Chapter 2

"Apa yang dilakukan kuda itu?" tanyaku dengan memicingkan mata ke arah hewan berkaki empat itu.

"Sebentar, akan kuperiksa." El berjalan maju ke arah kuda, dengan talinya yang sudah terikat pada batang pohon besar di depannya. Kuda itu terus saja mengangkat kakinya dan meringkik ... apa mungkin ada sesuatu yang aneh di sini? Karena indra hewan lebih tajam daripada manusia.

Sedangkan yang kurasa sekarang, hanya gemeresik dedaunan meneteskan sisa butir air hujan dari satu daun jatuh ke daun yang lebih rendah. Kulihat Eliardo mencoba menenangkan kuda itu dengan mengelus bagian kepala hingga lehernya.

Namun, hasilnya pun masih tetap sama. Aku tidak tahu apa maksud dari kelakuan hewan itu di depanku juga Eliardo.

Tiba-tiba. Suara. Langkah kaki, tak jauh di belakangku.

Seketika itu aku seraya berdiri dan menoleh, sebelum aku benar-benar menoleh ke belakang ... mereka sudah membungkam mulutku. Kini aku dengan keadaan setengah kebingungan juga takut....

Siapa mereka beraninya melakukan ini padaku?! Dengan kedua lenganku dipegang oleh dua orang lalu diseret ke belakang, yang kulakukan sekarang hanya pasrah mengikuti arah mereka. Bergerak pun tidak bisa apalagi berteriak memanggil El dengan keadaan mulut yang dibekap seperti ini. Itu sangat sulit.

Sedangkan busur panah milikku masih terikat pada tali pelana kuda. Mereka mungkin manusia sama seperti Eliardo, karena aku bisa mendengar jelas detak jantungnya. Derap langkah mereka; satu, dua ... empat pasang kaki di belakangku. Aku tidak ingin berlalu seperti ini, dengan meninggalkan El sendirian di hutan dan pergi bersama empat orang aneh ini.

Dengan sedikit kuatur napas, agar tidak terengah-engah. Meski kini napasku sudah mulai terengah-engah karena bekapan ini. Seraya tangan kiri dan kananku memegang kedua tangannya yang menggenggam erat lenganku. Jari jemari yang sudah mulai menegang ... kutancapkan kuku tajamku dengan sedikit memberi goresan tepat pada pergelangannya....

Alhasil, mereka berhasil melepas genggamannya pada kedua lenganku karena sudah tak sanggup lagi menahan perih yang berkelanjutan. Aku tahu yang dilakukan para manusia itu, dengan mengibas-ngibaskan luka pada tangannya seraya meniupnya ... itulah yang dilakukan manusia, hanya karena sedikit goresan saja sudah merasa kesakitan. Berbeda denganku juga Ayahku hanya sebuah perunggu tajamlah yang menikam, mampu memberi kesan sakit pada ras kami ataupun kematian....

Tinggal satu orang yang membekapku menggunakan tangan kotornya. Kupegang, lalu segera aku membalikkan badan darinya dan mendorongnya jauh-jauh dariku, hingga ia tersungkur jatuh ke tanah yang penuh dengan genangan air hujan.

Tak lama setelah itu, aku tidak hanya diam di tempat dan ditangkap lagi oleh mereka. Mencoba lari. Kukira jarak yang belum terlalu jauh dari Eliardo.

Namun, usahaku untuk berlari menjauh. Kalah cekatan dari salah satu mereka dan menarik kembali tangan kananku, Sial! batinku. Sebelum mereka benar membungkam mulut ini secara paksa segera aku berteriak, "Eliardo!!" hanya nama itu yang mungkin bisa menyelamatkanku ... semoga saja El mendengar suaraku, dua kali kuteriakkan nama yang sama hingga mereka kembali membekapku.

"Putri Eliz...." Suara itu, iya, jelas itu suara El yang sangat kukenal.

Aku tidak bisa membalasnya, hanya karena tangan kotor ini sudah berada di depan mulutku.

Derap langkah yang kudengar kali ini begitu sangat jelas ... bukan manusia, melainkan kuda. Iya. Kukira itu El bersama kudanya berlari menuju ke arahku.

"Lepaskan tuan putri!" Suara yang terdengar dari arah belakang kami dan kembali sergahnya, "aku bilang lepaskan dia!" Kami pun menoleh ke asal suara itu tepat di belakang dengan jarak sekitar tujuh meter dari tempatku berdiri.

Eliardo ... ia terlihat mengedik di atas kuda sembari memegang busur panah milikku dengan posisi sudah membidik arah sasarannya....

"Woo.. woo.. woo.. Tenang kawan, santai saja!" Seketika lelaki yang memegang tanganku melepaskannya begitu saja dengan mengangkat kedua tangannya.

"Putri Eliz, kemarilah!" ucap El masih dengan posisi semula, tanpa berpikir panjang aku langsung melangkahkan kaki menjauh dari mereka, dan mendekat ke arah Eliardo.

"Orad, bagaimana bisa kau lepaskan dia begitu saja?!" Suara serak yang terlontar dari salah satu mereka. Lelaki itu hanya membalasnya dengan berkata, "Biarkan saja!" Tanpa mengubah sedikit ekspresinya.

"Tapi, dia bisa kita jadikan tawanan." Yang benar saja salah seorang dari mereka menyahut perkataannya dengan berbicara untuk menjadikanku sebagai tawanan mereka.

"Apa? Tawanan!" kata yang terlontar dari mulut El, dengan melirik ke arahku.

"Iya. Kita sesama manusia, banyak sanak saudara yang diperbudak olehnya. Bagaimana mungkin bisa kau lindungi anak dari Raja yang angkara murka itu! Dia sama saja seperti Ayahnya!" tegas dari seseorang yang memegang erat tanganku tadi.

Dengan nada tinggi aku menyahutnya, "Tidak! Aku tidak seperti Ayahku!"

"Bagaimana mungkin kau tidak seperti Ayahmu, kau adalah darah dagingnya!" sambung lelaki satunya.

"Benar yang dikatakan putri Eliz. Dia sama sekali tak memiliki kelakuan seperti Ayahnya!" lanjut El bertatap muka denganku, "dia mencoba menyelamatkanku dan berniat untuk membunuh Ayahnya sendiri."

"Yang benar saja. Lihatlah kawan, seorang putri ingin membunuh Ayahnya." Ia menoleh ke arah kawannya sembari tertawa di depan mataku.

Sungguh aku tak tahan atas perlakuan mereka terhadap diriku. Aku bisa saja membunuh mereka hanya dalam sekejap mata, para manusia. Refleks tanganku yang sudah mengambil alih busur serta anak panah, dari genggaman tangan El dan berniat untuk membidik mereka berempat, hanya dengan sekali bidikan tepat melaju menembus jantungnya masing-masing.

Tetapi ia. El, beranjak turun dari atas kuda segera memegang pundak kananku sembari menggelengkan kepala dan menatapku lekat-lekat. Aku tahu yang ia maksudkan, agar aku tidak terpengaruh oleh sebagian diri iblisku dan menembakkan anak panahku tepat pada mereka. Lalu ia berkata, "Aku akan bicara dengan mereka!" Beralih menoleh dan melangkahkan kaki maju mendekati keempat orang itu.

"Apa kita bisa bicara dengan baik-baik?" Mereka berempat pun berhenti tertawa dan beralih menatap tajam ke arah Eliardo.

Terlihat lelaki yang berada di samping laki-laki yang bernama Orad, mengangkat pedangnya. Aku pun dengan siaga kembali menarik tali busurku ... membidikkan tepat ke organ vitalnya yaitu jantung....

Orad, dengan kelincahan mengacungkan tangan kanannya sebagai tanda isyarat agar lelaki itu berhenti dengan menurunkan pedangnya. Dan ia benar-benar menuruti perintah laki-laki itu.
Kemungkinan dari keempat lelaki itu, Orad sebagai ketua dari gerombolan ini.

Sementara El masih terus melangkahkan kaki maju ke depan. Sebelum ia berbicara dengan Orad, El sedikit menoleh ke arahku dengan rasa antusiasnya. Kupikir El akan berusaha menjelaskan semua ... apa yang terjadi sebenarnya. Dan sekarang ia sudah bersama dengan keempat orang tersebut dengan berkumpul menjadi satu.

Entah apa yang mereka bicarakan dengan El, di sini aku tidak bisa mendengar jelas perkataannya meski dengan menggunakan pendengaran tajamku. Aku sudah merasa sedikit lega dengan kembali menurunkan busur panah dan merenggangkan jari jemariku, agar tidak menegang setelah menarik tali busur dengan sangat kaku.

Tak lama setelah itu El menoleh, senyum pun tersungging di bibirnya Apa El berhasil menjelaskan semua kebenaran pada mereka?

Tetapi selang waktu yang tak lama pula, raut wajah El berubah seketika dan berteriak, "Putri Eliz. Lari!" Aku tidak mengerti apa maksud dari perkataan lari, jelas-jelas mereka berempat sudah percaya padaku mana mungkin mereka akan berniat membawaku dan menjadikanku sebagai tawanannya ... itu jika mereka berkhianat....

Apa itu?! Tiba-tiba saja kuda yang berada di sampingku dengan sangat kuat terseret ke belakang.

Ogre?

Apa benar yang menyeret kuda itu salah satu dari ras Ogre. Aku berjalan mundur dengan langkah yang sangat pelan serta was-was, pandangan yang tertuju pada kegelapan di depan, tangan yang sudah menaikkan kembali busur panah dengan jari yang mencoba menarik talinya. Sesaat ia muncul dengan melemparkan salah satu kaki kuda itu di depanku, ya, tepat di hadapanku.

Namun, sebelum ia benar-benar mendekatiku dan menyeret tubuh ini lalu mengoyaknya atau yang mungkin lebih parah, membawaku kembali ke kerajaan. Aku seraya membalikkan badan dan berlari ke arah mereka, dengan langkah seribu. El pun meraih tanganku dan menarik paksa lenganku.

Sesuatu yang besar telah memegang kakiku. Tangan besar itu, mencoba menarik kakiku dengan menyeretnya. "El!" teriakku.

Tetapi. Mereka salah satu kawan Orad yang membawa busur panah berhasil memanah salah satu mata Ogre tersebut. Otomatis ia pun melepas tangan kotornya dari kakiku ... ia mengerang sembari memegang sebelah matanya dan terjatuh ke tanah. "Ayo pergi!" Suara Orad tiba-tiba menyeruak di telingaku.

Kami berenam terus berlari, menjauh dari makhluk besar itu. Sementara seorang yang memegang busur panahnya masih bersiaga di urutan belakang, sesekali ia menoleh ke belakang bersamaan lari dengan seribu langkah memastikan Ogre--lainnya tidak mengikuti kami.

Mungkin ini adalah satu-satunya cara kami untuk menyelamatkan diri dari Ogre--bukan melarikan diri darinya hanya karena merasa takut. Ras Ogre hanya mampu dikalahkan dengan anak panah bermata perunggu, tepat yaitu mata panah milikku.

Aku tidak yakin untuk membidikkan panah milikku hanya karena terdapat tiga biji anak panah saja di dalam wadah, yang terbuat dari kayu menyerupai bambu dengan tali yang mengikat kedua ujungnya untuk bisa dipakai menyerupai tas bahu.

Sekitar dua kilometer kami terus berlari dengan jangkah yang tak karuan ... akhirnya berhenti tepat di depan jalan setapak yang terbagi menjadi dua ruas. Mereka berlima mengatur kembali napas yang terengah-engah, sedangkan aku kembali menaruh anak panahku di dalam wadahnya. "Kau tak apa kan?" tanya El memegang kedua lenganku.

Sungguh pada tatapan matanya yang terlihat ia sangat mengkhawatirkanku. "Aku tak apa!" balasku masih menatap matanya dengan lekat.

"Sungguh?"

"Iya, jangan khawatirkan diriku. Aku bisa menjaga diri sendiri! Seharusnya yang patut dikhawatirkan itu kalian!" tegasku sembari melepas genggaman kedua tangannya pada lenganku, "aku tahu Ogre tadi tidak ingin membunuhku, melainkan membawaku kembali ke kerajaan. Mereka pesuruh Ayahku!"

"Tapi apa kau ingin kembali ke kerajaan?" tanya Eliardo.

"Tidak! Kalaupun iya. Hanya untuk menghancurkannya. Aku tidak peduli, meskipun seseorang mengatakan aku anak durhaka karena ingin membunuh Ayah kandungnya sendiri. Tetapi aku lebih peduli terhadap mendiang Ibu juga kalian para manusia."

"Maafkan atas perkataanku putri Eliz. Aku turut berduka terhadap mendiang Ratu."



Bersambung!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top