04 ♡ Melukis Senja

🌻🌻

♡♡--------------------------------
the beautiful sunset need a cloudy skies
--------------------------------♡♡

🌻🌻

Berbicara tentang senja memang tidak akan pernah ada habisnya. Meski demikian warna jingga yang selalu memukau mata itu hanya bisa dinikmati sementara saja. Setelah waktunya tiba jingga akan berubah menjadi pekat, kelabu hingga warna malam menjadi peyangga dunia.

Mendefinisikan cinta, setiap orang memiliki hak untuk melakukannya tanpa harus mencari kesamaan atas apa yang kini sedang terpikirkan kala hati berbicara, menjamah kata, merekrut asa dan beraksara dalam rindu. Tanpa bermaksud untuk menggugat semesta mengapa keindahan senja hanya sekejap mata, sepasang mata itu masih enggan untuk beranjak. Menunggu hingga batas siang dan malam lenyap dari ujung matanya.

Harusnya hati bisa mengerti bahwa sesungguhnya peduli itu tidak harus saling menyapa, mengamati pun tidak harus saling bertatap mata. Hening dalam kata namun riuh dalam pelukan doa. Bukankah waktu tidak memiliki batasan untuk mengungkapkannya? Sayangnya tanpa batas waktu itu hanyalah sebuah judul lagu dimana dalam kehidupan nyata rindu itu hanya akan terobati dengan satu kata temu.

Ainuha masih membersamai putri sulungnya bergelung dengan senja di sebuah bibir pantai. Berteman sebidang kanvas yang telah terbentang, menuntun rindu untuk menguraikannya dalam sebuah gambar. Masih dengan rasa yang sama, rindu yang sama dan cinta yang sama karena semua judul masih tentang seorang Satria Dewandaru.

"Kak, petang menjelang. Poppa sudah menunggu pasti, kita pulang ke rumah yuk. Momma bantu bereskan peralatanmu." Tanpa menunggu kalimat berikutnya Saba menghentikan tarian tangannya, menunggu sejenak lukisan di hadapannya setengah kering untuk bisa dipindahkan ke bagasi mobil yang mengantarkan mereka ke tempat indah ini.

Perjalanan dari pantai menuju rumah akan memakan waktu lebih dari satu jam. Itu sebabnya Nuha memilih untuk memarkirkan sejenak mobil mereka di sebuah halaman luas. Tidak ingin terlewat mengabsenkan diri di hadapan sang Khalik.

"Ma, kita berhenti di sini?" Saba bertanya untuk memperjelas.

"Sholat maghrib dulu, setelah itu baru kita lanjutkan kembali. Kakak tunggu di luar ya, jangan kemana-mana."

"Kenapa?"

"Kan kakak tidak boleh sholat. Jadi tunggu di luar masjid sampai momma selesai sholat." Saba tertawa lirih, terlupa bahwa kodrat wanita memberikan dispensasi untuk mengambil masa liburan tidak melaksanakan kewajiban umat muslim nomor dua itu.

Apalah bedanya libur atau tidak, sementara pikiran tidak bisa lepas dari belenggu rasa rindu dan benci yang hadir secara bersama-sama. Apakah multitasking wanita termasuk dalam kategori itu, dimana merindukan namun juga membenci di waktu yang sama?

Dalam pemikiran Saba masih seperti benang kusut yang sulit akan terurai meski sudah berulang kali Hauzan jelaskan bahwa antara Saba dan Satria bersaudara. Nyatanya segenap rasa yang sudah terpupuk di dalam hati Saba untuk Satria tidak bisa begitu saja terhempas.

Jika ada pertanyaan bukankah memungkinkan untuk mereka menikah, mungkin. Hauzan pun paham akan hal itu namun menjelaskan kepada Saba tentu tidak akan sama seperti menjelaskan kepada kedua adiknya atau kepada Satria. Afdhal dan Numa juga diminta berperan aktif mengalihkan rasa rindu dan benci Saba kepada Satria.

Sementara di tempat yang berbeda, Satria sedang duduk berhadapan dengan abi dan uminya. Ada sesak di dalam dada Renata saat mengetahui keponakan tersayangnya menaruh harap atas perasaan cinta kepada putranya.

"Maafkan Satria Umi, Abi. Satria pikir karena kak Saba istimewa, itu sebabnya Satria lebih perhatian kepadanya dibandingkan dengan Afdhal atau Numa. Hanya saja Satria lupa bahwa kakak juga sama seperti kita, memiliki hati dan rasa. Tapi mengapa harus kepadaku? Apa yang harus aku lakukan Bi?"

Tidak ada penyesalan dalam hati Satria dengan caranya menyayangi Saba. Semua orang bahkan hampir seluruh keluarganya menyayangi Saba sebagaimana yang selalu dia lakukan. Memperhatikannya lebih karena keistimewaan yang dimilikinya.

"Abi tidak menyalahkanmu, tidak juga menyalahkan kak Saba. Kita memang menyayangi dia dari dulu sampai sekarang. Hanya saja mengapa sampai kakakmu menaruh harap dan kita semua tidak tahu. Apa dari dulu kamu tidak memperhatikan itu, Bang?" Azhar bertanya.

"Ya aku pikir karena kami bersaudara Abi, kak Saba tidak memiliki seorang kakak dan aku yang sebaya membuatnya nyaman untuk menceritakan apa pun. Atau memang aku yang terlalu lambat loading untuk mengartikan semua itu."

"Kamu sebenarnya tahu tentang mencintai nggak sih Bang?" Renata menimpalinya.

"Umi__"

"Bi,"

"Tahulah Umi, aku normal hanya memang belum ingin saja dekat dengan perempuan. Sejauh ini perempuan yang dekat denganku ya hanya adik, kak Saba dan kak Numa."

"Sudah, tidak perlu mencari masalah baru. Sekarang kamu telepon pakdhemu sana. Bicarakan dengan beliau, minta waktu untuk bertemu dengan pakdhe atau budhemu. Jika memungkinkan jangan bersama dengan kak Saba. Abi paham dengan situasi ini namun demikian pakdhemu tentu memiliki keputusan yang terbaik untuk kakakmu."

Satria hanya bisa menghela napas dan menganggukkan kepalanya. Bukan takut menghadapi kakak dari uminya. Satria lebih takut semakin menyakiti hati Saba.

'Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku, kak Saba, berada di dekatnya memang tidak perlu menjadi orang lain. Dia selalu menyukai apa pun yang aku lalukan. Tertawa lirih meski sebenarnya aku tidak berniat untuk melucu. Melihatnya tertawa saja hatiku sudah bisa sedamai ini. Apa yang harus aku lakukan Kak untuk bisa melihat tawa itu kembali?'

Menjelang tidur, wajah Saba masih juga terbayang jelas di pelupuk matanya. Atau memang sebaiknya Satria memenuhi permintaan Saba, menjadikan Saba sebagai istrinya. Ah, membayangkan saja Satria masih sulit mengingat tugas dan pekerjaannya yang tidak memungkinkan untuk bisa stay di rumah setiap hari padahal Saba dengan keadaannya membutuhkan pendamping yang bisa berada di sisinya setiap saat.

"Maaf Pakdhe, Satria baru bisa sowan karena setelah tiga minggu ngejar jam terbang, kemarin harus mengikuti diklat singkat copilot. Kak Saba__?"

"Dia masih memikirkanmu. Pakdhe juga masih dalam mode mengalihkan perhatiannya dengan beberapa kegiatan yang lumayan menyita waktunya Sat. Tapi kakakmu ya tetap seperti itu, bibirnya saja yang berkata membencimu namun setiap saat yang diingat hanya kamu. Terkadang pakdhe kasihan juga kepada budhe dan juga mas Afdhal yang harus ke sana kemari mengantarkan kak Saba."

"Sekali lagi maafkan Satria, Pakdhe Zan. Lalu apa yang bisa Satria bantu untuk kak Saba?" Hauzan nampak diam sejenak kemudian berbicara pelan.

"Biarkanlah dulu seperti ini Sat, untuk sementara kalian sebaiknya jangan bertemu dulu. Saba butuh proses yang lebih banyak dibandingkan dengan kalian. Pakdhe hanya khawatir semakin dia sering melihatmu semakin sulit juga pakdhe dan budhe untuk menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan kalian."

"Baiklah Pakdhe Zan, kalau butuh apa-apa tolong kabari Satria ya. Satria siap apa pun itu. Termasuk jika harus menuruti permintaan kak Saba."

"Maksud kamu?"

"Menikahinya Pakdhe, apalagi. Hanya saja Satria berpikir dengan kondisi pekerjaan Satria yang harus mobile dari satu tempat ke tempat lain tidak mungkin bisa menjaga kak Saba setiap hari. Masa harus merepotkan pakdhe Zan dan budhe Nuha terus."

"Kamu ini bicara apa. Kalian saudara sampai kapan pun juga akan tetap menjadi saudara meski agama membolehkannya. Pakdhe berkata demikian karena pakdhe tahu banyak gadis di luar sana yang menginginkan kamu mendatangi orang tua mereka. Kak Saba biarlah menjadi tanggung jawab kami sebagai orang tuanya."

"Tapi Satria menyayangi kakak, Pakdhe. Nggak tega lihat kak Saba sedih seperti ini terus apalagi sampai berlarut-larut."

"Dengarkan pakdhe anak muda, menikah itu ibadah terlama dalam hidup. Jangan karena rasa kasihan lalu kamu memutuskan hal besar dalam hidupmu tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya. Pakdhe tahu kamu menyayangi kakakmu tapi tentu sayang itu bukanlah sayang seorang laki-laki kepada wanita yang diinginkan untuk menjadi istrinya."

"Pakdhe__"

"Sudah, kamu fokus dulu dengan pekerjaanmu. Sekali lagi, kak Saba itu tanggung jawab pakdhe Zan dan budhemu. Kamu jangan salah paham, kami semua menyayangi kalian dengan porsi yang sama."

Mengingat kembali bagaimana dulu Hauzan melamar Ainuha. Rasanya kata mendadak dan tiba-tiba menjadi tagline utama. Bahkan Hauzan belum sepenuhnya mengenal Ainuha, hanya karena dia tidak menyukai yang namanya poligami akhirnya dengan spontan mengakui bahwa menjadi calon suami wanita yang bahkan telah dia lecehkan secara tersirat.

Namun begitulah cara Tuhan menyatukan hambanya, atau panggilan Tuhan melalui hidayahNya untuk Hauzan merubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik adalah dengan menikahi Ainuha.

Akhir dari percakapan yang tidak memberikan solusi menurut Satria. Dia yang memulai bukankah seharusnya dia juga yang harus mengakhiri untuk menyembuhkannya. Susah payah dia mengurai kata rindu yang telah lama terbentuk di hati Saba. Rasanya memang semua salah bertumpu kepadanya, andai saja Satria tidak terlalu memperlakukan Saba sebagai orang yang istimewa atau memang sejatinya Saba telah menjadi wanita istimewa di hati Satria. Satria masih menggeleng lemah untuk menemukan jawabannya.

'Sebenarnya rindu itu terbuat dari apa? Aku sendiri tidak tahu apakah aku mencintai kak Saba sebagai seorang pria kepada wanita atau bukan. Saat jauh juga ingin tahu bagaimana keadaannya, setiap kali pulang ingin langsung bertemu dengannya. Lalu mengapa seolah mangkir tidak ingin mengakuinya?'

Satria masih bergulingan di tempat tidurnya. Rasanya malam enggan beranjak demikian juga mata yang tidak bersahabat untuk segera mengatup sempurna. Mengenyahkan pikiran abu-abu yang belum juga mendapatkan jawaban untuk bertindak dengan segera.

Sayup-sayup masih terdengar suara penyanyi yang pernah hits pada eranya. Satria sengaja memutar log lagu yang dia pilih di salah satu platform yang ada di gawainya.

Izinkan kulukis senja,
Memgukir namamu di sana,
mendengar kamu bercerita
Menangis, tertawa

Biar kulukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia

Belum sampai lagu itu habis, suara ketukan pintu kamar tidurnya semakin keras. Terdengar suara parau abinya dengan nada khawatir. Malam memang telah berada di puncaknya, tak ayal jika kedua orang tua Satria juga telah terlelap. Namun mendengar suara khawatir seperti ini membuatnya segera beranjak untuk membuka pintu.

"Abi, ada apa?"

"Kamu belum tidur?" Satria menggeleng jujur.

"Antarkan abi dan umi ke rumah sakit sekarang."

"Siapa yang sakit malam-malam seperti ini, Bi?"

"Pakdhe Zan menelpon abi, kakakmu kehabisan banyak darah. Dia butuh transfusi darah segera dan umi yang bisa memberikannya."

"Apa Bi, kak Saba? Kehabisan banyak darah dan butuh transfusi? Ada apa?"

"Jangan banyak tanya kita segera ke rumah sakit, bertemu dengan pakdhe Zan karena kakakmu masuk ICU."

Pikiran Satria semakin berkelana, ini bukan tentang senja yang berganti warna pekat menjadi malam. Ini tentang kehidupan, kehidupan yang memberikan segala kemungkinan dengan sejumlah ceritanya. Ada yang kini sedang menimpa kakaknya?

Kehabisan banyak darah, masuk ICU, atau jangan-jangan?

🌻🌻

to be continued__

Jadikan Alqur'an sebagai bacaan utama

Makne Hawwaiz
Blitar, 17 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top