2
Sepanjang hari, aku gelisah. Bahkan berguling-guling di atas kasur tidaklah menarik. Buku panduan perkemahan yang berada di atas nakas menjadi membosankan. Aku sudah membaca isinya. Tetapi itu tidak menjelaskan denah asrama laki-laki. Kecuali peringatan yang tertulis bahwa anak perempuan tidak boleh ke sana dan sebaliknya.
Sore menjelang dan tibalah malam. Aku keluar kamar dengan cardigan hitam khas perkemahan yang memiliki simbol CP di dada kiri.
"Aes." Novia menepuk pundakku dengan tersenyum manis. Rambut hitamnya di gerai dengan pita kerang laut berwarna merah muda. Keberaniannya tadi siang membuat kami menjadi dekat. "Sudah memikirkan ide?"
Aku menggeleng.
"Tidak apa." Dia menepuk pundakku, memberi kekuatan. Begitu turun di lantai bawah. Aku dan Novia saling menatap dengan bingung. Kori berdiri di depan kerumunan. Lalu menunjukku untuk bergabung bersama yang lain.
"Perubahan rencana." Kori memberitahu. Aku lupa bilang, dia ketua Asrama tahun ini dari Samsara 9. Peringkat tertinggi di Menengah Pertama Samsara. "Kau, pilih empat anggota untuk menyelinap ke asrama sebelah."
"Sekarang?"
"Tidak, tahun depan."
Kurasa itu seharusnya tidak ditanyakan. Novia menawarkan diri untuk ikut, dua lainnya aku memilih acak. Akibat tertekan oleh cara Kori memandang. Sisa pekemah diarahkan ke lapangan terbuka untuk makan lesehan di sana. Kami diberi waktu 15 menit untuk kembali dengan membawa satu benda milik asrama cowok.
Saat semuanya telah pergi. Ketiga teman baruku menatapku dengan beragam ekspresi.
"Kori memberiku ini," ucap teman baruku.
Aku menatap botol minum yang airnya tampak normal. Tanpa sadar, aku dan Novia mengendus bau itu bersama.
"Bukan sekedar air minum," seru Novia. Lalu mengulurkan tangan ke depan. "Kita belum berkenalan. Aku Novia."
"Nagi." Nagi menjawab. Lalu beralih ke arahku yang kusambut dengan menyebut namaku. Aku, Novia dan Nagi melirik ke arah rekan kami yang berkulit hitam manis.
"Aku Onna. Salam kenal semua. Jadi, itu ramuan apa? Bagaimana Aes dan Novia tahu itu ramuan?"
Aku melirik Novia yang tersenyum penuh makna. Lalu dia berkata, "Kita lupa mengenalkan jadi diri kita. Ibuku seorang duyung dari Fakfak. Salah satu kota di Papua yang terkenal dengan legenda Putri Duyung. Ibuku warga di sana. Jadi, salah satu kemampuanku adalah mendeteksi aroma air. Bagaimana dengan Aes? Aes juga Putri Duyung?"
"Bukan." Aku menggeleng. "Aku Demigod dari Tanimbar. Ibuku keturunan Dewa Ompuk Lanit. Dewa yang bertanggung jawab menurunkan hujan dan menyuburkan bumi."
"Wah, keren." Wajah Onna tampak terkesima. "Kalian pasti hebat dalam mengendalikan air. Ibuku adalah Nunusaku. Mungkin ini jarang diketahui. Dia adalah seorang Dewi yang bisa menciptakan pulau dan seluruh isinya. Ini mitologi yang dikenal dari Maluku. Aku dan Aes tampak seperti saudara. Mungkin orangtua Dewata kita saling mengenal?"
"Emm, entahlah." Aku menjawab sambil mengangkat bahu. "Tiap suku punya mitologinya sendiri. Para Debata tidak pernah melewati batas Debata lain."
"Oh, kurasa seperti itu." Onna tampak murung. Lalu kami semua menatap Nagia.
"Akan kujelaskan nanti. Tetapi, kita sudah kehilangan banyak waktu."
Nagia merebut botol air dari tanganku. Memutar penutupnya dan meneguk isinya. Kemudian memberikan itu pada Onna. Gadis itu hanya menurut dan kami semua saling bergantian meminum air tersebut.
Lalu, sesuatu terasa panas dari dalam tubuhku. Panas itu lama-lama menyengat dan teriakan Novia dan Onna membuatku tersentak.
Wajah Novia yang manis berubah menjadi pria berlesung pipi, sedangkan Onna pun tampak seperti anak laki-laki yang murah senyum.
"Ramuan perubah bentuk," kata Nagi dengan wajah cowok yang dingin. Penampilan kami ikut berubah. "Kita segera ke asrama sebelah."
Nagi memimpin jalan. Aku masih mematung sampai Novia menarik pergelangan tanganku. Kami keluar dari asrama cewek tanpa ada seorang pun di halaman. Nagia berdiri di tangga asrama anak laki-laki sambil melambai. Lalu masuk ke dalam.
Aku mengikuti Novia dari belakang. Ingin rasanya, aku melihat wajahku yang berubah. Saat tiba di ruang tamu. Kami tidak menemukan siapa-siapa. Kemungkinan, semua anak laki-laki telah pergi.
Nagia berdiri di depan lemari buku. Memeriksa sesuatu yang bisa dibawa pergi, sedangkan Onna tampak sibuk memeriksa laci-laci.
"Aku akan ke atas bersama Aes."
Novia mengusulkan diri sambil menarikku lagi. Ruangan di sini, tidak berbeda jauh dengan asrama kami. Posisi tangganya pun serupa. Hingga tiba-tiba. Aku mematung.
"Hai." Novia melambai pada si Tinggi. Dia menatap kami berdua dengan wajah datar. Lalu berlalu pergi. Kupikir, dia akan terkesima atau takjub. Tetapi nyatanya tidak. Aku terlalu percaya diri bahwa cowok itu naksir padaku. Tidak, tebakan ayah saja yang salah.
Saat Novia maju untuk memeriksa setiap kamar. Si Tinggi kembali berjalan mundur. Lalu menatapku dengan wajah yang super dekat. Aku menahan napas dan mendorongnya menjauh.
"Sahala!"
Panggilan itu datang dari belakang. Seorang remaja laki-laki berwajah manis dan hangat menatapku dan Si Tinggi yang bernama Sahala bergantian.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Sudah hampir makan malam. Nemma akan marah, jika kita tidak berkumpul. Issa mau mengadakan kompetisi bakar benteng setelah ini."
Aku tidak bisa mengalihkan perhatian dari Sahala. Dia terus menatapku. Tatapannya itu seolah mengetahui sesuatu yang membuatku waswas.
"Oh, ya. Maaf." Si wajah ramah menoleh menatapku. "Sahala tidak bisa berbicara. Kau juga pekemah baru? Aku Nias. Aku minta maaf, jika Sahala membuatmu takut. Aku dari Samsara 8. Ayo."
Nias merangkulku di bahu. Mengajakku turun. Tetapi, Sahala malah mogok jalan dan menarik Nias sambil menunjuk wajahku. Sesaat mata Nias terbelalak dan berpaling padaku.
"Kau?" Aku menepis kasar tangan Nias yang ingin menyentuh pipiku. "Demi Debata. Apa Kori memberi kalian ramuan pengubah bentuk?"
Kepalaku seperti dihantam tutup panci. Novia yang menyelinap, hilang entah ke mana. Aku akan melarikan diri. Tetapi tangan Nias malah mencegahku.
"Jika kami yang menyelinap. Kori akan menuduh kami mata keranjang dan cowok yang tidak benar. Tetapi, giliran anak buahnya yang ke sini. Dia akan bilang itu lelucon."
"Lepaskan!" Aku menyentak tangan Nias dengan air yang mendadak menghempaskan tubuh mereka berdua hingga terseret.
"Novia!" teriakku. Aku tidak bisa pergi tanpa temanku itu. Suara langkah kaki dari tangga di lantai dua bergema. Wajah dan penampilannya telah berubah kembali.
Novia tidak bertanya banyak. Dia melirik Nias dan Sahala sebentar. Lalu paham apa yang terjadi. Kami pikir, kami bisa lolos. Tetapi ternyata tidak. Sesuatu menjerat kakiku dan membuatku terbanting sebelum menginjak tangga. Rasanya sakit sekali.
Air yang kupanggil telah surut. Sebelum aku sempat memanggil kembali. Seekor ular hijau muncul dari tangga bawah. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan mendesis pada Nias.
Aku benci ular. Aku tidak suka tubuhnya yang licin dan melata. Apalagi ukurannya yang mampu menelan batang pohon kelapa sekali hap. Penglihatanku berubah gelap dan kudengar suara Issa yang berteriak lantang.
Tradisi penyambutan yang bodoh.
__//___///___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top