Episode 4

Panggung begitu gelap. Banyak orang yang duduk di bawah sana sembari menatap panggung yang kosong. Hanya terdapat mimbar di atas sana. Kemudian, lampu menyorot pada sisi kiri panggung. Sosok pria berumur 30 tahunan, tengah melangkah menuju mimbar.

Setibanya, dia mengambil microphone tersebut. Pertama, dia mengetuk untuk memastikan suaranya dapat keluar. Setelah itu, dia terdiam. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku jas yang berwarna hitam itu. Matanya memandang ke sana-ke mari. Tatapannya sangat serius hingga membuat penonton pun ikut penasaran.

"Aku masih tidak tahu, kenapa hanya diriku yang disorot?" ujarnya.

Tawa penonton pun menggelegar dalam satu ruangan yang sunyi.

"Panitia! Tolong, jangan lakukan hal dramatis ini! Aku hanya ingin melakukan dengan santai."

Seluruh lampu pun dinyalakan oleh panitia. Seluruh ruangan yang semula gelap kini kembali terang. Harry memandang seluruh penonton yang hampir memenuhi ruangan itu.

"Jadi, kita akan membahas kemampuan ESP, bukan?" tanya Harry pada seluruh penonton.

"Baiklah, kalau begitu," lanjutnya. "Hidup dengan kemampuan ESP adalah sesuatu yang ajaib. Bahkan, kemampuan ini sebenarnya sudah tertanam pada diri kita. Jadi, kita tidak bisa memilih dengan bebas."

Harry melangkah mondar-mandir. "Kemampuan ini berbeda dengan sihir yang lahir di Kota Miracle dan juga di Desa Hulur. Meski di Desa Hulur sendiri juga ada esper. Terkadang kita harus menyikapi hal ini dengan sangat normal. Kita berada di era baru. Bahkan semua orang bisa menggunakan kekuatan alam bawah sadar ini.

"Kemampuan ini pernah ditemukan oleh beberapa orang terkenal dan tentu saja merupakan psikolog. JB Rhine dan Karl Zener. Mereka lah menciptakan sebuah kartu Zener atau kartu ESP. Kartu ini digunakan untuk mengetahui apakah orang itu esper atau bukan. Caranya sangat mudah sekali, seseorang harus menebak kartu itu hingga kebenarannya mencapai 40 persen. Namun, dunia sudah mulai mengubah peraturan itu. 40 persen digunakan bagi mereka—esper—yang tidak memiliki 5 kemampuan dasar seperti elektrokinesis, pyrokinesis, teleportasi, dan lain sebagainya. 60 persen lainnya untuk lima kemampuan dasar seperti, telekinesis, telepati, prekognisi, rekognisi, dan psikokinesis. Sekian dari saya."

Seluruh penonton bertepuk tangan di bawah sana dengan meriah. Presentasi yang dilakukan oleh Profesor Harry Gunawan pun sangat menggugah para calon ahli psikolog untuk mendalami dan mempelajari kemampuan tersebut.

Kemudian sang pembawa acara—seorang wanita dengan gaun berwarna merah—memberi sambutan yang cukup meriah.

"Tadi, itu merupakan penjelasan mengenai kemampuan ESP yang saat ini sedang diteliti. Apalagi mengingat kalau Profesor Harry lah yang menyempurnakan cairan ESP pada tahun lalu. Kini waktunya untuk sesi tanya jawab."

Seluruh audiens dalam ruangan itu mengacungkan tangan. Harry pun mengangkat microphone mendekati mulutnya.

"Aku mengenal semua ini. Pertanyaan yang selalu saja dilontarkan sama. Apalagi memang dugaanku atau tidak, tetapi pasti ada kaitannya dengan kasus bulan lalu, bukan?"

Sebagian audiens menurunkan tangan. Sebagian lainnya masih mengangkat tangan. Harry menghela napas dengan penuh ketidakyakinan dengan pertanyaan mereka yang nantinya pasti akan menerobos ke sesuatu yang tidak diinginkan olehnya.

"Tolong jangan membahas Aiko dan Fani di sini! Karena kita sedang mempelajari sesuatu yang ilmiah."

Sebagian lainnya mulai menurunkan tangan mereka. Satu orang tetap menahan tangannya ke atas. Harry pun mempersilahkan pemuda yang masih mengacung hingga lainnya mulai turun.

"Baiklah, Prof, ada satu hal yang ingin saya tanyakan. Mungkin ini akan sedikit aneh—"

"Lanjutkan saja nak!" potong Harry dengan nada santai.

"Jika ESP ada, lalu apa gunanya ada penyihir? Maksudku kita bisa memanfaatkan mereka sebagai alat perang atau mungkin anda bisa menyebarkan cairan ESP itu."

Harry mengangguk. Kini dia beranggapan kalau pertanyaan itu cukup menarik.

"Baik, akan saya jawab. Pertanyaan yang cukup menarik. Jadi begini, cairan ESP itu sebenarnya termasuk dalam benda terlarang. Karena itu dapat meningkatkan kemampuan secara paksa, tentu saja memiliki risiko yang sangat tinggi."

***

Pesawat perlahan mulai mengeluarkan roda-rodanya. B747 bersiap untuk mendarat di Bandara Internasional Juanda.

Menunggu garbarata dipasang pada pintu pesawat, Misaki mengambil ransel dari bagasi atas. Sesekali dirinya menguap akibat kelelahan. Mai pun juga demikian. Perjalanan yang melelahkan itu terbayarkan karena mereka telah tiba di Indonesia.

Perlahan mereka mengantri menuruni pesawat melalu garbarata. Ada hal yang sebenarnya dibenci oleh Misaki. Menunggu koper yang mereka taruh di bagasi bawah.

Setelah mendapatkan koper, mereka pun bergegas keluar dari bandara dan menunggu di lobi. Perut Mai tiba-tiba saja bebunyi keroncongan.

"Kamu lapar?" tanya Misaki.

"Sedikit."

Misaki memandang sekitar. Beberapa toko memang dibuka. Hanya saja Misaki tidak mau mengeluarkan uang terlalu banyak. Dia menemukan taksi yang tengah berhenti. Misaki mengampiri taksi tersebut. Mai hanya memandangi Misaki yang tengah berbicara dengan supir taksi.

Kemudian, Misaki kembali pada Mai.

"Aku sudah dapat taksi, ayo kita segera pulang."

"Eh kita tidak sarapan dulu?" tanya Mai.

"Makan saja di rumahku, di sini terlalu mahal."

Misaki memasukkan koper dan ransel ke bagasi belakang. Mereka siap untuk pergi ke Surabaya.

Jalanan begitu ramai dengan kendaraan yang masuk dan keluar dari kota Surabaya. Sebuah mal menjulang tinggi membuat Mai sedikit kagum.

"Jadi, seperti ini ya," ujar Mai dengan mata berbinar-binar.

"Itu City of Tomorrow, aku bisa mengajakmu ke sana kalau mau."

"Jadi, kalian benar-benar turis?" tanya supir taksi.

"Tidak, aku asli sini. Hanya ingin mengambil liburan sementara," balas Misaki.

"Jadi, kalian sekolah di luar negeri?" tanyanya sekali lagi."

"Iya, di London lebih tepatnya."

Jalanan sering macet di perbatasan Kota Surabaya. Misaki hanya memaklumi hal ini. Namun, Mai, dia tidak tahu sama sekali. Mungkin di Tokyo mereka lebih jarang mendengar kata macet. Akan tetapi, Mai tidak pernah mengeluh dengan segalanya. Kadang itu membuat Misaki juga sedikit iri.

Taksi berhenti di samping halte bus. Misaki yang meminta supir itu untuk menurunkan mereka di sini. Kemudian, mereka mulai melangkah menuju daerah perumahan yang dekat dengan halte itu.

"Rumahmu di sini?" tanya Mai.

"Iya, kawasan yang sangat menyenangkan, sederhana, dan strategis."

Mereka melangkah di saat yang entah tidak diketahui. Misaki mengecek jam yang berada pada ponsel. Pukul tujuh pagi, mereka kelihatannya tiba di saat jam sekolah akan berlangsung.

"Aiko, ayolah kita lakukan bersama-sama ya untuk tugas besok," suara itu terdengar dari arah berlawanan.

Misaki memandangi sosok gadis dengan rambut panjang mengenakan seragam pelaut berwarna putih dan biru serta rok pendek berwarna biru.

Gadis itu juga melirik Misaki, tetapi dia langsung berpaling dengan cepat. Sedang Misaki menghentikan langkahnya.

"Misaki, ada apa?" tanya Mai.

Misaki pun berbalik. Namun, sosok kedua gadis itu sudah menghilang.

"Dia sangat mirip, hanya saja matanya yang berwarna ungu," ucap Misaki.

***

Baru saja tiba di halte bus, Aiko langsung merebut tempat duduk yang kosong bersama Fani. Seperti biasa, mereka menunggu bus yang datang.

Gadis dengan rambut pendek sebahu, mengenakan seragam blazer biru tua itu membuat Aiko penasaran. Gadis itu terlihat seperti baru saja pulang. Hanya saja, Aiko tidak pernah menyadarinya selama ini. Tanpa berpikir panjang, Aiko merogoh saku rok untuk mengambil ponsel. Dia pun mulai mencari sekolah yang bernama Akademi Sihir.

Akademi sihir itu hanya ada satu di dunia dan terletak di Kota Miracle, London. Aiko mencari seragam yang dikenakan oleh akademi tersebut. Ternyata memang benar, gadis yang baru saja ditemuinya tadi adalah siswa Magical Academy. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top