15

Driana masuk kekelasnya tepat lima belas menit sebelum bel berbunyi. Ia membenarkan posisi headsetnya, udara kelas masih sama dinginnya dengan kemarin. Hari ini hari jum'at. Pulang cepat, itulah yang Driana tunggu-tunggu.

Driana mendapati sekaleng pewangi ruangan di atas meja guru. Mengambilnya dan menaruh diatas mejanya. Ternyata tutupnya sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Driana membuka kedua headset yang ada ditelinganya. Mencoba membenarkan kaleng pengharum ruangan tersebut, tiba-tiba Bian masuk kelas. Menggemblok tas abu-abunya dipunggung. Menaruhnya, dan menghampiri Driana yang sedang salting karena merasa Bian sedang menghampirinya.

"Sini coba gua yang benerin Dri kali aja bisa."

"Ini gabisa dibenerin lagi Bi. Udah taro aja biarin." Driana mengambil kembali kaleng pengharum ruangan yang sempat dipegang Bian.

Namun diluar dugaan, tanpa sengaja Driana menyemprot pewangi ruangan tersebut, entah tepat atau tidak, air nya menyambar wajah Bian. Bian tersedak, ia memegang tenggorokannya. Bian punya asma.

"Bi, lo kan punya asma!" Driana baru ingat kalau Bian punya penyakit asma. Bian memekik. Napasnya sulit dikendalikan. Ia tak pernah membawa obat asma nya kesekolah. Bian berusaha mencari-cari minuman. Keadaan kelas pagi itu tidak terlalu ramai, anak-anak yang lain masih berada diluar kelas. Driana panik, ia berusaha mencari sebotol air mineral. Hanya satu yang ada dipikiran Driana sekarang, ia telah melukai orang yang disayanginya.
"Udah mendingan Bi?" tanya Driana setelah Bian meminum setengah botol air. Yang ditanya mengangguk. Tapi wajah Bian masih pucat. Driana tau, Bian masih merasakan sakit didadanya.
"Bi, lo gapapa?" Masih, Driana masih cemas.
"Gapapa Dri. Sante aja." Bian berusaha menenangkan Driana yang berstatus-masih cemas-itu.
"Gimana mau sante Bi, gua kan tau lu punya asma. Gue beliin lo obat asma ya. Bentar." Driana beranjak dari duduknya didepan Bian, tapi tangan Bian menyangga tangan Driana. Driana melirik tangannya yang digenggam Bian, waktu seakan berhenti sedetik.
"Gausah Dri. Udah sembuh gue." Bian tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang rapi. -Nyengir kuda-nya Bian, adalah penghangat hati Driana kapanpun dan dimanapun. Bahkan jika hanya foto sekalipun.

Esokan harinya, Bian tidak masuk sekolah. Kecemasan Driana sebelumnya kembali melunak lagi. Ada apa gerangan? Dua hari Bian tidak masuk sekolah, tidak menyurutkan cemas Driana. Melainkan malah menambahkan rindu yang terbilang hebat. Maka dari itu, saat dirumah, Driana mencoba menghubungi Bian.

Driana Natasha : Bian
Driana Natasha : Bi lu kemana?
Driana Natasha : Bian lu gapapakan?
Driana Natasha : lu gapapa?
Driana Natasha : Bian
Driana Natasha : Fabi an
Driana Natasha : Bi
Driana Natasha : Bi gua kangen
Driana Natasha : Bi

Fabian : Hei
Fabian : ini gue lagi di kereta mau pulang

Driana Natasha : lu kan lagi sakit Bi. Ngapain jalan-jalan?

Fabian : justru krna gua sakit jadi gua gapulang dri
Fabian : gua demam dr semalem

Driana Natasha : istirahat dong Bi

Fabian : Ya inikan gua relain pulang dri meskipun masih sakit demi lu

Driana Natasha : kok demi gua?

Fabian : iya dri. Gua kangen sama lu.

Driana Natasha : miss you bi

Fabian : miss you too dri

Driana Natasha : besok masuk bi. Gua kangen..

Fabian : iya kalo gua udah sehat ya badan gua masih gaenak

Driana Natasha : istirahat bi
Driana Natasha : lu harus masuk secepatnya
Driana Natasha : gua kangen lu bi

Egois untuk kali ini. Rindu yang menjalar tak bisa di tolerir lagi. Driana benar benar merindukan Biannya. Setelah mengirim pesan untuk Bian, Driana membereskan buku-buku dan peralatan sekolah yang akan dibawanya pergi kesekolah. Harapannya hanya satu, semoga Bian masuk hari ini.

Seperti biasa, Driana mengendarai sepeda motor oranye untuk pergi kesekolah. Dia tidak bersemangat sama sekali pagi ini. Karena ia tau, Bian belum masuk hari ini. Driana bahkan sudah membayangkan hari ketiganya disekolah tanpa Bian. Pasti kelabu, sama seperti hubungannya dengan Bian. Kelabu, antara hitam atau putih, entahlah..

Keduanya sama sama merasakan sesuatu yang berbeda saat bersama. Tapi dihati satu sama lain, siapa yang tau? Driana sekalipun tak tau apa isi hati Bian. Begitupun sebaliknya.

Setelah sampai disekolah, Driana memarkirkan kendaraannya, melepas helm nya dan meletakkannya diatas spion motor miliknya. Lalu pergi menuju kelasnya dilantai dua.

Berjalan menyusuri koridor dengan semangat yang entah kemana, Driana memasukan kedua tangannya ke saku jaket. Menunduk dan hanya dapat menghitung langkah demi langkah yang ia tempuh. Saat kepalanya terangkat sedikit, ia mendapati Bian didepan mading tersenyum manis padanya. Bian masuk sekolah.

Bibir Driana terangkat sedikit. Mengukir sesimpul senyum dibibir tipisnya membalas senyum Bian. Semangatnya terisi kembali melihat keberadaan Bian. Bian mengukir tawanya, tawa yang Driana rindukan sejak dua hari yang lalu. Driana menaiki anak tangga pertama. Sebelumnya ia melirik Bian, Bian juga mengikuti langkah Driana.

Perjalanan dari lantai satu menuju lantai dua terjadi begitu lambat degan keberadaan Bian dan temannya dibelakang Driana. Sesampainya Driana dan Bian dikelasnya, Bian meletakkan tasnya disamping meja tempat duduk Driana.
"Hai Dri.." Bian memamerkan deretan giginya, lagi. "Nih chat lu belum gue read. Gue masuk nih demi lu."

Dan Driana pun hanya bisa menunduk malu. Pipinya merona merah. Seutas senyum yang tiada habisnya masih terukir di bibir Driana. Namun kali ini, lebih lebar. Rindu Driana melayang seiring hembusan angin dijendela kelasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top