팔
.
.
.
〔 ❁ -; ᴀ ᴅ ᴅ ɪ ᴄ ᴛ ᴇ ᴅ〕
.
.
.
Setidaknya, Seongwoo menjadi lebih penurut setelah malam dimana Daniel menghukumnya. Pria berkonstelasi bintang itu tak lagi membantah dirinya secara terang-terangan. Daniel sering mendengar Seongwoo menjawab ucapannya dengan sarkas meski hanya berbisik.
Seongwoo lebih banyak diam. Ia hanya menjawab pertanyaan Daniel seperlunya. Ia lebih banyak menunduk, mengabaikan kontak mata yang sering Daniel berikan padanya.
Seperti pagi ini, dimana Daniel bertanya sarapan apa yang mau Seongwoo makan.
"Sereal."
Begitu singkat, padat, jelas.
Daniel setengah membanting mangkuk keramik yang ia bawa tepat di depan Seongwoo, sengaja membuat sang surai hitam terlonjak.
"Watch your attitude, dear," balas Daniel dengan suara rendahnya.
Seongwoo mengangguk terpatah.
Beruntung, Jinyoung berlari kemudian, mendekat pada Daniel dan Seongwoo di meja makan. Telapaknya membawa beberapa map yang lumayan tebal.
"Tuan-"
Daniel menghabiskan roti selainya. Telunjuknya berdiri di udara, memotong ucapan Jinyoung yang baru menyapanya.
Sang tangan kanan diam. Ia menanti dengan tenang pada tuannya yang masih mengunyah dan menghabiskan americano pagi harinya.
Barulah, setelah rongga mulut pria Kang itu kosong, ia berdiri. Jinyoung menyerahkan map map yang ia genggam tanpa banyak bicara. Seongwoo sendiri hanya memperhatikan dalam diam apa yang keduanya lakukan melalui ekor matanya.
"Kau- mau pergi?" tanya Seongwoo, memecah keadaan dengan begitu mendadak.
Daniel mengangkat alisnya tak suka. "Siapa, baby?"
Sialan.
Daniel sialan.
"K-kau.. Daddy-"
Kali ini, kernyitan yang mengganggu kening lebar Daniel digantikan dengan seringai tipis pada bibir tebalnya.
Ia berjalan menghampiri Seongwoo dengan tenang. Sementara itu, pria yang ia sambangi mulai meremat celana piyama yang ia kenakan; Daniel membelikan untuk dirinya.
Telapak Daniel menyapa puncak kepala Seongwoo. Ia mengelus dan mengacak surai disana gemas.
"Aku dan Jinyoung akan pergi. Mungkin, sampai pukul lima sore nanti. Pelayan masih dalam masa cuti mereka. Aku harap, kau tidak terlalu takut untuk melayani dirimu sendiri," Daniel mengecup pelipis Seongwoo singkat. "Dan aku tidak berharap ada aktifitas yang kekanakan darimu, seperti- mencoba kabur, misalnya."
Seongwoo tak menjawabnya. Ia memilih diam dan tetap menunduk. Daniel sendiri tampak tak peduli apakah Seongwoo akan menjawab ucapannya atau tidak.
"Promise me?"
Tanda tanya di akhir kalimat Daniel tidak membantu. Yang Seongwoo dengar adalah sebuah kalimat dengan tanda titik tegas di akhir; bentuk perintah mutlak lainnya.
Seongwoo mengangguk sekali, nampak penuh keraguan. Pancaran sorot matanya berkata hal serupa.
Daniel menepuk puncak kepala Seongwoo lembut, kemudian pergi, meninggalkan Seongwoo yang duduk sendirian di meja makan.
Seongwoo melanjutkan sarapannya dalam keheningan, dan sendirian. Ini kesempatan emas untuknya- atau bahkan berlian?
Bayangan berkilat cepat dalam otaknya. Itu dirinya, terkunci oleh handcuffs dengan rantai dan collar yang mengikat, juga vibrator dan cock ring di penisnya.
Seongwoo bergidik. Mungkin, ini memang bukan saatnya untuk kabur dari cengkraman Daniel. Mungkin, suatu saat nanti, ketika Daniel lengah, ia akan kabur dan terbebas dari semua kesialan ini.
❝ Mine. ❞
"Ah! Sialan!"
Seongwoo menendang udara kosong di depannya kalut. Ucapan Daniel yang satu itu seakan menghantui dirinya, setiap saat, kapanpun itu.
Kalimat pernyataan secara sepihak yang seakan memiliki sebuah kekang untuk menahan Seongwoo.
"Dia pikir dia siapa? Bajingan kaya yang bisa memiliki segalanya? Cih, jangan harap."
Seongwoo mengacuhkan serealnya. Semakin muak untuk menghabiskan sarapannya itu, sementara bayangan Daniel yang menawarinya sarapan mendadak muncul.
Serius, Seongwoo ingin membanting kursi yang ia duduki saat ini.
Memang, Daniel pikir, ia bisa mengacaukan dan melumpuhkan pikiran Seongwoo? Ia pikir, ia bisa menanamkan eksistensinya pada diri Seongwoo?
Hell, no. Seongwoo lebih baik musnah daripada harus berlutut dan menjilat kaki Daniel dengan penuh damba.
"Tunggu- kenapa aku menyebutnya kaya?" Seongwoo menggumam samar. "Aku sendiri tidak tau apa pekerjaannya- oh?"
Sebuah bohlam lampu tak kasat mata mencuat dari tempurung kepala Seongwoo. Mendadak, ia menemukan ide untuk pertanyaannya barusan.
Seongwoo melirik sekitar, memastikan bahwa keadaan benar-benar sepi.
"Daniel tidak bilang, aku- tidak boleh menjelajah rumah ini, bukan?"
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
Seongwoo tak menemukan apapun yang menarik atau terkesan spesial di lantai satu. Semua yang berdiri tegap hanya berupa bukti nyata dari kekayaan yang dimiliki Daniel. Bahkan, satu butir debu terkesan begitu lancang jika harus menyentuh permukaan barang-barang itu.
Maka, Seongwoo memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju lantai dua. Hanya ada beberapa ruang disana, selain kamarnya dan kamar Daniel.
Tempat pertama yang Seongwoo sambangi adalah kamar Daniel. Meski tak ada sang tuan rumah, ia tetap membuka pintu kamar Daniel perlahan dan mengintip terlebih dahulu dari balik pintu. Ia kemudian masuk dengan langkah berjengit.
Mata Seongwoo menangkap meja kerja Daniel. Ia berjalan ke sana terlebih dahulu. Satu persatu laci ia buka, mencari barang-barang, agar ia mempunyai gambaran.
Satu revolver yang Daniel gunakan untuk mengancamnya telah ia temukan; letaknya di laci kiri atas. Selongsong peluru ia temukan di laci bawahnya, cukup banyak untuk menghancurkan tulang dan tubuh Seongwoo. Ia menyentuh permukaan dingin senjata itu, menyusuri ukiran rumit di pegangannya, dan menggesernya untuk mengira berapa beratnya.
"Gila," ucapnya bergetar karena sibuk bergidik.
Seongwoo menutup laci meja kerja Daniel setelah merasa puas menjelajahinya. Ia tak lagi melanjutkan investigasinya. Berada di dalam kamar alpha itu membuatnya sesak. Aura Daniel yang tertinggal disana seakan mengawasinya dengan begitu tajam.
Ia kemudian menuju kamarnya sendiri, tempat dimana setidaknya ia dapat merasakan rasa aman meski hanya seberkas. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur, menyalakan TV, kemudian berguling bak anak kucing.
Andai ia memiliki ponsel, ia pasti tidak akan merasa sebosan ini. Pilihan untuk menjelajahi ruang lain ia tepis. Aura Daniel yang tertinggal di tiap sisi benar-benar membuatnya menyerah.
"Bagaimana- aku bisa keluar dari sini," Seongwoo menghela nafasnya panjang. "Dia mengatakan bahwa aku bukan mainannya, tapi dia memperlakukanku seperti pelacur."
Seongwoo menghela nafasnya kembali. Ia kembali mengingat rasa terlecehkan yang begitu besar ketika Daniel berhasil membuatnya menjadi lemah dan tak berdaya.
"Memang, apa yang kuharapkan?"
Seongwoo memejamkan matanya.
"Aku hanya perlu kebebasan."
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
Seongwoo tertidur. Ia bangun ketika jarum pendek menunjuk angka lima dan jarum panjang di angka empat.
Bantingan pintu membuatnya terlonjak dari mimpi tentang kebebasannya. Daniel berdiri disana dengan wajah setengah padam. Seongwoo meremat selimut yang membungkus kedua kakinya.
"Kau masuk ke dalam kamarku?"
Itu bukan tanda tanya. Itu sebuah kalimat dengan nada penuh intimidasi. Geraman rendah terdengar begitu Daniel menyelesaikan ucapannya.
Seongwoo berusaha menggeleng. "A-aku tidak-"
"Jangan coba membantah," Daniel memutus ucapan Seongwoo. Nada bicaranya naik satu tingkat; suaranya menggema dan menghantam otak Seongwoo. "Aku tau kau melakukannya."
Seongwoo menurunkan fokusnya dari wajah Daniel. Ia tak sanggup menatap wajah itu lebih lama lagi.
Daniel sadar, itu adalah jawaban Seongwoo. Pria surai hitam itu menunduk, menyesali perbuatannya.
Geraman Daniel terdengar lebih mengerikan dari sebelumnya.
"Kau masuk, tidak, kau menerobos karena tak mengantongi izinku. Kau menyentuh senjataku tanpa seizinku. Kau menganggap remeh izin yang seharusnya kau pegang jika ingin melakukan sesuatu."
"H-haruskah?" Seongwoo mencicit pelan. "Tapi kau tidak melarangku tadi."
"Biar aku tanya pada dirimu," Daniel melipat tangannya di depan dada. "Haruskah aku bertanya, apa aku boleh memperkosamu sekarang atau tidak?"
Tubuh Seongwoo membatu. Jawaban Daniel membuat seluruh tatanan detak jantung yang sudah ia atur berhamburan begitu saja. Akibatnya, nafasnya secara pasti memburu.
"Jawab aku," manik Daniel berkilat saat mengucapkan perintahnya.
"T-tidak."
"Bagus. Maka kau harusnya tau bahwa sekali masuk ke dalam kamarku bukan berarti kau memiliki izin dan kebebasan untuk masuk lagi ke dalamnya sesuka hatimu."
Seongwoo menunduk semakin dalam. Ia mungkin akan mengerut atau bahkan mencair karena asam yang Daniel siramkan pada dirinya.
"Apa kau juga menerobos ruang lain selain kamarku?"
"Tidak!" Seongwoo mendongak secara refleks. "A-aku tidak masuk ke dalam ruangan lain."
"Bagus," Daniel tertawa sarkas. "Jadi kau tidak perlu menambah piercing lain di tubuhmu."
Huh?
Apa.. maksudnya?
Piercing?
"P- piercing? Aku tidak memakai- b-bahkan aku tidak punya."
Daniel tersenyum, tapi sorot matanya tidak. Tidak perlu menjadi pintar untuk menyadari bahwa senyum dingin itu akan mengoyak Seongwoo menjadi bagian-bagian kecil.
"Oh ya, kau akan punya, sebentar lagi."
Apapun itu, Seongwoo yakin, itu bukanlah hal yang baik untuknya, dan juga tubuhnya.
Daniel menjawab rasa takutnya dengan seringai tipis di antara kernyitan amarah keningnya.
"Kemarilah," ucap Daniel seraya melambaikan tangannya, meminta Seongwoo untuk mendekat.
Seongwoo terhenyak. Diikuti rasa takut, ia berdiri ragu. Seongwoo tidak perlu pengulangan kalimat. Telinganya sangat tajam untuk mendengar nada perintah Daniel.
Daniel sendiri, yang mendapati Seongwoo menurut padanya, semakin melebarkan rekahan senyuman di bibir tebalnya.
Seongwoo mulai menurut padanya.
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.
a/n: Ngebosenin ya? Chapnya gantung ya? Iya saia juga ngerasa gitu. Maunya saia unpub aja ini chap, tapi ah;((
Mengingatkan aja, rating M bukan berarti isinya naena aja, tapi juga hal lain. So yea, maaf kalau chap depan cukup sadis bagi yeorobun.
KARENA SAIA NGGAK PEDE SAMA CHAP INI, SAYA USAHAIN APDET AS SOON AS POSSIBLE BUAT CHAP SELANJUTNYA;(((((( besok misalnya, hehe🌚🌚
[Stat: masih kobam sama teaser JBJ, teaser Wanna One, juga M/V Vocal Unit Seventeen;(]
XOXO,
Jinny Seo [JY]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top