Side Story: Utama - Lusi

Hai semuanya, kangen Parcel dan Pexel ya? 😍😍

Nah, aku tuh lagi nunggu Kak Lyan lyanchan sampai chapter 20, jadi aku tungguin dulu ya. Bentar lagi Eugene sampai chapter 20 kok😍😍😍

Selagi menunggu, ini ku kasih bonus dulu❤

Cihaaoo salam dari Mama Lusi nih😍😍

Malam minggu kali ini Lusi pergi menonton bioskop dengan Utama. Seperti malam minggu biasanya, mereka menghabiskan waktu di luar. Mereka duduk di salah satu kedai kopi demi menunggu film yang baru akan dimulai tiga puluh menit lagi.

"Aku bete, deh. Parcella tuh jarang banget telepon. Tiap aku telepon nggak pernah diangkat. Aku chat aja dibalasnya seminggu kemudian. Apa sesibuk itu?" Lusi mengeluhkan masalah yang sering melanda belakangan.

"Kamu nggak minta Za atau Ze untuk hubungi Parcella? Biar telepon kamu diangkat," saran Utama.

"Aku udah minta mereka, tapi katanya Parcella sibuk. Aku tau kerja nggak sampai sesibuk itu. Anakku yang satu itu emang paling ngeselin. Sering banget mengabaikan aku," celoteh Lusi.

"Sabar, Sayang. Mungkin emang beneran sibuk. Besok coba kamu telepon lagi, ya."

Lusi mendengkus. "Males. Mana mungkin diangkat."

"Pasti diangkat, Sayang. Jangan cemberut dong. Nanti makin imut. Kalo imut bahaya. Bisa ditaksir yang lain." Utama memainkan kedua alisnya mencoba membujuk Lusi yang tengah cemberut.

"Ish! Gombal banget. Mana ada yang naksir. Ada juga mau muntah."

"Ada aja. Buktinya aku pacaran sama kamu."

"Kamu mah aneh. Aku nggak pakai susuk apa-apa, tapi ditaksir kamu. Ini keajaiban banget."

Lusi berkata sesuai pemikirannya. Masih ada yang menyukainya saja sudah bersyukur. Ini dia mendapatkan Utama yang jauh lebih muda 21 tahun darinya. Lebih bersyukur lagi. Lusi tidak pernah berharap dicintai laki-laki semuda Utama, yang mana seumuran dengan putri bungsunya. Namun, takdir memberikan keindahan yang Tuhan ciptakan. Rasanya seperti tertiban bulan.

Utama terkekeh kecil. "Bukan keajaiban, Sayangku. Kamu menarik. Ada banyak hal baik dalam diri kamu. Cinta nggak mandang umur, kan?"

"Mungkin bagi orang waras cinta mandang umur. Laki-laki waras mana yang umurnya semuda kamu bersedia sama aku? Ya, kecuali kamu sih. Kamu emang aneh." Belum selesai bicara, Lusi menyeruput matcha latte lebih dahulu untuk membasahi tenggorokkannya, lalu melanjutkan, "Aku nggak habis pikir kamu mau aja sama janda anak lima. Papa kamu nggak masalah pula. Kalo orangtua lain pasti bakal nentang, apalagi umurku yang lebih tua dari Papa kamu."

"Buat aku nggak ada yang salah. Cinta nggak bisa diprediksi. Papa setuju karena dia tau kamu baik, Sayang."

"Ah, kamu, selalu bisa bikin aku batal ngeluarin pemikiran aku." Lusi pura-pura cemberut.

Utama terkekeh karenanya. "Tapi serius, aku tulus sama kamu. Papa juga bilang kalo orangnya baik jangan dilepasin."

"Bicara soal Papa, dia bakal ngerasa tua banget nggak ya lihat anak-anakku? Keempat anakku yang kembar lebih tua dari kamu. Bakal sakit kepala nggak ya kalo lihat mereka kumpul? Apalagi ditambah Parcella. Bakal rame banget."

"Kelihatannya sih nggak. Papa orangnya santai dan mudah berbaur kok." Utama menarik senyum lebar, meyakinkan Lusi bahwa apa yang dikatakannya benar.

"Syukurlah kalo gitu." Lusi bernapas lega. "Papa nggak punya pacar lagi? Apa nggak kesepian sendirian selama bertahun-tahun?"

Utama menggeleng. "Papa belum menemukan perempuan yang tepat. Katanya kalo udah ketemu, dia baru mau ajak nikah. Selama ini Papa sibuk karena dia pikir menikah lagi bukan keinginannya. Dia mau fokus ngurus aku sama adik-adik aja. Tapi, aku sama Kertasia bilang kalo Papa perlu seseorang untuk menemani hari tuanya. Pasti anak-anak akan nikah, kan?"

Lusi manggut-manggut. Ini pula yang menjadi pemikirannya. Dia bersedia menikah dengan Utama karena ingin memiliki teman hidup yang bisa menemaninya sampai ajal menjemput. Anak-anaknya terlalu sibuk dan sudah menetap di luar negeri semua. Dia kesepian kalau sendirian.

"Benar juga. Mudah-mudahan Papa ketemu yang cocok deh. Aku doain," ucap Lusi.

"Aku aminkan, deh. Semoga aja Papa menemukan sosok yang tepat."

"Kalo gitu kamu--"

"Permisi, Kak." Suara dari samping memotong kalimat Lusi yang belum selesai. Kontan, Lusi dan Utama menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Ya?" sahut Utama.

"Temanku yang duduk di sana katanya tertarik sama kakak." Perempuan itu menunjuk posisi temannya duduk, lalu melanjutkan, "Boleh minta nomornya nggak, Kak? Atau, mungkin akun sosmed?"

Lusi memasang wajah kesal. Selalu saja seperti ini kalau dia sedang berduaan dengan Utama.

"Maaf, Tante, ganggu pas lagi ngobrol sama anaknya. Soalnya anaknya ganteng, sih," ucap perempuan itu pada Lusi saat baru menyadari kehadirannya.

Lusi sudah terbiasa disangka ibunya Utama. Wajah memang tidak bisa dibohongi. Mau seawet muda apa pun wajahnya, unsur tua dari wajah masih kelihatan. Apalagi wajah Utama terlihat seperti laki-laki berumur 25 tahun meski umurnya sudah 28 tahun.

"Saya nggak mau kasih apa pun," jawab Utama jutek. "Dan satu lagi, perempuan cantik ini bukan ibu saya. Dia calon istri saya."

Wajah kesal Lusi perlahan berubah menjadi tersipu malu. Kata-kata Utama berhasil mengusir perempuan itu setelah minta maaf. Lusi senang. Setiap kali ada kejadian seperti ini, Utama selalu membela dan tidak malu mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya. Lusi tidak pernah merasa sebahagia ini selama hidupnya.

"Kamu parah banget jujur gitu. Dia kelihatan malu," ucap Lusi.

"Biarin aja. Seenaknya aja bilang kamu ibu aku. Padahal kamu calon ibu dari anak-anak aku nanti."

Lusi seperti kembali pada masa-masa ABG dulu. Dia mudah sekali tersipu malu karena Utama. Seumur hidupnya, dia tidak pernah merasa lebih hidup. Waktu bersama mantan suaminya, dia hidup menderita yang sering membuatnya menangis dan terluka. Bersama Utama, dia merasakan sesuatu yang lebih baik dan perlahan menyembuhkan luka itu.

"Ah, kamu. Bisa banget bikin emak-emak kayak aku terlena."

Utama terkekeh. Menit berikutnya Utama bangun dari tempat duduk, lalu duduk di samping Lusi. Satu tangannya mampir di atas batas kursi Lusi, yang mana Lusi sedang bersandar.

"Kok kamu pindah tempat duduk?" tanya Lusi heran.

"Biar mereka tau kita pasangan yang berbahagia, bukan ibu dan anak," jawab Utama dengan santai.

"Ampun, deh. Kamu santai banget. Aku malu."

"Aku nggak malu. Aku malah mau pamer punya calon istri secantik kamu."

Lusi mencibir, "Mana ada! Ini kerutan di muka aku bentar lagi muncul. Kamu aneh."

"Lus, dengar. Mau ada kerutan, mau kelihatan tua, kelihatan apa lah itu yang bikin kamu selalu membandingkan antara diri kamu dan perempuan muda lain, aku akan selalu mencintai kamu. Cinta aku nggak akan pudar," tutur Utama dengan bersungguh-sungguh. Baik nada maupun raut wajahnya menunjukkan kesungguhan itu sendiri.

Lusi terharu. Mungkin ini yang dikatakan orang-orang, akan ada pelangi setelah gelap yang menerpa. Utama adalah kebahagiaan barunya.

"Kamu, mah..." Lusi malu-malu. Pipinya pasti sudah seterang warna blush on pink yang dia pakai tipis.

"I love you with all my heart, Lusi," bisik Utama, yang kemudian memberi sentuhan akhir di bagian pipi kanan Lusi.

Lusi memukul paha Utama karena malu. Walau kelihatan tidak ada yang memerhatikan, tapi siapa tahu ada yang tidak sengaja melihat Utama sedang pamer PDA.

"Kamu, nih. Jangan bikin jomlo iri. Mereka bisa nyumpahin aku karena berhasil gebet anak muda kayak kamu," ujar Lusi.

Utama tertawa pelan. Setelah berhasil menguasai tawa, dia berbisik pelan. "Ya, mohon maaf aja, anak mudanya suka sama tante-tante."

Lusi kembali memukul paha Utama. "Dasar!"

👄👄👄

Gimana gimana? Perlu dibuat cerita spin off mereka nggak?🤣🤣

Jangan lupa baca Eugene di lapak lyanchan ya😍😍😍

Yuhuu salam dari Papa Utama🤣😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top