukum yang ada di dalam Ketiadaan. Lama-kelamaan mereka mengenali satu sama lain, lalu membaur dengan sesamanya, baik dalam kelompok maupun golongan. Sekali-kali tiada pemisahan di dalamnya walaupun tiap-tiap dari mereka memiliki kehendak dan wujud berbeda. Dengan demikian mereka mencapai konklusi pertama bahwa dengan adanya kehendak yang berbeda-beda, mereka benar-benar ada dalam realita.

Ide pertama kali muncul kala beberapa di antara mereka berusaha menciptakan cara untuk menghibur diri mereka sendiri. Hal ini kemudian diikuti oleh entitas-entitas yang lain. Dengan menciptakan ragam pola dari energi murni yang ada di Samudra Sangkala untuk mengungkapkan maksud dan makna, mereka mendesain simbol-simbol pertama dan menggunakannya sebagai sebuah konsolasi. Entitas-entitas itu merasa bahagia, dan di atas Samudra Sangkala mereka-layaknya sesama saudara kandung-menjelajah bersama dan memainkan banyak permainan demi memuaskan rasa keingintahuan mereka yang besar.

Salah satu dari mereka-yang termasuk dalam golongan pertama ketika terbangun dari kedalaman Samudra Sangkala--dilanda rasa bosan dan frustasi akan hal-hal baru yang tak kunjung ditemukan. Maka ia mengembara ke bagian terluar Samudra Sangkala untuk mencari ketenangan dalam mencari ide. Usai berpikir keras, terciptalah darinya sebuah ide, satu konsep yang baru, yakni suara. Ketika ia pertama kali memberitahukan konsep baru ini pada adik laki-lakinya, ia mendemonstrasikannya dengan cara mengirim langsung suara tersebut ke minda adiknya. Pelan, laiknya setetes embun yang jatuh dari tempat tinggi ke atas permukaan air, tetapi cukup untuk membangkitkan rasa penasaran adik laki-lakinya. Sang adik lalu meniru perbuatan kakak perempuannya, dan mereka berdua berada dalam kegirangan sebelum ide lain lahir dari pemikiran mereka berdua.

Sang kakak menggabungkan suara-suara tersebut dengan simbol-simbol yang diketahuinya sepasang demi sepasang agar lebih menarik--mengawali kelahiran aksara pertama di alam semesta. Diciptakannya satu kata yang terdiri dari lima huruf untuk menyapa adiknya, tetapi hal ini malah menyebabkan adiknya kesulitan untuk memberikan respons. Tak lama kemudian, kakak perempuannya tertawa karena yang ia berikan hanya rangkaian nada-nada fals yang menggelikan, sementara adiknya juga ikut tertawa, mengingat betapa lucu dia terdengar.

Usai menciptakan beberapa ratus kata untuk benda, jumlah, dan anasir yang tak mampu dideskripsikan, adik laki-lakinya kemudian mengusulkan padanya mengenai sebuah nama untuk mengidentifikasi tiap-tiap entitas yang ada. Jadilah ia menamakan dirinya sendiri sebagai Amilatura, dari kata Ahmil (keadaan tanpa ada gangguan) dan Dhura (seluas Samudra Sangkala). Sedang adiknya memilih nama Mundoroz, dari kata Muhn (selalu berpikir dua kali sebelum melakukan segala sesuatu) dan Doros (menyelami kedalaman Samudra Sangkala). Maka dibagikanlah ide brillian ini kepada yang lain, yang tampaknya jatuh cinta pada konsep baru tersebut.

Ada delapan entitas yang pertama kali mendengar ide tersebut, dan sebagaimana yang telah dilakukan oleh kakak-beradik itu, mereka menamai diri mereka sendiri. Defranti, Fenabria, Taumiel, Okhiris, Kandayaru, Intiarma, Keanurth, dan Kiaila lalu saling bahu-membahu menciptakan berbagai macam suara yang kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan. Harmoni tercipta karenanya, dan mereka pun ikut terpengaruh oleh suka cita dan keindahannya.

Hal ini segera menarik perhatian entitas-entitas yang berada dalam jangkauan mereka untuk segera datang dan berkumpul. Mereka yang hadir adalah Lahyima, Azhir, Innisti, Kertabama, Nalvius, Ailfrid, dan Sirrin. Bersama-sama, mereka bereksperimen dengan menggabungkan masing-masing suara yang mereka buat, dan darinya tercipta musik pertama yang membuka pikiran mereka menuju probabilitas-probabilitas yang jauh lebih indah daripada apa yang mereka kerjakan. Salah satunya adalah gagasan tentang sebuah simfoni raksasa.

Setelahnya mereka tidak lagi berada dalam stagnasi, tidak pula dalam keterbelakangan. Sebelum mereka berpencar untuk mewartakan ide ini, mereka setuju untuk memanggil sesama mereka dengan sebutan Ulyana, yang artinya telah mengetahui. Gagasan itu kemudian menyebar cepat seperti sebuah api yang menyulut potensi dan gairah tersembunyi dalam diri mereka. Berbondong-bondonglah mereka datang dari seluruh penjuru Ketiadaan untuk ambil bagian dalam simfoni ini.

Di tengah-tengah Samudra Sangkala para entitas berkumpul dan mengambil posisi, selagi mereka semua mendengarkan instruksi dari para Alaritar (yang utama)--sebutan bagi para Ulyana yang lebih dahulu mendatangi Amilatura dan adiknya. Amilatura kemudian membagi simfoni ini menjadi tiga pergerakan. Tiap-tiap pergerakan memiliki langgam yang berbeda, tetapi tetap menyongsong satu tema yang sama, yakni tentang para Ulyana sendiri. Tidak ada satu Ulyana pun yang mampu menolak ide brillian ini.

Maka mulailah mereka menyusun Simfoni Agung--sebuah komposisi musik kolosal menggunakan berlaksa instrumen dan suara yang mereka tuangkan dari seluruh kehendak dan kekuatan mereka. Ketika anakrus dari musik ini menyembul ke permukaan, muncul sebuah visi dari dunia-dunia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Dari bentala-bentala itu pula muncul benda-benda dan makhluk-makhluk dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna yang asing. Para Ulyana, terpesona oleh keindahan dan keragaman yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, menjadi lebih semangat dalam memfokuskan energi mereka dalam satu titik di tengah-tengah Samudra Sangkala--bejana kosmik yang nantinya akan menampung realisasi dari kehendak mereka.

Awalnya musik itu dimulai dengan nada yang bermain-main, seakan-akan diiringi oleh tiupan seruling dan gesekan senar biola yang mendamaikan suasana. Satu suara perawan--laiknya seorang vokalis utama--memandu mereka semua dalam pergerakan pertama. Suaranya selembut madunya yang menyiratkan kasih sayang mendalam diikuti dengan kor para Ulyana di belakang dirinya.

Dari kedalaman Samudra Sangkala yang bergejolak, ratusan warna baru terlepas dan membentuk sebuah pusaran pancarona yang terus mengembang ke atas dan berkumpul di satu noktah-tempat para Ulyana membentuk formasi lingkaran besar--sebuah neksus guna menghubungkan kehendak satu sama lain. Warna-warna tersebut tidak cair, tidak pula berwujud abstrak seperti yang mereka bayangkan, 'tapi tidak lain merupakan kumpulan dari segala spektrum warna yang hadir sebagai sebuah anasir baru: cahaya. Semua warna berlipatganda, tetapi anasir ini tetaplah esa.

Menyambut bagian pertengahan, buah dari kerja keras semakin merekah. Dengan semakin meninggikan dan memvariasikan nada suaranya, Amilatura mendorong batasan-batasan yang ada di dalam dirinya, dan hal ini diikuti oleh para Alaritar di belakangnya. Begitu pula dengan para Ulyana yang lain. Mereka semakin memperkaya simfoni tersebut dengan instrumen-instrumen mereka yang bersuara laiknya harpa, organ, seruling, drum, dan terompet.

Dominasi warna biru, magenta, putih, azura, jingga, dan kirmizi dalam pusaran pancarona bergejolak menjadi satu kesatuan yang akbar hingga mengguncang seluruh permukaan Samudra Sangkala dengan riaknya. Di dekat pusaran pancarona itu--dan untuk pertama kalinya--mereka merasakan apa yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Vibrasi. Kesuaman. Kenyamanan.

Namun Simfoni Agung tidak berhenti sampai di situ saja. Saat kurva pusaran pancarona itu semakin menyerupai sebuah parabola, mekar satu bola energi putih dalam putaran spiralnya, menarik warna-warna yang berterbangan. Kecil, 'tapi terus mengembang dengan pasti.

Amilatura memberi aba-aba pada akhir pergerakan kedua, dan mereka pun memahami arti dari isyaratnya. Sebagian besar dari mereka menurunkan kekuatan instrumennya--mengikuti suara Amilatura yang mengekor di belakang. Lambat, 'tapi mantap dalam setiap nadanya. Mengambil ancang-ancang, para Ulyana kini memfokuskan seluruh kehendak mereka ke dalam anyaman musik masing-masing dengan cepat. Yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang luar biasa.

Bola energi itu meledak. Letusannya mengisi seluruh Ketiadaan dengan materi, energi, ruang-waktu--konsep dan wujud yang belum pernah ada sebelumnya di luar Samudra Sangkala-mengakhiri Era Kehampaan dengan sambaran kalor ke segala arah. Akan tetapi posisi para Ulyana tetap tak tergoyahkan.

Dalam kekacauan itu, suara Amilatura teramplifikasi dalam crescendo nyanyi harmoni, menuntun para Ulyana menjinakkan kaos dahsyat yang tercipta sebagai segmen yang tak terpisahkan dari realita. Begitu merdu dan kuat, suaranya membimbing kor para Ulyana dalam satu keserentakan, menembus batas-batas yang masih tersisa di atas Firmanen, meregangkan dan merentangkan kehendak mereka menembus Ketiadaan. Maka sekali-sekali inilah yang tak bisa diungkapkan, tak dapat diterjemahkan, dan tak mampu dijelaskan.

Demikianlah bagaimana para Ulyana mencapai klimaks dari Simfoni Agung yang kehebatannya tiada tara. Bagi mereka itulah kulminasi dari fuga yang menjadi nyata senyata-nyatanya, sampai Ketiadaan yang mereka semayami serasa lenyap oleh satu distorsi kolosal-seakan-akan seluruh alam semesta sedang bernyanyi dalam suara tunggal.

Lanskap Samudra Sangkala yang semula dibanjiri tinta hitam pekat dengan cepat bertransformasi menjelma percampuran antara warna biru dongker, jingga, dan emas-dimulai dari bagian yang paling dekat dengan bekas pusaran pancarona tersebut. Inilah bukti bahwa simfoni mereka memberikan tekstur tersendiri dalam sintesis dari harmoni dan kaos. Sekali-kali tiada keraguan dalam diri mereka tentang kemegahan dari bagian akhir simfoni mereka, dan mereka bangga karenanya.

Seiring dengan turunnya nada suara Amilatura, para Ulyana juga makin meredupkan kekuatan instrumen mereka, memberi ruang bagi sisa-sisa panas dari ledakan tersebut untuk mendingin, hanya untuk kembali bangkit dan memutarbalikkan kehendak mereka melawan kekacauan yang brutal. Pada jeda sempit inilah satuan yang tak bisa lagi dibagi terbentuk, begitu pula dengan bentuk terkecil dari dua elemen yang paling esensial di alam semesta.

Dua jenis elemen itu saling memecah-belah, lalu berkumpul dalam kelompoknya sendiri-sendiri, saling tarik-menarik dan bertabrakkan sebelum akhirnya menjadi gumpalan awan-awan kosmik pertama. Para Ulyana melihatnya dengan rasa takjub dan penasaran. Pandangan mereka meregang sejauh yang mereka ketahui seraya menyaksikan proses pembentukan bola-bola energi panas yang kian bergejolak di atas Samudra Sangkala. Pada titik ini, Simfoni Agung telah berhenti sepenuhnya, menyisakan gema yang masih terdengar oleh sebagian besar Ulyana di kejauhan.

Para Ulyana nyaris bergeming dalam hening, kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya. Banyak dari mereka yang bersuka cita, mewartakan bahwa merekalah yang berhasil melakukannya. Kala mendengarkannya, rasa takjub, suka cita, dan bangga-semuanya bertakhta dalam diri Amilatura. Masih belum berakhir, kumpulan dari gugusan-gugusan tak beraturan itu semakin lama berubah bentuk menjadi elips dan spiral. Di tengah-tengah salah satu gugusan tersebut, mekarlah bilah-bilah sinar pertama yang menandai kedatangan benda-benda baru. Amilatura nantinya menamakan mereka bintang, sedang adik laki-lakinya menamakan mereka aswini.

Meregangkan pendengaran, Amilatura bisa mendengar gejolak api yang berada dalam jangkauan dirinya, tetapi untuk sesaat ada sedikit disonansi yang bisa ia dengar di ujung Samudra Sangkala. Ketidaksesuaian ini berpadu dengan sisa-sisa Simfoni Agung--suatu penyimpangan yang tak lazim di dalamnya. Sementara itu, perhatian para Ulyana terfokus pada penamaan zat-zat dan benda-benda baru di sekitarnya sebelum teralihkan ke topik lain.

Para Ulyana memperhatikan bahwasanya makhluk-makhluk yang ada dalam visiun mereka belum tercipta meskipun Simfoni Agung hanya tinggal gemanya saja. Dari atas Samudra Sangkala mereka sadar bahwa makhluk-makhluk tersebut tidak bisa hidup di atas permukaan bintang-bintang yang panas. Dengan bantuan para Alaritar, mereka mulai menempatkan beberapa bebatuan dan kumpulan debu kosmik ke satu titik yang pasti di atas Firmanen-mengimitasi bentuk bintang-bintang yang ada. Darinya mereka mulai memahami, ada satu anasir tak kasat mata yang menyebabkan kumpulan bebatuan dan debu tersebut mampu menarik benda-benda lain di sekitarnya dalam ukuran tertentu.

Ketika kumpulan batu itu mulai menyerupai bentuk bola sempurna, permukaan kasarnya saling merekah, membentuk lanskap alam yang dipenuhi magma dan kepulan sulfur beracun. Selagi lempengan-lempengan di permukaannya bergerak satu sama lain, jajaran pengunungan aktif perlahan terbentuk, diikuti dengan lembah, jurang, dan bukit. Dengan demikian, terciptalah cikal-bakal planet yang mereka namakan Terra.

Untuk membawa cahaya ke planet muda ini, Amilatura meminta Keanurth dan Kertabama untuk menempa sebuah bintang yang panas, sinar, dan jaraknya dapat mendukung kehidupan yang akan muncul di planetoid ini. Maka segera dikumpulkanlah debu kosmik sebagai selaput tabir bagi protobintang yang akan lahir. Sesuai dengan cetak biru yang diberikan Amilatura, mereka mengambil dua substansi utama dari bintang-bintang lain dan mulai memadatkan gas-gas yang terkumpul dalam bentuk cakram. Di dalam pusatnya, sebuah bola energi berwarna merah kekuningan bergejolak dalam tekanan hebat, memicu reaksi yang menyulut bintang tersebut. Oleh Keanurth, bintang itu dinamakan Baskara, sedang oleh Kertabama, bintang itu diberi nama Solis. Meskipun begitu, planet Terra masih belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Sementara Keanurth dan Kertabama menyempurnakan kreasi mereka, para Alaritar yang lain mencoba berimprovisasi dengan menciptakan benih-benih kehidupan secara besar-besaran di tempat lain sembari mengingat-ingat visiun yang mereka dapat. Atas kesepakatan bersama, mereka menambahkan tujuh planet berbeda yang mengorbit matahari dan menamainya dengan nama beberapa Ulyana yang turut berkontribusi dalam penciptaannya. Nalvius ditunjuk langsung oleh Amilatura untuk menjadi supervisor proyek ini selagi ia sendiri berada di Terra. Ketujuh planet yang akan dibentuk direncanakan berbeda satu sama lain, baik dari besar, komposisi, maupun permukaannya. Mereka biasanya bekerja berpasang-pasangan, dikawani oleh para Ulyana yang setia mengikuti mereka. Oleh para Alaritar, mereka disebut Ilaur.

Para Ulyana ini lalu menempatkan planet-planet ini di tempat yang berbeda. Nabu dan Vesper ditempatkan di antara Solis dan Terra, sedangkan Nirgal, Marduk, Ninurta, Maritayu, dan Waruna ditempatkan di luar orbit Terra. Untuk memisahkan antara planet luar dan planet dalam, Nalvius mendirikan dinding berupa lingkaran bebatuan di antara Mars dan Jupiter. Setelah selesai, mereka mengambil benang merah bahwa satu-satunya planet yang kemiripannya mendekati Terra hanyalah Ares, itu pun dengan perbandingan penyusun dan struktur planet yang tidak sama.

Melihat Terra yang masih kering dan kosong, Mundoroz bekerja sama dengan para Ulyana untuk mengalirkan sedikit daripada air Samudra Sangkala ke permukaan Terra yang gersang. Para Alaritar diposisikan sedemikian rupa sehingga dari kejauhan mereka tampak seperti ular naga yang saling menyambung satu sama lain. Ketika air pancarona itu menuruni langit dan menyentuh tanah, aroma petrikor yang asing segera merambat ke seluruh mayapada, mendinginkan bagian kerak Terra. Begitu terjadi kontak antara aliran air itu dengan magma, warnanya berangsur-angsur membiru. Dikelilingi air, satu superkontinen muda bernama Pangea tersebut muncul dari permukaan air. Namun ternyata tanda-tanda kehidupan di Terra belum muncul juga.

Innisti dan Kandayaru kemudian mengusulkan pada para Alaritar agar kehidupan dimulai dari skala mikro, mengingat dari sekian banyak eksperimen dari skala makro belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Para Alaritar kemudian menciptakan organisme-organisme mikro pertama yang dikembangbiakkan di bawah permukaan Terra yang dibanjiri air Samudra Sangkala. Salah satunya mereka namai siano. Organisme ini merabah dengan sangat cepat begitu naik ke permukaan, menstabilkan kehidupan di atas permukaan Terra. Lapisan gas baru yang dihasilkan organisme ini memberi jalan untuk tumbuh dan berkembangnya vegetasi primitif dari daerah penuh air yang disebut Samudra Panthalassa. Petala ini menyusun tujuh lapisan berbeda yang meregang hingga mencapai Aether atau ruang hampa.

Selanjutnya ditugaskanlah empat saudara perempuan-Defranti, Intiarma, Fenabria, dan Taumiel--untuk menyemai dan menyuburkan permukaan Terra yang masih gersang. Taumiel menggemburkan tanah Terra dan melembutkannya dengan air dari Samudra Panthalassa. Fenabria kemudian menaburkan benih tumbuhan-tumbuhan perintis di sepanjang pesisir pantai lalu melewati muara hingga hulu yang penyebarannya dibantu dengan angin buatan Okhiris. Usai terikat ke permukaan Terra, Intiarmalah yang merawat mereka hingga bunga-bunga pertama mekar. Ketika buah-buahannya mulai ranum dan benih-benih kembali merekah, maka giliran Defranti yang menjaga dan memastikan sisa-sisa buah dan batang tumbuhannya tidak terbuang sia-sia. Dari atas, para Ulyana bisa melihat urat-urat biru dan warna hijau yang tengah mewabah ke seluruh penjuru benua.

Karena muncul ketidakpuasan di antara para Ulyana dengan topografi planet ini, lantas mereka mulai bekerja mengukir dunia yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri-sendiri. Mereka membagi wilayah Pangea menjadi empat bagian. Masing-masing memiliki musim, iklim, dan cuaca yang berbeda-beda. Di sebelah timur Pangea, mereka memahat lembah raksasa yang nyaris berbentuk bulan sabit. Di sebelah barat, sebuah danau dengan air biru dongker merekah dari padang pasir yang tandus. Sedangkan di sebelah utara, jajaran pengunungan bersalju yang baru diangkat ke permukaan planet. Terakhir, di sebelah selatan, sebuah gunung besar didirikan di sekeliling hutan yang lebat.

Ketika makhluk-makhluk yang dinantikan belum juga hadir, salah satu dari Alaritar, Azhir, turun dari Samudra Sangkala dan berkata di hadapan Amilatura, "Tidakkah kita buat mereka (makhluk-makhluk itu) serupa dengan kita? Yang mereka butuhkan hanya (sebuah) bejana untuk menjaga agar spirit-spiritnya terikat ke dunia ini."

Amilatura duduk dan mendengarkan di tengah-tengah Dataran Tinggi Pangea, lalu memanggil adiknya, "Wahai adikku, kiranya apa yang cukup kuat untuk mengikat (dan memerangkap) spirit-spirit makhluk-makhluk (dalam visiun) itu?"

Adiknya hanya diam sesaat, lalu menunjuk tanah liat basah yang ada di antara mereka. Mereka yang melihat isyaratnya berada dalam kebingungan, sebelum ia mengambil segumpal tanah liat kemudian mengukir dan memahatnya sedemikian rupa, memberinya sepasang mata dan telinga, sebuah hidung, mulut, dan lidah tajam serta tiga pasang alat gerak. Setelah menyempurnakan interior dari makhluk pertamanya, ia kembali menyelimuti bagian interiornya dengan tanah liat dan menyisipkan informasi yang diperlukan untuk ciri-ciri dan cara kerja makhluk itu. Sekarang yang dibutuhkan hanya apa-apa yang dapat menyalakannya. Berbalik, ia mengisyaratkan agar kakaknya memberikan sedikit daripada substansi miliknya pada benda aneh itu.

Amilatura yang semula merasa terheran-heran dengan bejana yang dibuat adiknya itu lalu mencoba meniupkan sebagian kecil dari spirit yang ia miliki pada bejana tersebut. Para Alaritar menyaksikannya sebagai nyala api kecil yang dimasukkan melalui mulut bejana itu. Sesaat kemudian, ketika esensi dari spirit Amilatura membakar bejana itu dari dalam, warna bejananya berubah perlahan dari warna coklat gelap menjadi coklat keemasan yang berkilauan. Lapisan luarnya bertransformasi menjelma sisik-sisik keras, dan jantungnya mulai berdetak mengalirkan esensi dari spirit yang telah diembuskan. Nyala api tadi terencerkan dan berubah warna menjadi merah membara, mengisi jantung dan pembuluh-pembuluh yang dibentuk Mundoroz. Untuk pertama kalinya, para Ulyana bisa mendengar detakan jantung dari makhluk yang mereka nanti-nanti. Para Alaritar merasa amat bangga dan gembira ketika makhluk itu tunduk di hadapan mereka.

Usai melihat contoh dari Mundoroz, para Alaritar mulai mengerjakan proyek besar mereka sendiri--di mana tiap-tiap makhluk yang mereka buat adalah ekstensi dari model yang dibuat Mundoroz. Beberapa dari mereka membentuk ambifi-ambifi berkaki enam yang tinggal di sebelah barat Pangea. Ada pula yang melepaskan ikan-ikan kecil ke tepi pantai di selatan Pangea. Namun yang paling menarik adalah singa-singa bersayap yang dibuat Amilatura, karena di sinilah ia memberikan berkatnya yang paling agung: kemampuan untuk berbicara dan kehendak bebas sebagai 'makhluk bijaksana' melalui Agni Amarta-manifestasi kearifan dan kehendak Amilatura-yang diembuskan langsung melalui napasnya. Meskipun keputusan Amilatura menuai perdebatan panjang di antara para Alaritar-terutama dari empat bersaudara-tak satu pun dari mereka yang berani melarangnya terang-terangan, menganggap ia punya alasan tersendiri untuk menciptakan mereka.

Tak lama setelah penciptaan singa-singa pertama, Mundoroz kembali menyempurnakan ciptaan sebelumnya dengan memberi sepasang sayap dan menghilangkan sepasang kaki agar seimbang-bentuk lebih sempurna dari reptil yang diukirnya. Sebagaimana singa-singa Amilatura, pada mereka juga diberikan kemampuan berbicara dan kehendak bebas dengan kekuatan yang lebih besar. Jadilah mereka sebagai naga-naga pertama yang terbang bebas di langit Terra. Tidak hanya naga, makhluk-makhluk bijaksana seperti griffin dan pegasus juga ikut mendominasi Benua Pangea. Mereka semua diberkati oleh Agni Amarta yang telah diembuskan Amilatura. Kebanggaan para Alaritar begitu besar ketika mereka mengajari makhluk-makhluk tersebut cara berbicara, bernyanyi, dan mengendalikan energi murni. Hal ini juga berlaku pada para Ilaur yang berguru pada para Alaritar.

Bagi makhluk-makhluk yang telah dianugerahi berkah oleh Agni Amarta, Amilatura menitahkan agar mereka diberi jangka waktu untuk hidup di dunia ini sebelum kesadaran mereka dikembalikan ke Samudra Sangkala-tempat semua makhluk akan diangkat nantinya. Hal ini dimaksudkan agar mereka mampu menghargai apa yang telah diberikan pada mereka, dan supaya planet yang telah diciptakan tidak penuh sesak dalam jangka panjang. Para Ulyana dengan patuh menjalankannya. Maka demikianlah mereka mengajarkan konsep tentang sangkala dan tinggal di Terra untuk beberapa waktu.

Segera setelah penciptaan makhluk hidup benar-benar dirampungkan, Kiaila bersama empat bersaudara menumbuhkan benih pohon khusus buatan Amilatura yang dimagnifikasi dan disucikan oleh afeksi yang dicurahkan oleh Ailfrid dan Sirrin di tengah-tengah benua, membuat tunasnya merekah dengan daun dwiwarna-azura keperakan dan vermilion keemasan. Ia bernyanyi di depan benih pohon itu selagi yang lain terdiam, dan Terra pun kembali diliputi kesunyian sekali lagi. Namun tak lama setelahnya suara tanah yang meretak dan lilitan batang berangsur-angsur terdengar. Sebuah bukit terangkat untuk menopang pertumbuhan pohon itu. Batangnya yang kokoh semakin menjulang tinggi, sebelum merekahkan kanopi-kanopi raksasa dwirona yang tampak mengikis sebagian dirgantara dari bawah. Saat kelopak bunga-bunganya mekar, cahaya perak dan emas menyelimuti makhluk-makhluk di sekitarnya.

Begitu pohon itu mencapai tinggi maksimum, bersabdalah Amilatura pada para Ulyana. Sejenak mereka yang berdiri langsung duduk, dan yang terbang segera berdiri di atas udara. Suaranya menggetarkan tanah sekitar pohon itu. "Biarlah Arborvitae--pohon raksasa ini--menjadi saksi atas penciptaan makhluk-makhluk yang terdahulu, sekarang, dan yang akan datang. Ketahuilah bahwa tiap-tiap Ulyana memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan ini, dan tidak satu pun dari mereka yang bisa lepas darinya hingga semesta ini berakhir. Semoga kiranya keberuntungan selalu menyertai mereka yang berada dalam jalan kebenaran, sebagaimana jalan kebenaran selalu memanggil mereka," ujarnya di bawah pohom tersebut.

Para Ulyana tentu terkejut sekaligus sedih mendengar pernyataan ini. Hampir seluruh dari mereka paham bahwa mereka tak selamanya tinggal di sini, dan banyak dari mereka yang memang ingin menjelajah dan menciptakan dunia baru di luar sana. Namun dalam diri mereka juga tidak ada desakan untuk segera meninggalkan tempat ini. Dari awal, Amilatura sudah mengetahui hasrat terpendam mereka, karena itulah mengapa ia sendiri bersikeras untuk mengajari makhluk-makhluk Terra lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.

Sebelum berangkat kembali ke ruang hampa, Amilatura bertutur pada para Ilaur, "Kalian (yang mengetahui) yang setia padaku, kuminta kalian menjaga dunia ini dalam pemeliharaan sebaik-baiknya dan membimbing makhluk-makhluk yang ada (di dalamnya), bagi siapapun (dari kalian) yang sudi." Mengejutkannya, sebagian besar dari para Ilaur sukarela mengikuti permintaannya, sementara yang lain masih ingin mengikuti para Alaritar.

Melanjutkan perkataannya, Amilatura kembali bertitah, "Barangsiapa (dari kalian) yang sudi, maka syaratnya adalah mengikat spirit kalian dalam tubuh makhluk yang kalian ambil (di planet ini) dan mengikuti hukum-hukumku yang berlaku. Pilihannya ada pada diri kalian masing-masing."

Segera setelahnya para Ilaur mengikat spirit mereka dalam salah satu jenis spesies yang mereka kehendaki, kemudian bersiap untuk berbaur dengan sesamanya dan siap menjalankan ketetapan dari Amilatura. Para Alaritar dapat merasakan spirit-spirit mereka berejolak di dalam tubuh-tubuh makhluk fana yang mereka ciptakan. Namun ada pengecualian untuk jangka hidup mereka yang lebih panjang dari makhluk-makhluk ciptaan mereka-dan itu membuat mereka terlihat kekal. Sebelum pergi, Amilatura bersabda sekali lagi pada mereka, "Iungo stamus, divisa cadamus!"

"Iungo stamus, divisa cadamus!" balas mereka semua serempak. Sungguh, jika bukan karena ketegaran yang mereka miliki, pastilah mereka dipenuhi dengan keharuan, sebab mereka mengetahui benar makna kata dari apa yang Amilatura perbincangkan.

Setelah memastikan segalanya berjalan sesuai rencana, sisa-sisa dari para Ulyana lalu berangkat bersama-sama menuju ruang hampa, meninggalkan Terra dalam perlindungan para Ilaur. Sebelum pergi, Amilatura bertanya pada adiknya, "Kaukaitkan dirimu pada planet ini-satu ikatan yang kuat. Maukah kau (mewakili kami semua) memegang tanggung jawab atas planet ini beserta penghuninya (sampai kami datang kembali)?"

Tubuh translusen adiknya tergetar sesaat karena permintaan kakaknya. Seketika itu pandangan para Ilaur menimpa Mundoroz, menunggu keputusannya dengan tegang. Kakaknya melimpahkan kepercayaan penuh padanya, entah sebagai berkah atau kutukan. Ia merasa terhormat atas amanah yang diberikan, 'tapi di lain sisi ia juga meragukan kemampuan dan kompetensinya. Tidak ingin mengecewakan kakaknya, Mundoroz akhirnya mengiyakan permintaan kakaknya dengan segan hati untuk tinggal di Terra.

Sebelum berangkat ke ruang hampa, Amilatura memeluk adiknya dan menyembulkan kobaran agni dari telapak tangannya seraya bersabda kembali, "Janganlah engkau bersedih. Padamu kuberikan keibaan bagi seluruh makhluk hidup yang berakal, kemampuan untuk saling memahami (dalam suatu pembicaraan) dan penyembuhan bagi mereka yang dilanda kesusahan. Kuberikan (padamu) Agni Amarta sebab aku percaya padamu, sebagaimana engkau selalu percaya padaku."

Maka diwariskanlah Agni Amarta kepada Mundoroz, disaksikan seluruh Ilaur penjaga Terra. Agni azura itu berubah warna menjadi merah keemasan begitu berpindah tangan, dan Mundoroz merasakan kesuaman asing darinya. Ia membungkuk sebentar pada kakaknya, yang hanya membalasnya dengan senyuman simpul. Kedua saudara itu berpisah di Gunung Loklok-gunung raksasa di selatan Pangea yang dikelilingi kawasan hutan.

Mundoroz lantas membangun tempat bersemayam bagi dirinya dan para Ilaurnya di tengah-tengah Pangea, tak jauh dari Arborvitae. Mereka yang menyaksikan penciptaannya menyebut kastel itu dengan nama Dracomirator-karena arsitekturnya didominasi oleh relief, patung, dan tapestri yang menggambarkan kemegahan naga sebagai makhluk yang paling ia kasihi. Mundoroz sendiri mengambil bentuk naga raksasa berwarna perunggu dan ikut mengikatkan dirinya ke Terra tak lama setelah kepergian kakaknya. Dari sana ia bersama para Ilaur mengawasi planet ini beserta segenap penghuninya.

Paralel dengan itu, Amilatura naik ke atas Firmanen bersama seluruh Ulyana yang tersisa untuk membangun sebuah panteon megah menggunakan substansi-substansi yang mereka bawa dari Terra. Pilar-pilarnya putih laiknya pualam, sedangkan atapnya berlapis kristal murni yang transparan. Dari atas, pandangan mereka bisa menjangkau Samudra Sangkala dan kedelapan planet bersama bintangnya di kejauhan. Amilatura menyebut suaka ini Katharos--bersih, suci, dan tidak tercela.

Untuk beberapa saat mereka tinggal di sana, sembari bereksperimen dengan bentuk dan substansi baru yang mereka dapatkan. Seperti yang telah dijanjikan Amilatura di awal penciptaan Katharos, para Alaritar mewariskan pengetahuan yang mereka miliki kepada para Ulyana yang lain. Tak lama kemudian mereka berangkat menjelajahi alam semesta--yang kini mereka namai Unus--baik satu per satu, per kelompok, atau dalam jumlah besar. Pada akhirnya, hanya para Alaritar dan segolongan dari para Ilaur yang masih bertahan.

Saat mereka turun ke Terra untuk kedua kalinya, planet ini tak lagi sama seperti yang dulu.

Dan Amilatura meratap karenanya.

===

Illustration by E. F. Guillén.
Music by Dos Brains.
Other illustrations are provided by Pinterest.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top