Roket
'Korban jiwa tercatat sebanyak seratus dua belas orang. Saat ini Tim SAR masih berupaya mengevakuasi korban lain yang tertimpa reruntuhan...'
Tayangan berita di layar sedang memperlihatkan kondisi sebuah kelurahan yang luluh lantak.
Nino meringis dan menutup aplikasi YouTube itu. Yang baru saja ditontonnya adalah laporan berita terbaru tentang korban dari keanehan cuaca ini. Tanggul darurat yang dibangun pemerintah untuk membendung luapan sungai jebol sehingga satu daerah terseret air. Dan itu bukan satu-satunya kabar buruk. Belakangan korban jiwa akibat hujan tanpa henti ini kian bertambah banyak; ada yang tenggelam, terseret arus, tersengat listrik, tertimpa bangunan ambruk, hingga tersambar petir.
Nino berdoa dalam hati. Semoga semua ini cepat berlalu.
Jalan di depan kompleks rumah petak itu juga jadi korban. Deretan paving block-nya lumat menjadi bubur karena terus-terusan diterjang air. Nino tidak yakin kompleks ini akan bertahan lebih lama. Jika sampai kebanjiran, sepertinya Nino harus membawa Chan mengungsi ke rumah Eyang.
Dia menoleh pada Chan yang sedang tertidur di kasur. Seperti biasa, anak itu terlelap dengan damai, tidak terganggu oleh berbagai peristiwa mengerikan di dunia. Ingin rasanya Nino seperti Chan, tidak ambil pusing dengan rupa-rupa urusan.
Rupanya jadi anak kecil itu memang menyenangkan, ya...
Kedamaian Chan dalam tidurnya seakan menular. Melihatnya saja mampu membuat Nino merasa tenang. Dia tersenyum dan mengusap lembut kepala anak itu. Lalu dia berbaring di tikar di samping kasur dan memejamkan mata.
...
https://youtu.be/NPBCbTZWnq0
Hari ini Nino libur kerja dan kuliah, jadi dia terbangun agak siang. Chan masih tertidur, hari ini dia juga tidak ke PAUD. Nino bangkit dari tikar dan mulai melakukan tugas-tugasnya.
Yang pertama harus dilakukannya setiap hari adalah menyiapkan sarapan. Biasanya Chan makan roti isi selai, kadang-kadang sereal. Anak itu juga minum susu. Sedangkan Nino, dia menghentikan sarapannya untuk berhemat. Dia lebih memilih makan siang lebih awal, sekitar jam sebelas. Dengan begitu, dia hanya perlu makan dua kali sehari.
Setelah sarapan siap, Nino mulai beres-beres. Dia mencuci piring-piring bekas makan semalam. Ada setumpuk pakaian yang harus dicuci, tapi karena tidak ada panas matahari, jemuran baru akan kering setelah dua tiga hari. Pakaian kotor paling banyak adalah milik Chan – anak itu memang aktif dan suka bermain sampai keringatan. Sebagian baju-baju ini dibeli Nino dengan tabungannya, yang lain adalah pemberian Bertha dan Sakti.
Nino mengisi ember dengan air dan merendam pakaian-pakaian itu dulu dengan detergen. Lalu dia mengambil sapu. Saat lewat di kamar, dilihatnya Chan masih tertidur di kasur.
Sudah hampir jam delapan. Kenapa Chan belum juga bangun? Dia mendekati anak itu dan menggoyangnya sedikit. "Chan? Bangun, yuk. Sarapan udah siap."
Tidak ada jawaban.
Nino membalik tubuh Chan. Astaga, dia panas sekali! "Chan, bangun..."
Chan bergerak sedikit. "Papa?"
"Iya. Kamu kenapa? Badannya panas, ya?"
Chan membuka matanya sedikit menatap Nino lalu mengangguk.
"Ya udah. Kamu bangun, sarapan habis itu minum obat, ya?"
Chan mengangkat tubuhnya sebentar tapi jatuh lagi ke kasur. Dia memegang tangan Nino dengan gemetar. "Chan capek."
"Capek?" Nino mengusap-usap dahi, dada, dan lengan anak itu. "Maksud kamu lemas?"
Chan mengangguk.
Nino menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tenang. Digendongnya anak itu menuju dapur. "Chan, ini..." Nino mengambil sepotong roti. " Makan dulu, ya."
Chan menggeleng, kepalanya terkulai di pundak Nino. "Chan capek."
Nino mencoba membujuk Chan untuk makan tapi anak itu tidak mau membuka mulut. Dia hanya bersandar lemah di tubuh Nino, seperti pingsan. Rasa panik dalam diri Nino itu kini menjelma menjadi rasa takut.
Sesuatu terjadi pada anak itu.
"Chan, kita ke dokter, ya?"
Chan tidak menjawab. Sambil membopong Chan, Nino mencari ponselnya dan menelepon Sakti. Selewat dua puluh detik, Sakti tidak menjawab. Pasti dia belum bangun gara-gara sekarang hari libur. Nino mencoba mengontak Bertha. Panggilan itu juga tidak direspon.
Nino menyalakan GPS dan membuka aplikasi taksi online. Aplikasi itu loading lama sekali, rupanya karena sinyal hanya satu baris. Nino keluar supaya mendapat sinyal lebih baik. Sama saja, di teras sinyal tidak berubah. Pasti gara-gara hujan terus-menerus itu.
Bip! Muncul peringatan di layar ponsel Nino. Baterai lemah.
Sialan! Nino lupa mengisi ulang daya ponselnya. Ponsel Nino sering dipakai Chan untuk nonton YouTube dan biasanya Nino hanya akan membiarkan ponselnya sampai pagi.
Tubuh Chan terasa tambah panas. Anak itu bahkan mulai berkeringat. Nino memeluk anak itu dan bersandar di dinding. Pikirannya kalut. Apa yang harus kulakukan?
Nino melihat motornya yang diparkir di teras.
"Chan..." Hanya ini cara tercepat. "Papa bonceng Chan ke rumah sakit naik motor, ya? Nanti Chan pakai jas hujan. Nggak apa-apa, ya?"
Chan mengerang pelan pertanda tidak setuju tapi tidak mengatakan apa-apa. Kondisinya semakin gawat. Bertha dan Sakti sedang tak bisa dihubungi. Ponselku juga mati! Nino cepat-cepat menyambar keputusan itu. Aku harus membawanya ke rumah sakit sekarang!
Nino mendudukkan Chan di kasur. Dia masih mengenakan piyama jingga yang dipakainya saat pertama kali bertemu Nino. Lalu Nino mengambil jas hujan anak-anak yang dibelikan Bertha dan memakaikannya pada Chan. Nino juga mengambil jas hujannya dan menyiapkan motornya. Sebelum pergi, Nino mengetikan pesan WhatsApp untuk Bertha dan Sakti, memberitahu kedua temannya bahwa dia akan mengantar Chan ke rumah sakit.
Dengan memakai sebuah selendang, Nino mengikatkan Chan pada pinggangnya. Lalu menyalakan motornya dan keluar menembus hujan yang lebat itu.
Bertahanlah, Chan!
Jalan-jalan sepi sekali, orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah. Sesampainya di depan kompleks, ternyata air sudah menggenang sampai setengah betis.
Kalau aku memaksa motornya lewat, bisa-bisa mogok!
Jadi Nino turun dari motor dan menggendong Chan di pundaknya memakai selendang. Perlahan-lahan dia menuntun motornya melewati banjir. Kakinya licin akibat lumpur, punggungnya pegal karena menahan bobon Chan. Arus air yang deras menghanyutkan sandal kirinya tapi Nino terus maju.
"Papa..." Chan berkata lirih. "Hujan..."
"Iya, Chan. Sabar, ya? Sebentar lagi sampai..."
Chan diam lagi. Dada mungilnya yang menempel dengan punggung Nino terasa masih bergerak, meski pelan.
Akhirnya mereka sampai di daerah yang tidak begitu tergenang. Nino naik ke motornya lagi dan bergegas ke rumah sakit.
Di rumah sakit, dia langsung menuju ke Unit Gawat Darurat. Ada beberapa orang yang sudah mengantre di situ, tapi Nino nekat memotong antrean.
"Mas! Antre, Mas!" Seorang satpam menegurnya. "Ambil nomor antrean dulu!"
"Pak, tolong! Ini anak saya... pingsan!"
"Anak?" Satpam itu mengernyit. Seperti orang-orang lain, dia tidak menyangka cowok semuda Nino sudah punya anak seumuran Chan. "Ini anaknya Mas?"
"Iya! Dia demam!"
Satpam itu mengangguk paham dan mengambilkan sebuah kursi roda. Nino mendudukkan Chan dengan hati-hati di atas kursi itu, tetapi Chan hanya menggelesor lemah, tak mampu duduk tegak.
"Mas daftar dulu," kata si satpam sambil menunjuk meja registrasi. "Supaya bisa cepat diurus. Sama saya saja supaya bisa didahulukan."
"Tapi anak saya..."
"Nggak apa-apa." Satpam itu menunjuk dua orang perawat yang sedang berjaga di pos perawat. "Nanti akan diawasi oleh para perawat ini dulu."
Nino mengangguk dan pergi ke meja registrasi. Berkat bantuan si satpam, dia bisa segera dilayani.
Namun proses registrasi itu sendiri berjalan sangat lambat. Petugas registrasi bertanya hal-hal sepele tentang Chan, umurnya, tanggal lahirnya, berat badannya, dan hal-hal remeh-temeh lainnya yang Nino jawab semua dengan asal-asalan. Aku hanya ingin kalian mengobati anakku!
"Oke sudah selesai. Tinggal pembayaran," kata si petugas. "Di mana pasiennya?"
Nino menyerahkan kartu debit ATM-nya. "Itu, ada di kursi roda di..."
Eh. Nino melompat berdiri. Chan ada di mana?
Kursi roda yang tadi diduduki Chan kosong.
Nino berlari menghampiri kursi roda itu. Dia bertanya kepada dua perawat yang berjaga di dekat situ. "Mbak, anak kecil yang tadi duduk di sini ke mana?"
Kedua perawat itu saling tatap keheranan. "Anak kecil yang mana, Mas?"
"Yang tadi duduk di sini! Chan! Anak saya!"
"Kursi roda ini kosong dari tadi, Mas. Ini disiapkan untuk mengangkut pasien kritis."
"Tapi, tapi..." Nino menarik si satpam. "Pak, bapak tadi lihat saya mendudukkan anak saya di kursi roda ini, kan?"
Si satpam itu berkedip-kedip, seperti orang yang baru kena sihir. "Anak siapa, Mas?"
Nino mengerang. Ada apa dengan orang-orang ini? Apa mereka berpura-pura? "Anak saya! Yang tadi saya bawa kemari! Anak kecil umur lima-"
Tiba-tiba Nino melihat jas hujan kuning milik Chan berkelebat di dekat pintu masuk.
Itu dia!
Nino berlari ke luar. Di sebelah kiri, dia melihat anak kecil dalam balutan jas hujan warna kuning sedang digendong oleh seorang wanita asing berambut panjang dan mengenakan semacam jubah berwarna biru langit. Itu Chan, tidak salah lagi! Anehnya Chan dan wanita yang membopongnya itu sudah berjarak jauh sekali dari pintu UGD, seolah terbang alih-alih berjalan.
"Hei!" Nino berteriak sekeras-kerasnya. "Mau kamu bawa ke mana anak saya?"
Wanita itu tidak menjawab. Jadi Nino berlari mengejarnya. Dia berteriak kepada orang-orang di koridor, meminta mereka untuk menghentikan wanita itu tetapi mereka semua hanya menatapnya dengan bingung. Seorang satpam lain lari menyusul Nino dan menyuruhnya untuk berhenti, tapi mana mungkin Nino membiarkan Chan pergi?
Siapa wanita itu? Nino ingin melihat wajah wanita itu, tetapi yang bisa terlihat hanyalah punggungnya. Dia menculik Chan! Ke mana dia akan membawa Chan pergi?
"Chan! Jangan pergi, Chan! Ini Papa!"
Namun Chan tidak mendengarkan. Kepalanya yang kecil bersandar di bahu wanita itu. Mereka bergerak sangat cepat, melintasi koridor-koridor rumah sakit, mendaki tangga demi tangga, dan melewati ruangan-ruangan. Nino nyaris kehabisan napas tetapi dia terus mengejar – semua terlewat begitu saja di depannya seakan-akan wanita itu telah melepaskan semua penghalang yang ada.
Rasanya Nino sudah berlari mengitari seluruh rumah sakit itu. Lututnya gemetar dan dia nyaris ambruk karena kelelahan ketika dilihatnya wanita itu berhenti. Si penculik itu membuka sebuah pintu di ujung, satu-satunya pintu. Di balik pintu itu tampaklah pemandangan langit yang mendung.
Ini... Nino mengecek sekelilingnya. Di atap?
Wanita itu melangkah keluar pintu itu.
"Tunggu!" Nino berseru. "Jangan keluar! Hujan! Chan sedang sakit!"
Wanita itu tetap tidak mendengarkan. Nino mengikutinya. Air hujan yang dingin langsung menerpa Nino dan dia hampir terpeleset saat menginjak lantai atap yang licin. Pemandangan kota yang sendu terlihat di sekeliling, tertutupi awan-awan hitam yang mencurahkan hujan.
Wanita itu naik ke tepi pagar beton pembatas. Melihatnya, Nino merasa jantungnya diremas.
"Jangan! Jangan lompat! Tolong! Kembalikan anak saya!"
Tiba-tiba wanita itu berbalik. Untuk pertama kalinya sejak Nino mengejarnya dan memintanya untuk berhenti, wanita itu mendengarkannya.
Wajahnya muram, semuram awan kelam di langit. Matanya sayu, tetapi dia tersenyum lemah pada Nino. "Terima kasih sudah menjaganya. Sudah waktunya dia pulang..."
"Pulang?" Nino mendekati wanita itu. "Pulang ke mana? Anda siapa?"
"Saya Lakshmi, abdi dari Hyang Putri Batari, dewi langit," kata wanita itu. Meski hujan turun dengan deras, suaranya sampai ke telinga Nino dengan jelas. "Hyang Batari sudah lama mencari-cari anaknya yang hilang..."
Nino terperangah. "Dewi langit? Anda bercanda, kan?"
Lakshmi menggeleng. "Hyang Batari menangis berhari-hari karena musibah ini. Putranya kabur sedang bermain-main di tepi langit. Kami mencari ke semua penjuru, tetapi tidak berhasil. Untunglah hari ini air mata Hyang Batari sudah menemukan putranya..."
"Air mata?" Nino mendongak menatap langit. Apa maksudnya... "Hujan?"
Lakshmi mengangguk. "Sekarang saya akan membawanya kembali pada ibunya."
Anak dari dewi langit? Ini semua terasa sureal bagi Nino. Semua yang telah terjadi memang tidak masuk akal. Kemunculan Chan yang misterius. Hujan yang tidak berhenti selama berbulan-bulan. Ketakutan tak beralasan Chan pada hujan. Tapi... Inikah jawabannya? Jadi Chan takut hujan karena tak ingin ditemukan ibunya?
"Tunggu!" Nino menarik baju Lakshmi. "Anda tidak bisa membawanya begitu saja! Saya Papanya! Chan sendiri yang bilang begitu! Dia anak saya!"
"Chan masih kecil, kekuatannya belum setangguh kami dewa-dewi sejati," lanjut Lakshmi, masih sama tenangnya seolah mereka hanya membahas soal makanan ringan. "Oleh karena itu dia tidak bisa berlama-lama di sini. Dia tidak sakit, tetapi melemah. Dia harus segera kembali ke tempat di mana seharusnya dia berada."
"Tidak boleh. Saya tidak mengizinkan! Anda tidak bisa-"
"Papa..."
Chan baru saja memanggil Nino. Cowok itu terhenti dan mengenggam tangan kecil Chan. "Iya, Chan. Papa di sini. Ayo kita masuk ke dalam..."
"Apa Papa masih senang?"
"Senang?" Nino terhenyak. "Apa maksud Chan?"
Chan membuka matanya sedikit. "Apa Papa senang sekarang?"
"Papa lagi cemas! Papa mikirin kamu! Papa..." Nino terhenti. Apa aku senang sekarang? Sesuatu yang kuat baru saja menohok perasaannya. Apa aku betul-betul senang? Tangan Chan yang mungil terasa hangat dalam genggaman Nino. Aku tidak senang! Aku tidak ingin berpisah dengan Chan! Anak ini telah membuat hidupku berubah. Sebelumnya terasa... datar dan membosankan. Namun setelah ada Chan, aku belajar banyak hal. Aku belajar menghadapi hidup.
Potongan-potongan memori dengan Chan berkelebat dalam benak Nino. Saat pertama kali anak itu muncul di balkon. Pelukannya yang erat di perut Nino. Napasnya yang lembut di leher Nino saat dia tertidur. Gayanya ketika menyanyikan lagu Hujan. Pipinya yang menggelembung saat dia makan. Caranya memanggil Papa meski Nino enggan dipanggil seperti itu. Tawanya yang lebar saat menyambut Nino sepulang kerja...
Sejak ada Chan, Nino tidak pernah lagi galau karena masa lalunya. Kesedihan karena patah hati yang disebabkan oleh gadis itu semasa dia SMA telah dihapuskan oleh keriangan Chan. Ketakutan Nino untuk berhubungan dengan orang lain digantikan oleh keinginannya untuk membuat Chan bahagia; enam bulan ini Nino telah bertemu lebih banyak orang dan ternyata semuanya tidak seburuk yang dia bayangkan. Kehadiran Chan membuat Nino mampu menghancurkan tembok-tembok yang Nino bangun untuk melindungi dunianya sendiri, karena takut tersakiti.
Aku bukanlah Nino yang dulu.
Air yang mengalir di pipi Nino terasa panas. "Iya, Chan... Papa... Papa senang sekali."
Kilat berpendar di langit dan sesuatu muncul di tengah udara. Bentuknya menyerupai kereta tapi tanpa kuda, dan seperti terbuat dari gulungan-gulungan awan.
"Papa..." Chan menunjuk kereta awan itu. "Ini roket Chan."
"Chan, jangan pergi!"
Lakshmi melompat ke arah kereta itu sehingga genggaman tangan Chan dan Nino terputus. Wanita itu tersenyum pada Nino dan mengangguk kecil seperti berpamitan.
Chan tersenyum lemah. "Papa harus selalu senang, ya..."
Dengan satu dorongan kecil, kereta itu bergerak ke arah langit. Nino berteriak sekuat tenaga, berseru-seru memohon agar Chan jangan pergi. Sepotong hatinya ikut bersama dengan anak itu, tetapi kereta itu tidak berhenti dan terus meluncur, lama-kelamaan ukurannya menjadi semakin kecil. Wajah Chan yang tersenyum dan menghadap Nino perlahan-lahan mengabur karena jarak yang kian terbentang itu, hingga akhirnya tidak terlihat lagi.
Dan sekonyong-konyong, hujan yang sudah turun selama enam bulan itupun berhenti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top