Bab 2 (Kelemahan)
⚠️Like and Coment⚠️
Selamat membaca
Salam penuh cinta dari Cro.🤭
●○●
~Titik tersakit ialah di saat keluarga sendiri memandangmu lemah~
Seperti biasa, perpustakaan ialah tempat terfavorit untuk menghabiskan waktu istirahat. Kesunyian membuatku tenang, terlebih ditemani dengan buku, walaupun perpustakaan ini aku habiskan hanya untuk membaca novel saja. Waktu istirahat pun selesai, sampai tiba waktu pelajaran olahraga, jujur saja pelajaran ini kurang aku suka, tapi bukan berarti aku tidak bisa berolahraga.
Semua murid pun sudah ganti pakaian, lalu mereka berkumpul di tengah lapangan. Hari ini materi mengenai sepak bola. Para siswa dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari 12 orang per-kelompok, sampai satu orang dari setiap kelompok menjadi pemain cadangan. Aku pemain cadangan itu.
Lima belas menit berlalu, akhirnya giliranku untuk menggantikan salah satu pemain. Rasanya sangat malas, pasalnya aku tidak pandai bermain sepak bola.
Berdiri di posisi sebagai penjaga gawang dengan napas yang menggebu. Mencoba menenangkan diri dengan menarik napas beraturan aku pasti bisa!
"Wah, kipernya banci, nih," teriak salah satu musuh team-ku.
"Haha, sabilah kita bantai!"
"Pastinya, mampus, lo!" Satu tendangan tepat mengenai wajahku dengan sangat cepat.
Tendangan itu membuat badanku ikut jatuh sampai wajah sedikit memerah. Suara tawa membuatku sangat malu, bagaimana bisa selemah ini? Kenapa aku 'tak pandai dalam bermain sepak bola? Aku sangat membenci kelemahan diri sendiri yang lemah! sangat lemah!
"Woy, bangun, lo Banci! Jaga gawang tim kita, jangan lemah!" bentak Randi.
Suara itu? Bukankah itu suara teman dekatku dulu, tapi sekarang ia sendiri ikut meledek. "Iya, maaf." Aku bangkit dengan membersihkan sedikit debu yang berada di tangan. "Ayo, gue siap jadi kiper."
"Cuih, si Banci sok kuat!" ucap salah satu musuh team kami.
Permainan pun kembali dimulai, seperti biasanya akulah yang menjadi buah bibir dari lapangan ini. Pemain paling buruk, pemain paling lemah, dan pemain paling tidak bisa diandalkan.
Aku memang yang paling terlihat lemah di antara pemain laki-laki lain. Aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat seperti laki-laki kelas pada umumnya, tapi sangat sulit. Banci, ialah salah satu panggilan dari semua teman di kelas. Sebuah kebiasaan yang membuat mental semakin rendah.
Aku hanya lebih suka membaca daripada bermain bola, lebih suka permen sebagai pemanis rasa di mulut dibanding menghisap sebatang rokok. Hanya tidak ahli dalam menendang bola dan bertengkar apakah itu banci? Dengan hobi dan keinginan seperti itu saja mengapa bisa menimbulkan kesan banci? Sungguh naif pemikiran mereka!
Permainan pun selesai, aku kini berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian olah raga. Rasa malu dan canggung seketika muncul ketika melihat para siswa teman kelasku sedang berkumpul di dekat kamar mandi. Menarik napas dan berusaha untuk tetap tenang.
"Wah, ini orang yang buat tim gue kalah." Randi berucap dengan badan yang ia senderkan ke tembok kamar mandi.
"Haha, pengacau, lo!" ucap teman sekelasku yang lain. "Banci lewat, nih haha."
"Salah kamar mandi, Mbak."
"Stt, jangan gitu nanti dia nyakar."
Rasa amarah semakin lama semakin memuncak, aku muak jika hinaan itu terus terlontarkan. Aku harus mengakhiri ini semua, semua ini harus berahkir sekarang juga! Mengepalkan tangan kuat lalu menyarangkan pukulan tepat ke salah satu dari mereka.
"Mati, lo!" Satu pukulan tepat mendarat di rahang seorang siswa yang berdiri di sampingku, sehingga membuat ia terjauh. "Bukan berarti gue diem selama ini, kalian bisa simpulin gue lemah!"
"Woy, dasar Banci!" Suara teriakkan Randi dari arah belakang yang diikuti dengan sebuah pukulan sangat keras tepat di bagian pipi kananku, pukulan itu berhasil menciptakan darah yang keluar dari mulut. "Pegang dia!" Kini kedua tanganku telah dipegang oleh dua orang teman kelasku.
"Hey, lepasin kalia---" belum saja kalimat itu selesai, tiba-tiba satu pukulan sangat keras mendarat di wajah sehingga membuatku terdiam lemas beberapa saat.
"Lo berani ke kita?" tanya Randi.
Aku mengangkat wajah, lalu tersenyum menatap Randi. "Cuih, ternyata kalian yang banci!"
"Apa lo bilang, hah?"
"Beraninya keroyokan," ucapku dengan memandang sinis.
Randi kini mengepal, bisa kulihat jika ia sangat marah. "Lepasin dia!' perintah Randi yang langsung dituruti.
"Sialan!" Satu pukulan kembali mendarat begitu saja dengan sangat cepat."Bangun, lo. Lawan gue sini! Di sini nggak ada CCTV."
Baru saja ingin bangkit tiba-tiba suara teriakan terdengar dari arah belakangku, teriakan itu membuat kami semua terdiam dan sedikit ketakutan, pasalnya teriakan itu berasal dari kepala sekolah ini.
Benar dengan apa yang kami pikirkan, kejadian ini langsung membuat pihak sekolah memberikan surat panggilan untuk orang tua kami, tapi bagiku mustahil jika ayah dan ibu akan datang, mereka terlalu sibuk dengan apa yang mereka kejar, sehingga mereka lupa jika ada sosok yang selalu merasa kesepian.
""
Seperti hari-hari biasa, rumah ini selalu sepi dari kehangatan keluarga, di sini hanya ada pelayan setia yang dengan sigap menyiapkan apa yang aku butuhkan.
Satu alasan aku suka di rumah ialah sosok wanita tua berumur 60 tahun ia bernama Bi Inem, sosok penyayang yang selalu memberikan senyum hangat kepadaku dari kecil hingga sekarang.
Sudah pukul sepuluh malam, kedua orang tuaku sangat sibuk dengan pekerjaan mereka, apa mereka tahu jika sudah sangat lama anaknya menunggu di ruang tamu? Aku hanya ingin memberikan surat ini. Menarik napas seraya menyenderkan badan di atas sofa, rasa kantuk menyerang begitu saja sehingga membuatku terpejam perlahan.
"Ajrin, bangun, Nak. Tidur di kamar." Mata terbuka yang langsung disambut oleh ibu, ya dia Ibuku yang kini dengan senyuman di wajahnya ia memandangku hangat.
Aku tersenyum, lalu bangkit dari tidur. Menatap jam di tangan, "Larut sekali Ibu sama Ayah pulang," Ucapku seraya memandang mereka bergantian. "Apa kalian mau aku buatin makanan?"
"Kenapa muka kamu?" tanya Ayah dengan secangkir air di tangannnya.
Ibu kini mengusap wajahku lembut. "Kamu dipukulin?" Ia menatapku lekat. "Ibu ambilkan obat."
Rasa haru dan bahagia mulai terasa. Perhatian dan kasih sayang, rasa ini sudah lama hilang, sejak aku duduk di bangku SMP, tepatnya sejak Ayah dan Ibu memiliki perusahaannya sendiri. Aku sangat merindukan ini semua.
"Pastinya dia dipukulin, Bu. Nggak mungkin dia bisa melawan," sambar Ayah.
"Yah, jangan seperti itu!"
Kadang tidak masalah jika orang lain menghinaku. Namun, jika keluarga sendiri yang menghina, maka itulah yang membuatku merasa lebih dari kata sepi. "Aku berkelahi di sekolah!" ucapku dengan nada suara sedikit meninggi. "Ini adalah surat panggilan dari pihak sekolah buat ayah sama ibu." Meletakkan surat itu tepat di meja depan mereka.
"Apa ini?!" bentak Ayah seraya memukul meja dengan sangat keras. "Tidak ada dalam sejarah keluarga kita membuat onar di sekolah! Keluarga kita itu keluarga terhormat dan terpelajar!" Ia kini berdiri dengan sorot mata menusuk menatapku
"Yah, tenangin pikirannya." Ibu berdiri seraya mengusap pundak Ayah.
Mengepalkan tangan kuat dengan rasa amarah yang kian meluap. "Apa maksudnya, Yah? Bukankah Ayah sendiri tadi seolah tidak terkejut jika aku dipukul? tapi pas aku lawan mereka, kenapa Ayah marah?" Menatap wajah Ayah tajam. "Apa Ayah pernah disebut banci sama satu kelas hanya karena tidak bisa bermain bola? Apa Ayah tau rasanya dihina sep---"
"Memang kamu Banci!" bentak Ayah yang membuat aku terdiam. "Kekuatan apa yang kau punya, hah? Lihatlah dirimu, anak yang hanya sering diam di kamar!"
"Yah, sudah," ucap Ibu lermbut.
"Kau selalu memanjakannya. Urus dia!" Ayah pergi begitu saja, ia meninggalkanku dengan amarahnya yang memuncak.
Aku hanya menunduk dan berusaha mencerna setiap kalimat sosok yang kupangil ayah itu. Sosok yang seharusnya menguatkanku, kini menjadi sosok yang membuat diri semakin merasa sendiri. "Bu, apa Ibu mau da---"
"Sebentar, Nak." Ibu mengambil ponselnya . "Ada sedikit masalah di kantor. Ibu urus dulu, ya." Ia kini meninggalkanku dengan sangat terburu-buru.
Aku tersenyum melihat pemandangan ini. Keluarga, cinta, dan juga kehormatan diri ini pun telah hilang begitu saja. Lantas apa gunanya aku hidup? Ibu pun sampai lupa jika ia mau mengobatiku tadi. Melangkah menuju tempat penyimpanan obat, lalu berdiri di depan cermin dengan mengobati luka ini sendiri. Sakit dan perih terasa, aku kesakitan dengan tanganku sendiri.
Apakah ini yang dinamakan kehidupan? Sakit dengan apa yang dilakukan diri sendiri.
Setelah selesai mengobati luka, kini aku kembali ke kamar. Namun, seketika aku terkejut di saat melihat ibu terbaring di lantai tepat di depan kamarnya. Berlari mendekati sosok itu. "Ibu, bangun, Bu." Tubuhnya kugerakkan, tetapi ia tak merespon sama sekali. Aku mengetuk pintu kamar Ibu kuat. "Yah, Ayah. Bangun! Ibu pingsan, Yah!"
Pintu itu langsung terbuka dengan tampak wajah Ayah yang sangat terkejut. "Kau apakan Ibumu, hah?" Ayah kini duduk disampingku dengan mendorong tubuhku. "Minggir! Kau tak akan kuat membawanya!" Ayah langsung membawa Ibu ke bawah tangga seraya berteriak memanggil supir rumah ini.
●○●
Like and coment⭐⭐
Ttd
🐊
Crocodilecute
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top