"Sepertinya teman Kak Erik."
Laila yang sebelumnya duduk di kursi meja makan sambil memperhatikan Jian, bangkit dan berjalan ke pintu.
Padahal kan ada bel di dekat pintu.
Laila menyambar jaketnya yang tersampir di atas televisi.
Sesampainya di depan pintu, Laila makin yakin bahwa yang datang adalah teman Erik, karena dia menangkap figur tinggi dari gorden.
Pintu pun terbuka.
"Maaf, Kak. Kak Erik hari ini--"
"Kak Laila!"
Mata Laila terbelalak, terkejut bukan main saat sadar dirinya sudah ada di dalam pelukan seorang pemuda asing tak dikenal.
Dan lagi, orang ini hanya mengenakan sehelai kain putih!
Tanpa menunggu lama, tangan Laila mendorong pemuda itu.
"Mesum! Kamu siapa? Aku akan telepon polisi!"
"Kak Laila ... ini ... ini Dean!"
Hati Laila berdesir mendengar nama itu.
Namun, Laila masih waras. Ditatapnya pria aneh tersebut dari atas sampai bawah. "Bohong."
Yang Laila tahu, satu-satunya yang bernama Dean adalah anak kucing malang berhidung mancung kemarin, dan hewan itu sudah mati.
Jangan bilang ini efek alisnya yang menyatu. Laila jadi benar-benar bisa melihat makhluk halus.
Jian muncul dari belakang dan menggeram pada sosok itu.
"Dean tidak bohong!"
Laila menatap lagi wajah tersebut, tampan. Satu hal, hidungnya mancung dengan mata agak tajam, tetapi di saat yang bersamaan, wajah itu terkesan lembut dan ... menenangkan.
Tapi tunggu!
"Banyak sekali trik penipuan zaman sekarang, ya?" Laila berucap dengan sinis, tetapi tegang tak bisa hilang dari nada suaranya.
Jian pun digendong sebagai tameng kalau-kalau orang ini berbuat jahat.
"Bukan, Kak! Ini benar Dean, percayalah!"
"Dean, kucing yang mati tadi malam?"
Meskipun sudah menduganya, tetap saja Laila terkejut mendapati pemuda ini mengangguk.
"Bohong...."
"Percayalah pada Dean, Kak. Ini Dean...."
"Memang kamu punya bukti?"
"Bukti ..., ah! Ini!"
Laila menatap ngeri sebuah saputangan putih yang berwarna kecokelatan karena kotor oleh tanah. "Berikan padaku." Dia menurunkan Jian dari gendongannya.
Benda itu memang punya Laila. Bahkan inisial namanya yang dibordir pun sama persis.
Laila mengangkat kepala, menemukan tatapan harap-harap cemas dari sosok di depannya.
"Baiklah, aku percaya."
Setelah berberapa saat menatap dalam mata pemuda yang mengaku Dean itu, Laila rasa mustahil dia berbohong.
"Sungguh? Terima kasih, Kak! Dean senang sekali!"
"Jangan peluk."
Laila mengabaikan tatapan kecewa dari Dean.
"Kak Laila--" Suara berat itu terhenti ketika sebuah suara lain menyusul. Itu suara perut keroncongan.
Laila masih menatap Dean dengan tatapan tidak suka. Ia sembarang menyambar plastik di atas kursi dan menarik Dean ke kamar Erik tanpa menutup pintu depan.
"Pakai baju, setelah itu makan."
"Tapi, Kak--"
"Dan jangan panggil aku "Kakak", aku masih muda."
Laila mendorong Dean dengan paksa sebelum menutup pintu kamar. Kemudian, tatapannya berpindah pada Jian yang sedari tadi memperhatikan.
"Jian, ayo temani Kakak memasak sebentar."
Sekarang, Laila tengah sibuk memasak.
Baru saja Laila mau mematikan kompor, sepasang tangan kekar memeluk pinggang Laila dari belakang, dan nyaris membuat gadis itu menjerit.
"Ini Dean."
Tanpa menunggu lama, Laila segera berbalik dan mendorong tubuh tinggi itu.
"Maaf, Kak."
Butuh waktu tiga detik bagi Laila untuk merespon. Dean di hadapannya sukses membuat gadis itu tak berkedip.
Tampan.
Suara meongan Jian membawa Laila kembali ke dunia. Buru-buru gadis itu menyibukkan diri dengan telur mata sapinya yang hampir hangus.
Yang benar saja, terpesona pada makhluk tidak jelas?
"Duduklah, kamu pasti lapar."
Tatapan Laila tak lepas dari sosok Dean yang menarik kursi dengan gerakan agak kikuk. Seolah-olah ini adalah kali pertama dia melakukan semua hal.
"Jadi, bisa jelaskan dengan lebih detil?" pinta Laila sesaat setelah Dean mulai makan.
Kunyahan Dean berhenti. "Dean juga tidak tahu kenapa bisa jadi manusia."
"Apa maksudmu?"
"Yang Dean tahu, Dean diberi waktu dua belas jam oleh Tuhan untuk menyelesaikan misi ini."
"Misi apa?" tanya Laila penasaran.
"Misinya rahasia. Tapi nanti Kak Laila akan tahu." Dean pun melanjutkan makannya.
Laila cemberut. Dia mulai merasa ini tipuan. Namun, ini terlalu nyata untuk jadi sandiwara.
Jian melompat ke pahanya, entah kenapa kucing itu tak lagi galak pada Dean.
"Apa benar kamu adalah Dean, anak kucing semalam?"
"Dean tidak bohong."
Laila mengangguk. "Tadi kamu bilang kamu punya waktu berapa?"
"Dua belas jam."
Sebuah senyum kecil terulas di bibir tipis gadis itu.
"Kalau begitu, mau pergi menonton film?"
Aloohaaa
Terbuai dengan hape, sampai lupa jadwal apdet 😂😂
Btw, software hape-ku apdet, jadi semuanya berubah(?) 🤣🤣
*lirik atas* sedih karena tulisanku agak berubah, dikit :"
Babay! Mo les ini.
*masih pake seragam*
13 September 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top