.
.
.

〔 ❁ -; ᴀ ᴅ ᴅ ɪ ᴄ ᴛ ᴇ ᴅ〕

.
.
.

"Izinkan aku pergi keluar."

Daniel mengangkat alisnya. Suara Seongwoo yang menginterupsinya berhasil membuat ia mengalihkan atensinya dari televisi di ruang tengah. Ia menoleh ke samping, memperhatikan Seongwoo yang tampak rapi pagi hari ini.

"Tidak."

Seongwoo meremat celana putih yang ia kenakan. Suara Daniel yang begitu tajam menolak permintaannya membuatnya ragu untuk membantah. Tapi, ayolah, siapa yang tidak bosan dikurung di rumah seluas ini, tanpa tau apa yang harus kau lakukan selain makan, minum, tidur, dan berkeliling?

Daniel tidak berbuat hal lain selain menghukumnya untuk pertama kali dan memasangkan piercing di pusarnya. Hanya terkadang, Daniel menyambangi kamarnya, lalu memeluknya hingga keduanya tertidur dan Seongwoo terbangun di pagi hari dengan sisi lain kasur yang sudah kosong. Lalu, sekarang, ia tidak boleh berpergian? Daniel saja selalu pergi pagi sekali dan pulang larut entah untuk apa.

Seongwoo menggerutu pelan. "Kumohon?"

"Tidak, Seongwoo," Daniel berdiri secara tiba-tiba. Seongwoo yang tersentak mengambil satu langkah mundur sebagai refleks.

"Please? Kau bisa memasangkan pelacak atau apapun itu padaku, tapi biarkan aku pergi. Kali ini saja? Please~"

"Tid-"

"Daddy, please."

Seongwoo dan Daniel terdiam. Pria yang lebih tua dapat melihat bagaimana semu merah merambati dari wajah Seongwoo hingga kedua telinganya. Di tengah keheningan canggung itu, Seongwoo menundukkan kepalanya perlahan.

Daniel kemudian melangkahkan kakinya mendekati Seongwoo. Ia berhenti ketika ia telah berjarak satu langkah dari Seongwoo.

"Kemana?"

"H-hanya ke kafe, sungguh," Seongwoo mendongak, menemukan manik Daniel yang menatapnya dalam. Daniel menyipitkan matanya. Karenanya, Seongwoo berdeham kikuk. "Aku benar-benar ingin ke kafe. Jinyoung bisa mengantarkanku, atau, aku bisa naik kendaraan umum. Aku tidak amu merepotkanmu."

"Kenapa?" Daniel mengambil posisi nyaman dengan bertumpu pada satu kaki dan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. "Kau memaksa pergi."

"Aku bosan," balas Seongwoo. "Kumohon? Please? Kali ini saja?"

Seongwoo tak bisa berbuat sesuatu yang imut. Jadi, ia hanya diam dan menunggu seraya mengerjapkan matanya.

Sialnya, di mata Daniel, apapun yang berhubungan dengan Seongwoo tetaplah manis. Lihat saja pria berbalut kemeja pink kebesaran itu, juga choker yang melilit leher jenjangnya. Daniel tidak ingat kapan atau apakah ia memberikan pakaian dan choker seperti itu pada Seongwoo, tapi, terberkatilah barang-barang itu hingga bisa sampai di tangan Seongwoo.

Daniel mengalihkan tatapannya. Hembusan nafas panjang yang lirih meluncur dari celah bibirnya.

"Aku yang mengantarkanmu."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

"Kau.. tidak bekerja?"

Suasana dalam Alfa Romeo milik Daniel sunyi. Usaha Seongwoo untuk memecah keheningan dengan bersuara tak membuahkan hasil. Daniel tetap diam di balik kemudi dan fokus pada jalanan.

Seongwoo terbatuk malu. Percuma jika ia mencoba berbicara lagi, Daniel nampaknya memang tak ingin menanggapinya berbicara. Jadi, Seongwoo hanya terdiam, memperhatikan jalanan yang sudah lama tidak ia lihat. Rasanya, jalanan Seoul begitu asing dan terasa lain. Padahal, terhitung belum terlalu lama ia melalui jalanan ini.

"Ah, itu kafenya, berhenti disini saja," ucap Seongwoo seraya menunjuk salah satu bangunan yang tarhimpit gedung tinggi bergaya vintage. Daniel segera menepikan mobilnya. Tak terlalu jauh jarak antara trotoar di sisi kiri dan kanan jalan, kira-kira hanya cukup untuk dua mobil. Di kedua sisi trotoar, pejalan kaki berlalu lalang dengan tatapan penasaran dari mobil mengkilap Daniel yang terhitung jarang ada di Korea.

"Ah, bagaimana-"

"Aku akan menjemputmu, pukul empat."

"Ah, dan sekarang," Seongwoo melirik jam tangan yang melingkari pergelangan Daniel. "Pukul... Dua. Tidak bisakah aku dapat waktu lebih-"

"Tidak," jawab Daniel tanpa menoleh atau melirik pada Seongwoo. Maniknya terus menatap jalanan di depan seolah ada sesuatu yang menarik disana. "Turunlah, kau menghabiskan waktumu."

Dengan tergopoh, Seongwoo beranjak turun. Ia menghentikan gerakannya ketika ia hanya perlu menutup pintu mobil. Ia membungkuk, mempertemukan pandangannya dengan Daniel.

"T-terima kasih daddy."

BLAM

Tak sempat pria bermarga Ong itu memastikan mobil Daniel beranjak. Ia sudah pergi terlebih dahulu, berlari membelah jalanan yang kebetulan sepi, dan masuk ke dalam kafe dengan wajah bersemu hingga daun telinganya.

Hal pertama yang ia rasakan ketika masuk ke dalam bangunan mungil yang hangat dan nyaman itu adalah aroma karamel berpadu vanilla dan juga kopi serta cokelat yang mengudara. Seongwoo menghirup aroma nikmat itu dalam.

Berapa lama ia tidak kemari? Sejak ia harus terpontang-panting kesana kemari mencari pekerjaan demi melunasi hutang appanya?

"Seongwoo? Ong Seongwoo? Itu kau?"

Seongwoo menoleh. Di sisi kanannya, berdiri seorang pria dengan kemeja putih yang terbuka, menampilkan dua collar bone menonjolnya serta sebagian tato di bawah collar bone bagian kiri.

"Yongguk?"

Pria bernama Yongguk melesak maju, mendekati Seongwoo dengan tatapan terkejut.

"Astaga! Astaga, aku kira kau sudah meninggal- maksudku, aku mendengar kabar appamu terlilit hutang, dan aku datang ke rumahmu beberapa saat lalu, tapi- tapi kau hilang, tidak disana- astaga, Ong Seongwoo!"

Yongguk mengguncang dua pundak Seongwoo heboh, memastikan bahwa yang tengah berdiri di depannya adalah Seongwoo asli. Yongguk terus menggumamkan keterkejutannya hingga beberapa pengunjung kafe menoleh memperhatikan mereka.

"Astaga, Longguo, hentikan. Pengunjung kafemu melihat kemari."

Yongguk menarik Seongwoo menuju salah satu meja yang kosong. Dipaksanya kawan lamanya itu untuk duduk di kursi, kemudian, ia duduk di seberang Seongwoo.

"Ceritakan padaku, apa yang terjadi?"

Seongwoo tertawa. "Tak banyak. Hanya saja, sekarang aku tak tinggal lagi di rumah lamaku."

"Kau pindah? Hutang appamu lunas?" Yongguk berdecak terkejut. Ia memperhatikan tampilan Seongwoo dari ujung hingga ujung. "Dan baju itu?"

Itu baju pemberian Daniel.

Seongwoo tertawa, sekali lagi. "Bagaimana kabar Sihyun hyung? Terakhir aku dengar, Sihyun hyung akan melahirkan?"

"Mengalihkan pembicaraan," cibir Yongguk. "Yah, satu anak laki-laki. Kim Sihyuk."

"Ah, pasti dia jauh lebih tampan darimu."

"Jangan bercanda," Yongguk berdiri dari kursinya. "Kau mau pesan sesuatu? Tak usah membayarnya, aku akan mentraktirmu."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Seongwoo tertawa. Bagaimana Yongguk menceritakan saat ia harus terjaga setiap malam karena Sihyuk menangis terdengar lucu. Ia tak membayangkan ketika Yongguk tengah berpelukan dengan Sihyun dan Tolbi, dan mendadak terdengar suara kencang dari kamar sebelahnya.

"Kafe akan tutup, kau tidak pulang?" tanya Yongguk pada Seongwoo.

Seongwoo menoleh, memperhatikan hujan deras yang tadi turun perlahan berubah menjadi rintik gerimis. Ia kembali menatap jam dinding yang tergantung di tembok kafe.

Pukul delapan.

Tidak ada tanda-tanda dari mobil Daniel di depan kafe.

"Kau tutup cepat?"

"Tidak juga," jawab Yongguk sembari menggiring Seongwoo keluar. "Hari Kamis, aku selalu tutup pukul delapan. Catat itu," tambah pria Kim itu. Telapak kirinya mengacak surai hitam Seongwoo hingga berhamburan ke tiap sisi.

"Terima kasih sudah membiarkanmu jadi pelanggan terakhir hari ini."

"Tentu saja," Yongguk tertawa. "Kau boleh datang kapanpun kau mau."

Seongwoo merangkul pundak pria yang memiliki tinggi sama dengan dirinya itu. Bibirnya melengkung, tersenyum dengan lembut. "Aku pasti datang lagi."

"Kunjungan selanjutnya, kau bayar sendiri, paham?"

Seongwoo hendak membalas ucapan Yongguk dengan nada marah, hingga sudut matanya menangkap objek metalik di tempat dimana Daniel mengantarkannya tadi siang.

Jantung Seongwoo terhempas jatuh.

Itu mobil Daniel. Seongwoo hapal dengan bentuk Alfa Romeo hitam itu.

Kaca jendela mobil itu turun perlahan. Secara pasti, sosok Daniel tampak dari balik kemudi. Masih dengan pakaian yang sama dengan pakaian yang ia kenakan saat mengantar Seongwoo tadi siang. Pria Kang itu melirik Seongwoo dengan begitu tajam. Satu gerakan dari kedua maniknya, Daniel memberi isyarat pada Seongwoo untuk masuk ke dalam mobil.

Jantung Seongwoo dan detaknya berderai ke segala arah, tapi Daniel tak memberinya jeda untuk bernafas dari tatapannya.

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Daniel memacu kendaraannya bukan main cepatnya. Seongwoo yang duduk di kursi penumpang meringkuk samar, perpaduan antara takut dengan kecepatan Daniel dan juga amarah Daniel. Cukup sekali ia melirik pada telapak Daniel yang mencengkram kemudi dengan begitu keras, menyebabkan beberapa uratnya mencuat dari balik epidermis putihnya.

Bahkan ketika Daniel menariknya turun dari mobil, dengan bagian sikunya yang dicengkram sama kuatnya ketika Daniel mencengkram kemudi, Seongwoo tak menolak. Barulah ketika keduanya sampai di ruang tengah, Daniel mendorong Seongwoo, menyebabkan pria itu nyaris tersungkur jika ia tak sigap memijak lantai.

"A-aku bisa jelaskan-"

"Aku menunggumu," Daniel bersuara serak. "Aku menunggumu. Pukul empat, kau tidak keluar. Enam jam aku menunggu, hanya untuk melihat seseorang mengacak rambutmu dan kau merangkul pundaknya?"

Daniel tertawa. Jelas, itu bukan tawa yang baik. Seongwoo mengambil satu langkah mundur.

"T-tapi ini bukan seperti itu. Bahkan Yongguk-"

"Aku berusaha menghargaimu. Aku bisa memperkosamu dan membuangmu begitu saja, atau membunuhmu dan menjual organ tubuhmu sekalian. Tapi aku tidak! Kau-," Daniel mengarahkan telunjuknya tepat pada Seongwoo. "Kau bukan mainanku! Kau bukan ladang uang atau apapun itu! Kau milikku. Seberapa susahnya bagimu untuk memahami itu? Aku menghargaimu sebagai manusia, bukan sebagai benda, Seongwoo. Aku tidak sebrengsek itu untuk menghancurkan hidupmu begitu saja! Aku tau aku sudah cukup sialan dengan melakukan ini semua padamu, tapi aku melakukannya bukan semata-mata mengejar nafsuku! Aku ingin memilikimu, it's as simple as that!"

Seongwoo membungkam mulutnya. Kedua matanya terbelalak, begitu terkejut dengan segala penuturan Daniel.

Daniel meraung geram. Pria 34 tahun itu menarik bagian kerah kemejanya turun dengan paksa. Akibatnya, beberapa kancing teratas terlepas dan berceceran di lantai.

"Kau ingin pergi? Pergi saja! Aku tidak akan menghalangi lagi, Seongwoo!"

Perdebatan berakhir dengan Daniel yang berbalik dan menjauh. Beberapa saat kemudian, pintu yang dibanting terdengar dari lantai dua. Suaranya menggema begitu keras, hingga Seongwoo tersentak karena terkejut.

Berarti... Seongwoo bisa pergi?

Sekarang?

Tapi, bagaimana jika hatinya menolak?

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Malam, Tuan. Ada apa menghubungi saya? Apa ada pelelangan, atau informasi penting? Omong-omong, code #031 sudah kami singkirkan. Dia mengacaukan penjualan senjata kita beberapa saat lalu, Tuan.❞

❝Taedong.❞

Pria di seberang telepon diam, menunggu Daniel melanjutkan ucapannya. Ia paham, jika sang tuan sudah memanggil namanya, maka pembicaraan saat ini merupakan pembicaraan yang serius.

❝Cari data tentang orang bernama Yongguk. Pemilik Joyf Café.❞

Apa ada hal lain yang Tuan butuhkan?❞

❝Urus dia.❞

Singkirkan?❞

Daniel tertawa dengan nada sumbang. Taedong, pria di seberang sambungan telepon sana, bisa menangkap amarah di balik tawa Daniel.

❝Tidak perlu. Beri dia peringatan dengan halus, tentang bagaimana seharusnya ia bersikap pada siapa yang sudah menjadi milik seseorang.❞

Maaf Tuan, tapi, itu terlalu samar.❞

❝Sikap pada Ong Seongwoo, milik Kang Daniel.❞

Baik, Tuan.❞

❝Dan urus anak buahmu agar tidak mengacau lain kali. Kiriman ganja akan tiba nanti malam, pukul sepuluh.❞

PIIP

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.


a/n: tjie udah mendekati akhir aja ini FF, yang FF sebelah juga sih sebenernya, eh- hEHEHEHE🌚

Jadi yeorobun, masih kah kalian bingung kenapa Dad Niel ga mau langsung sodok mami Ong?

Mari kita doakan keselamatan koko beler kita, semoga aman disisi cici. Mari doakan juga keselamatan dompet saya, semoga bisa melalui masa krisis 4 versi album Seventeen;") beli dua aja minta tolong orang transferin hHH...

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top