🌻🌻
♡♡--------------------------------
from the bitterness of disease man learns the sweetness of health
--------------------------------♡♡
🌻🌻
Dua kantong darah segar turut serta di tangan Hauzan, melangkah tergesa menuju ke ICU tanpa memperdulikan lagi sapaan istri sementara. Kebiasaan yang sama dilakukannua ketika dia harus memberikan pertolongan kepada pasien dengan tingkat prioritas segera.
Sementara Azhar yang telah dipanggilnya terlebih dulu untuk membantu Renata kini menyusul langkahnya bersama Renata menuju tempat Ainuha duduk.
"Satria kemana, Kak?" tanya Rena setelah beberapa kali matanya berputar mencari sang putra.
"Tadi pamit ke kakak, ingin ke musala." Nuha menghela napasnya sejenak, "anak kalian itu memang luar biasa. Kakak sampai nggak bisa berkata-kata."
"Mengenai Saba?" tanya Rena lagi.
"Kakak tidak ingin menjadikan Saba sebagai beban untuk kalian terutama Satria. Dia punya masa depan yang lebih baik. Tadi Satria bicara ingin menikahi Saba jika sudah diperbolehkan oleh perusahaannya menikah. Supaya Saba tidak lagi seperti sekarang. Demi Allah, ini bukan inginnya kakak dan abangmu, Rena." Nuha menangis lirih sementara Rena yang duduk di sampingnya seketika langsung memeluk kakak ipar. Memberikan kekuatan setidaknya dengan memeluk bisa mengurai apa yang kini menjadi beban di hati sang kakak.
Sebagai orang tua mereka tentu banyak pertimbangan untuk bisa memberikan restu. Nuha sangat paham akan hal itu dan Rena pun sangat mengerti bagaimana perhatian putranya untuk sang kakak sepupu.
"Kita serahkan semuanya kepada Allah, Kak. Satria menyayangi Saba, kita semua tahu itu." Rena sekilas menatap sang suami untuk meminta dukungan.
"Yang terpenting Saba sembuh dulu, Kak. Mengenai Satria kami berdua sangat yakin dia telah memikirkannya semuanya dengan baik." Kini suara Azhar terdengar mengiring kalimat Renata.
"Kakak jangan berpikir terlalu jauh, Satria berkata demikian karena kekalutan hati dan ketidaksanggupannya menyaksikan Saba harus berjuang di ICU. Sementara Satria mungkin berpikir bahwa dia menjadi salah satu penyebab mengapa Saba bisa down seperti ini."
Adzan subuh bersayup terdengar di telinga. Tanpa aba-aba ketiganya berdiri dan bergerak seketika. Tidak ada alasan lain untuk menunda, kewajiban tetaplah kewajiban yang harus disegerakan. Setelah mengirimkan pesan singkat kepada Hauzan, Nuha dan Renata melangkah mengikuti Azhar menuju musala.
Shaf pertama, Satria telah berdiri sempurna di belakang imam. Mengambil tanggung jawab tertinggi setelah imam dalam shalat berjamaah.¹ Berharap bahwa apa yang dilakukan bisa sedikit meringankan setidaknya memberikan kabar baik untuk seseorang yang sedari semalam telah menjadi penghias doa dalam bibirnya.
"Allah, jika memang karena-Mu aku harus menjaganya seumur hidupku. Jadikanlah hatiku bersahabat dengan kata ikhlas. Mudahkanlah segala urusanku bersama sabda alam yang menjadi jalan hidupku nantinya." Satria mengakhirkan doanya kemudian beringsut keluar musala menuju selasar ICU kembali.
Sepi, hanya beberapa perawat dan tenaga medis lainnya yang mulai beraktivitas untuk mulai melakukan pengecekan pasien pagi hari. Menjelma menjadi ironman, Satria hanya bisa duduk, berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan keciutan hati.
Di ujung mata, Azhar dan Rena memperhatikan dengan jelas seperti apa kegelisahan yang dirasakan Satria tanpa berniat untuk menginterupsinya sampai Hauzan keluar dan memanggil putra mereka. "Satria__"
"Bagaimana Saba, Bang?" Rena berdiri mendekati Hauzan.
"Kritisnya telah berlalu, tapi dia belum sadarkan diri. Beberapa kali bibirnya menyebut nama Satria. Abang mau minta tolong, mungkin dengan adanya Satria bisa memunculkan kembali kesadaran Saba."
"Satria, ikuti pakdhemu." Azhar memerintahkan.
Melihat orang yang dikasihi terbaring lemah dengan dua tangan terikat dengan selang infus dan satunya lagi selang untuk transfusi darah. Beberapa alat juga terpasang di tubuh Saba, entah disebut sebagai apa. Satria hanya ingin tahu Saba membuka mata dan sehat seperti sedia kala.
"Kak, ini aku. Satyamu." Kalimat sapaan pertama yang keluar dari bibir Satria. "Kemarin kakak pernah bilang ingin melihat angkasa lagi, lihat awan, ingin terbang naik pesawat baling-baling bambu. Satya janji akan ajak kak Saba naik heli suatu saat nanti, tapi kak Saba harus bangun dulu, harus kuat, harus sembuh. Kakak harus__"
"Sat__ya," kembali bibir Saba bergetar lirih. Bergumam menyebut nama Satria sekali lagi.
"Kakak, Kak Saba dengar suaraku?" Namun tidak ada lagi suara yang terdengar. Reaksi lain yang Satria lihat adalah air mata yang keluar dari sudut mata Saba yang masih terpejam.
"Aku janji nggak akan buat Kak Saba menangis lagi, tapi kakak harus bangun." Satria berbisik lirih. Berbicara dari dalam hatinya tepat di samping telinga Saba. "Jangan lama-lama tidur di sini. Pakdhe nanti nggak bisa kerja dengan baik. Kakak melukis saja di rumah dengan Satya dan budhe, atau Kak Saba ingin ke pantai lagi melanjutkan lukisan yang kemarin belum selesai?"
Setengah jam berlalu dan semua masih sama, Saba masih memejamkan mata. Hauzan menepuk pundak Satria untuk mengajaknya bicara di luar.
"Terima kasih ya Sat, apa pun nantinya yang terjadi pada Saba. Sepertinya pakdhe dan budhe harus berusaha untuk ikhlas."
"Pakdhe__"
"Allah telah memberikan banyak cerita untuk Saba kepada kami, pembelajaran dan juga rasa sabar. Tidak ada yang keliru dengan catatan Allah, hanya saja jika dikaitkan dengan ilmu kedokteran penderita down syndrome seperti yang menimpa Saba, bisa bertahan hidup sampai dengan di usia Saba yang sekarang merupakan anugerah yang tiada tara untuk keluarga kami."
"Pakdhe, jangan berkecil hati. Satria sudah berjanji untuk bisa memenuhi keinginan kak Saba."
"Lihatlah kepada kedua orang tuamu, mereka menaruh harapan besar atas namamu. Budhe sudah menceritakan semuanya pada pakdhe. Terima kasih kamu sudah bersedia membantu pakdhe, tapi tolong jangan berpikir seperti itu. Kami tetap akan berusaha unt__"
"Dokter Hauzan, pasien Aresya Sabiha telah sadarkan diri. Dia memanggil nama Satya berulang-ulang." Interupsi dari perawat yang menjaga ICU membuat percakapan Hauzan dan Satria berhenti. Bukan hanya Hauzan dan Satria, Nuha, Rena dan Azhar ikut berdiri untuk mendapatkan informasi konkritnya.
"Kalian di sini dulu, biarkan kami berdua masuk kembali menemui Saba."
"Mas, aku takut__" Nuha menggigit bibir bawahnya. Hauzan hanya bisa memeluk dan mengusap punggung istrinya sebentar kemudian mengajak Satria masuk ke ruang ICU.
Entah apa yang akan terjadi nanti, yang jelas bibir seornag ibu itu semakin cepat bergerak melantunkan kebesaran nama Allah untuk bisa mengangkat penyakit yang menimpa putri tercintanya kini.
🌻🌻
to be continued__
Jadikan Alqur'an sebagai bacaan utama
Makne Hawwaiz
Blitar, 02 Januari 2022
Kok dikit? Iya ini lanjutannya kemarin yang harusnya ada di satu bab ✌️✌️
¹. Makmum yang berdiri di shaf tepat belakang imam itu merupakan makmum dengan tanggung jawab tertinggi mengapa demikian karena ketika imam berhalangan ketika bergulirnya rakaat shalat (kentut, batuk tak henti² ketika harus jahr, sakit, tiba2 pingsan atau bahkan meninggal dunia) maka makmum di belakang imam ini harus bersiap menggantikannya. Melanjutkan bacaan surat yang terpotong ketika imam pertama berhalangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top