15. Kecurigaan
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
Kekuatan itu seluruhnya terletak pada tawakal kepada Allah, sebagaimana ulama salaf: "siapa yang ingin menjadi manusia yang paling kuat, maka bertawakallah dia kepada Allah."
(Zadul Ma'ad 2/331)
🍁🍁🍁
Rania kecewa, reaksi ibunya diluar dugaan. Awalnya, Rania berpikir kalau ibunya akan tersenyum bangga dengan hasil yang sudah ia peroleh, setidaknya meberinya selamat karena sudah berhasil lulus dari sekolahnya. Tapi, sudalah. Rania sudah meutuskan sebelumnya, tidak akan terlalu banyak berharap.
Saat Asri baru saja keluar dari rumah, Radit kembali pulang dalam keadaan kacau.
Asri yang sudah bosan, hanya membiarkan anak itu begitu saja. Tidak bertanya atau pun menyapa.
"Kak, Kakak mabok lagi?"
"Terus? Apa sih kerjaan gue selain kayak gini?" Radit masuk dengan tampang arogan, menyingkirkan tubuh Rania yang sempat menghalangi jalanya.
"Kak, sampai kapan sih Kakak kayak gini? Kita udah gede, kalau kita mau ibu di rumah, Kakak harus kerja yang bener dong."
Langkah Radit terhenti, kemudian memutar badannya dan kembali menatap Rania bengis.
"Gue harus kerja? Ide gila apaan tuh. Nggak bakal, mending gue nikmatin semua yang ada, gue bisa lakuin apa pun sepuas gue. Itu kan yang selalu dibilang sama ibu lo itu?!"
"Yaudalah. Terserah Kakak!" Rania meninggalkan Radit begitu saja. Radit hanya bisa menjangkau kepergian Rania dengan tatapan tak terbaca.
🍁🍁🍁
"Tumben semalam nggak pulang, paling juga tidur di rumah laki-laki hidung belang."
Senna menghentikan langkahnya saat menaiki anak tangga, kemudian tatapannya melayang ke samping, memandang tantenya yang sedang duduk di depan TV.
"Kalau sekali murahan yaudah, murahan."
"Tante nyindir aku?"
"Eh nyonya besar udah pulang, laganya kayak anak yang punya rumah."
Senna murka, lagi-lagi kalimat itu kembali terlontar dari mulut Sarah.
"Terus kenapa?" tanya Senna enteng, ia melipat kedua tangannya di atas dada.
"Harusnya kamu itu malu, Senna. Udah bagus kamu masih mau Tante tampung di sini. Kalau enggak kamu udah jadi gelandangan, dasar nggak tau diri!"
"Apa? Aku nggak salah denger? Tante bilang aku nggak tau diri? Waw!" Senna bertepuk tanggan, kemudian tertawa, seolah baru saja menyaksikan pertandingan.
"Tante yang nggak tau diri, Tante itu udah ngerebut suami orang, udah gitu nikmatin semua hartanya, Tante nggak pikirin gimana istrinya Om Ilyas yang dulu? Kalau aku sih malu ya, udah ngerebut suami orang, eh nggak bisa ngasih anak lagi, siapa yang seharusnya malu? Oh iya, satu lagi Tante itu kan mandul, masih aja ngotot pertahanin suaminya."
Kedua tangan Sarah terkepal kuat di sisi tubuh, perkataan Senna sudah keterlaluan.
"Anak kurang ajar!" Sarah menampar pipi Senna kuat, membuat wajah Senna terbuang ke samping.
Senna memegang pipinya yang terasa panas.
"Iya, aku emang kurang ajar. Tapi seenggaknya aku bukan perempuan yang jahat yang bisanya hancurin rumah tangga orang lain!"
"Cukup Senna! Cukup! Kamu itu nggak tau apa-apa!"
"Tante salah, aku tau kok. Aku tau gimana perasaan Om Ilyas yang sebenarnya ke Tante. Dia itu nggak sepenuhnya cinta sama Tante. Tante itu orangnya egois, nggak pernah mau dengerin apa kata Om Ilyas. Cuma keberuntungan aja yang masih mau bersahabat sama Tante, ngebuat Om Ilyas itu nggak mau ulangin lagi kegagalannya dalam berumah tangga!" pertengkaran sengit antara Sarah dan Senna tidak kunjung berhenti. Senna atau pun Sarah sama-sama tidak mau kalah.
Memandang Senna seperti itu, membuat Sarah samakin sakit hati. Dia sangat membenci Senna. Dulu, ibunya Senna sudah menghancurkan kehidupannya. Sekarang Senna yang sudah membuat Ilyas lebih menyayanginya, mengabaikan Sarah yang seharusnya mendapatkan segalanya.
"Mulai sekarang, kamu pergi dari sini!"
"Tante usir aku? Oke, nggak masalah, siap-siap aja Om Ilyas bakal ceraiin Tante!"
Senna kembali menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamar dan membereskan semua barang-barangnya. Sekarang, Senna tidak akan pernah sudi tinggal di rumah ini lagi.
🍁🍁🍁
Memasuki pub, Senna langsung mencari keberadaan Radit. Senna tahu, ia tidak akan pernah menemukan Radit dimanapun selain tempat ini. Dulu Radit sempat mengatakan, bahwa tidak ada tempat nyaman selain di sini, termasuk di rumah ya sendiri.
Senna mengedarkan pandangannya saat tidak menemukan Radit duduk ditempat biasanya. Menyaksikan manusia yang berjoget ria, Senna bisa melihat Radit yang sedang menari bersama wanita seksi, ditambah gerakan mereka sangat intim.
Tak tahan melihat itu semua, Senna pun langsung mendekati Radit, menarik tangannya dengan kuat.
"Kamua apa-apaan sih, Sen! Kamu nggak liat aku lagi ngapain?" kata Radit dengan oktaf tinggi.
"Kamu yang apa-apaan, kamu udah janji sama aku kemarin, kamu bilang ini cuma khilaf tapi kenapa sih kamu nggak hargain perasaan aku?"
Radit hanya diam, sudah muak dengan Senna.
"Kemana omongan kamu yang manis kemarin, saat kamu perlakuin aku dengan sangat istimewa. Di hotel itu, aku ngerasa kalau kamu adalah satu-satunya orang yang bisa kasih aku kebahagiaan yang utuh!"
"Itu kemarin, Sen. Setiap orang bisa berubah pikiran."
"Maksud kamu?"
Radit hanya mengangkat bahunya acuh, kemudian berjalan mendekati tempat duduk.
"Kamu kenapa sih, Radit. Maksud kamu kamu udah nggak cinta lagi sama aku? Kemana kamu yang dulu, kamu orang yang selalu belain aku kalau aku berantem sama Tante aku. Sekarang aku diusir sama dia dan aku angkat kaki dari rumah itu. Aku yakin sebentar lagi dia pasti bakal berantem sama Om aku."
Radit diam sejenak. Kemudian menatap Senna yang cemberut. Astaga, dia terlalu buru-buru. Radit mendesis, ini belum saatnya dia mengakhiri permainannya. Dia masih membutuhkan Senna untuk menghabisi nyawa perempuan yang sudah merebut ayahnya itu.
"Sekarang kamu mau 'kan bantuim aku cari kontrakan?"
"Oke."
"Kamu nggak mau peluk aku?"
"Nanti aja sekarang aku masih bau keringat."
Senna semakin curiga. Radit berubah dalam waktu sekejab.
"Yaudah, kita cari sekarang."
Senna hanya diam. Meski dengan perasaan yang menyimpan banyak pertanyaa. Apa mungkin ia hanya dijadikan korban? Radit tetap playboy dan tidak bisa memegang semua janji yang pernah diucapkan.
Saat di dalam mobil, Senna tetap diam. Radit juga melakukan hal yang sama, kehangatan yang kemarin seolah sirna begitu saja. Pelan-pelan, Senna merasa hatinya perih. Ucapan Rania waktu itu masih terniang jelas di telinganya.
"Aku mau Kakak ninggalin Kak Radit."
Senna membulatkan kedua bola matanya, pembicaraan Rania sungguh di luar ekspetasinya.
"Kenapa? Kamu marah sama aku karena aku udah maki-maki kamu? Please. Aku nggak bermaksud bikin kamu sakit hati, jangan suruh aku buat ninggalin Radit."
"Bukan, kak. Bukan karena itu. Tapi karena Kak Radit bukan laki-laki yang baik buat Kak Senna. Kak Radit itu laki-la..."
"Playboy?" potong Senna cepat.
"Aku udah tau, kok. Sekarang Radit udah berubah, buktinya dia setia sama aku."
Rania mendesah resah.
"Apa Kak Senna tau tentang kak Radit yang menghamili perempuan?"
"Ha?"
"Jadi kemarin itu ada yang datang ke rumah, minta pertanggung jawaban Kak Radit tentang kehamilannya."
Mendengar pernyataan Rania, Senna hanya terkikih pelan.
"Terus?"
Rania sukses membulatkan kedua bola matanya. Jadi?
"Ya udah pasti kalau Kak Radit itu juga akan lakuin hal yang sama ke Kakak."
Senna menggelengkan kepalanya, Rania pasti salah.
"Kamu kenapa?"
"Nggak pa-pa."
"Oh.."
"Radit?"
"Hmm..."
"Apa kamu beneran cinta sama aku? Kamu nggak ada niatan buat ninggalin aku, kan?"
Radit tersenyum miring, entah apa arti dari senyuman itu.
"Kamu kenapa ketawa?"
"Menurut kamu?"
"Aku curiga sama kamu."
"Curiga?" Radit menatap Senna sekilas, kemudian kembali fokus ke jalan.
"Waktu itu, kamu bisa nebak nama Om aku dengan benar, cuma satu kali tebakan. Terus kamu juga selalu suruh aku buat habisin nyawa tante aku. Apa sebenarnya kamu punya dendam sama mereka? Terus kamu jadiin aku alat buat bales semua dendam kamu. Jangan-janga Om Ilyas papa kamu?"
Karena mendengar pernyataan terakhir, refleks Radit menginjak rem mobil, hingga ban yang meleset di atas aspal menimbulkan bunyi.
Kenapa dia bisa tahu?
"Kamu kaget?"
"Jelas. Kamu udah nuduh aku yang macem-macem, Senna. Ayah aku itu udah meninggal. Mana mungkin om kamu itu adalah ayah aku. Aku suruh kamu habisin nyawa tante kamu karena aku nggak suka kamu diperlakuin kayak gitu. Senna, aku mohon jangan nuduh aku yang macam-macam." Radit menggenggam tangan Senna. Berusaha memberinya keyakinan kalau apa yang ada dipikirannya itu salah.
"Maaf kalau akhir-akhir ini aku berubah sampai kamu ngerasa aku jauhin kamu. Aku cuma lagi ada masalah aja."
"Masalah? Masalah apa?"
"Aku nggak mau libatin kamu, biar aku aja yang selesaiin masalah aku. Sekarang, kita lanjutin cari kontrakan buat kamu."
"Tapi aku ini pacar kamu, Radit."
"Iya, aku ngerti. Itu sebabnya aku nggak mau libain kamu, aku nggak mau kamu kepikiran. Cukup kamu banyak masalah sama tante kamu itu." Radit menarik tangan Senna, kemudian menciumnya dengan lembut. Sekarang, Radit harus berhati-hati. Senna mulai mencurigainya.
🍁🍁🍁
Bersambung
Peluk jauh, Ayatulhusna_
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top