17. Rich Men's World

Bukan mau sombong, tetapi, aku ini berasal dari keluarga kaya raya. Aku memiliki harta yang melimpah, semua orang melihatku sebagai seorang terhormat hanya karena harta, bahkan aku bebas berjalan dengan angkuh di jalanan.

Ah, iya. Aku berdusta.

Memangnya, kalau aku memang mau sombong, kau mau apa? Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain uang, 'kan? Semua orang berpikir begitu.

Belakangan ini, manusia akan melakukan apa pun untuk uang. Pernah dengar suami yang menjual istrinya sendiri?

Atau nenek yang membunuh anggota keluarganya demi menerima uang asuransi? Semua itu berasal dari uang. Uang telah menguasai dunia, telah menguasai otak manusia.

Iya.

Aku tampan, mapan, pintar dan memiliki jiwa bisnis yang baik. Apa lagi yang kurang dariku? Aku tinggi, putih bersih. Pendidikanku? Jangan ditanya. Aku ini kelahiran tahun 2002, tetapi sudah dua kali mendapatkan gelar master di kampus.

Pada dasarnya, aku mendapatkan apa yang selalu kuinginkan. Aku ingin rumah, aku dapat rumah. Aku ingin mobil, aku dapat mobil. Aku ingin pacar---ha! Aku bisa menggaet perempuan mana pun di jalanan.

Iya, bahkan perempuan zaman sekarang semudah itu untuk mendapatkan lelaki. Modal harta dan tampan, kau bebas memilih wanitamu.

Walaupun begitu, aku ini remaja laki-laki yang gampang bosan. Kalau tidak dihabiskan untuk membuat perempuan-perempuan patah hati, yang kulakukan adalah menghabiskan uang.

Memangnya apalagi?

Oh, kenapa? Kau mengatakan kalau aku boros?

Peduliku apa. Toh, uangku tidak habis-habis. Kartu kreditku juga no limit. Sebanyak apapun kuhabiskan uangku, sebanyak apa pun kugesek kartu kreditku, rasanya nominal uangku tidak berkurang.

Orang tua, kautanya?

Kaupikir, dari mana aku mendapatkan uang begini? Mengemis? Tentu saja mereka yang memberikan. Orang tuaku memiliki perusahaan besar. Paling besar di seluruh Asia dan Eropa. Suatu saat nanti, aku akan mengambil alih perusahaan itu.

Karena aku anak mereka satu-satunya.

Mereka sibuk bekerja, saat anaknya diasuh oleh para pelayan di rumah. Pergi pagi, pulang larut. Bahkan jarang bertatap muka denganku. Satu-satunya waktu aku bertatap muka dengan mereka adalah ketika mereka bergegas pergi di pagi hari.

Orang tuaku memang orang-orang yang workaholic. Kalau ada pekerjaan, inginnya diselesaikan secepat mungkin. Masalah mereka adalah, dengan perusahaan sebesar dan se-terkenal itu, pekerjaan mereka tidak akan selesai.

Pasti banyak saingan maju lain. Pasti banyak masalah dalam memenuhi keinginan klien. Pasti banyak pekerja yang masih butuh bimbingan, dan lain sebagainya.

Secara teknis, mereka membutuhkan kinerjaku yang cerdas ini. Sayangnya, mereka memilih untuk tidak berinteraksi denganku sama sekali. Satu-satunya interaksi yang mereka lakukan adalah mentransfer uang ke rekeningku.

Menyedihkan? Ah, aku tidak tahu apa hidup bergelimpangan harta untukmu itu menyedihkan. Menurutku, hidupku ini mewah sekali. Bahkan orang-orang ingin berada di tempatku, 'kan?

Berbicara tentang aku dan hartaku. Aku ini ... bosan. Apa yang belum kudapat? Aku sudah punya rumah sendiri, mobil, motor, peliharaan eksotis bahkan pulau. Baju dan dalaman? Anggap saja aku ini seperti model wanitanya Victoria's Secret, tetapi laki-laki.

Apa yang belum kupunya?

"Deri," panggilku. Pelayan tua dengan nama Deri itu mendekat padaku yang sedang tiduran di atas sofa mahalku. Dia membungkuk sopan.

"Ada apa, Tuan Orta?" tanyanya.

"Kautahu ada apa."

Deri mengangguk mengerti. Dia mengeluarkan tabletnya dan mengutak-atik benda canggih yang bentuknya seperti talenan itu. Setelah beberapa lama, Deri mengatakan persentase pengeluaran dan pemasukanku minggu ini.

Sudah lebih dari 78 juta 833 ribu US dollar uang yang kukeluarkan. Namun, tetap saja. Uangku masih memiliki nominal yang jauh lebih besar dibandingkan pengeluaranku.

Hm, kauingin tahu jumlah uang di rekeningku?

Yakin, tidak akan terkejut?

"Barang-barang yang sudah Anda miliki yakni tujuh mobil pribadi, empat motor keluaran terbaru, enam rumah di beberapa kota berbeda dengan masing-masing jumlah perabotan sama, tiga pulau pribadi, vas yang langsung dibeli di Cina, patung Dewa Zeus ...," ujar Deri tenang yang langsung dipotong olehku.

Sambil terduduk aku berkata, "Ah. Apa tidak ada yang belum pernah kubeli? Pasti sudah semua."

Deri berdeham. "Kalau saya boleh, Anda belum pernah mengunjungi museum atau membeli sebuah lukisan."

"Museum?" Aku mengernyit. "Siapa pula yang mau pergi ke tempat membosankan macam itu? Hanya para kutu buku dan orang-orang aneh."

Deri mengangguk mengerti. "Kalau saya boleh memberikan usul, sebaiknya Anda coba saja. Tuan Orta ingin suasana baru, 'kan?"

Manik hijau emerald milikku menatap Deri yang berdiri tenang. Pelayan tua yang sudah mendampingiku selama 17 tahun dan sembilan bulan itu ada benarnya.

Walaupun tidak mau, aku berdiri dan menepukkan tangan dua kali. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu pelayan-pelayan wanitaku datang dan membawakan mantel untukku.

Mereka memakaikannya kepadaku dengan telaten, lalu pergi dari pandanganku. Deri tersenyum tipis, kemudian membuka tabletnya kembali.

"Ada museum bagus, tidak jauh dari kota," ujarnya.

***

Benar-benar membosankan.

Siapa yang rela menghabiskan waktu di tempat seperti ini? Yang perlu dilakukan hanya mengamati seni-seni tanpa arti. Siapa pun bisa menemukan seni seperti ini di toko, 'kan?

Aku mendengkus malas, menatap ogah-ogahan ke segala seni yang dipajang di ruangan. Deri hanya mengikutiku dari belakang, dengan senyuman tipis dan kumis abu-abunya.

Pada akhirnya, aku berbalik. "Aku tidak kuat!" seruku. Aneh kalau Deri tidak bisa melihat bahwa aku sangat kebosanan dan tidak berminat.

Deri hanya mengulum senyum tanpa mengatakan satu kata pun. Dia mengangguk mengerti. "Kalau begitu, apa Tuan mau mencoba pelelangan?"

"Pelelangan?" beoku. Deri mengangguk.

"Pelelangan adalah ...."

Aku memotong. "Aku tahu apa itu pelelangan. Maksudku, kenapa harus pelelangan?"

Deri melirik ke kiri, ke sebuah belokan dengan suara yang ricuh. Terdengar nominal-nominal angka dalam US dollar diserukan, lalu ketukan palu yang keras.

"Begitulah cara mereka membeli di sini," ujar Deri.

"Apa?" tanyaku. "Setahuku, mereka tidak melakukan pelelangan di museum."

"Maaf." Deri mengangguk sopan. "Saya membawa Anda ke galeri seni, bukan museum."

Ah. Pantas isinya hanya seni tanpa arti yang jelas. Aku hanya memaklumi dan berjalan ke arah ruangan ricuh itu, sampai seorang penjaga memberhentikanku.

Penjaga dengan perut buncit itu menanyakan siapa namaku. Setelah kuberitahu, pria itu langsung membuka sebuah buku kecil dari sakunya. Dia membolak-balikkan halamannya, lalu berhenti.

"Sepertinya Anda tidak terdaftar dalam acara pelelangan," ucap si Penjaga. "Mau saya daftarkan?"

Aku mengedik tak peduli. Si Penjaga terlihat kebingungan, lalu menatap Deri dengan pandangan tanya. Deri hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian si Penjaga menuliskan namaku dalam buku tersebut.

Setelah itu, dia memperbolehkanku masuk. Si Penjaga menuntun jalan kami, menunjukkan sebuah kursi kosong yang bisa kutempati.

Aku terkesima dengan suasana di ruangan ini. Ternyata, ricuh yang tadi berakhir setelah suara semacam pukulan di atas meja itu berbunyi. Ada beberapa kursi yang ditempati banyak orang berjas dan bergaun anggun.

Ada di antara mereka yang masih muda, tetapi kebanyakan sudah menua. Kebanyakan orang dalam pelelangan ini adalah wanita dengan topi-topi yang lebar dan gaun bulu elegan.

Di depan sana, beberapa baris dari arahku, ada sebuah podium kecil-kecilan dengan tirai merah; seperti panggung di teater opera. Suasananya hening sekali.

Aku suka.

Deri hanya berdiri di sampingku, tanpa pergi. Seseorang di belakang menegur bahwa dia tidak bisa melihat apa pun. Aku mengernyit, seolah itu adalah tanggung jawabku.

Kutolehkan kepalaku. "Bukan urusanku." Pria yang baru saja mengoceh itu bungkam setelah kutatap. Oh, apa aku semenawan itu sampai membuat pria jatuh hati?

Uh, menyeramkan juga kalau harus tampan.

Tangan kananku terangkat, lalu kukibas-kibaskan ke atas dan ke bawah; meminta Deri untuk sedikit membungkuk agar aku bisa berbisik kepadanya.

Deri membungkukan tubuhnya perlahan, tanpa menoleh kepadaku. "Apa yang harus kulakukan di sini?" tanyaku.

Dia melirikku lalu kembali berdiri tegap dengan kedua tangan di belakang punggung. Bersamaan dengan itu, si Penjaga datang kembali dan memberikanku sebuah papan dengan spidol.

Si Penjaga pergi begitu saja setelah memberikanku dua benda tersebut. Aku mengernyit, tidak yakin apa yang harus kulakukan dengan benda ini.

"Nanti, ada seni yang akan ditampilkan," ucap Deri. "Setelah pembawa acara berkata 'dimulai', Anda tulis angka berapa saja di atas papan itu dan acungkan."

Sebelah alisku terangkat. "Kenapa?"

"Begitulah cara membelinya. Angka tertinggi akan mendapatkan benda yang dilelang," jawab Deri tenang.

Aku menunduk. Jadi, ini hanya semacam taruhan paling tinggi. Yang paling tinggi dan tidak bisa diraih oleh orang lain, maka akan mendapatkan barang yang ditaruhkan.

Kusunggingkan senyuman tipis---lebih tepatnya, seringaian licik. Ah, uangku itu banyak sekali, bahkan mungkin tidak ada batasnya. Bagaimana orang-orang ini akan mengalahkanku, ya?

Seorang pria berjas dengan kumis tebal berwarna abu-abu naik ke atas podium. Agen lain menggiring sesuatu yang beroda, tertutup dengan kain merah. Semua orang menatap lekat benda tersebut, tetapi tentu saja tidak denganku.

"Selamat siang!" sama si Pria. "Pelelangan babak dua, akan dimulai."

"Kali ini, saya memiliki," pria tersebut membuka main merah yang menutupi benda taruhan, "lukisan autentik ini!"

Lukisan tiga kapal kuno di atas lautan dengan bingkai emas memukau mata. Memang, mungkin aku tidak tertarik dengan seni atau omong kosong yang serupa. Namun, entah kenapa, aku merasa harus memiliki lukisan itu.

Para peserta pelelangan lain ber-oh ria. Mereka mulai bising, kecuali dengan pria di belakang Deri. Dia hanya bergerak kiri-kanan karena tidak bisa melihat apa yang ditawarkan Si Pria Podium.

"Pasang nilai tertinggi, maka tuan dan nyonya sekalian akan mendapatkan lukisan karya Sir Alfard asli ini," ucap Si Pria Podium bangga.

Aku tidak bisa begitu saja memasang nilai paling tinggi, 'kan? Lagipula, aku penasaran. Orang-orang yang kelihatannya satu kasta denganku ini, berani bertaruh berapa demi lukisan perahu?

"Pelelangan dimulai!" seru Si Pria Podium.

Beberapa orang bergegas untuk menulis di atas papan mereka. Satu orang mengacungkan papannya, dengan nominal 250 US dollar.

Seorang wanita di ujung ruangan mengacungkan papannya dengan nominal lima ratus US dollar. Aku masih menyeringai sinis.

Hanya sebanyak itu uang-uang yang berani mereka keluarkan?

"Tawaran tertinggi bertahan pada Nyonya Whisker!" seru si Pria Podium.

Sebelum si Pria Podium mengatakan sesuatu, seseorang mengangkat papannya. Dengan nominal sembilan ratus tujuh puluh US dollar. Orang-orang lain yang mendengar nominal itu langsung terdiam.

Apa, jadi mereka tidak punya uang sebanyak itu?

Aku terkekeh dalam hati. Mengejek orang-orang miskin yang beraninya masuk ke pelelangan kasta atas. Tangan kananku bergerak, menulis angka di atas papan putih.

Sebelum Si Pria Podium mengatakan sesuatu, kuangkat papanku tinggi-tinggi. Deri mengangkat kedua alis kelabunya. Mungkin dia tidak menyangka aku akan ikut pelelangan juga.

"Se ...," suara si Pria Podium tercekat, "Seribu US dollar!" serunya.

Hening. Tidak ada yang menulis. Bahkan pria yang tadinya mempertaruhkan nominal tertinggi tak berkutik mendengar angka yang kutaruhkan. Memangnya seribu US dollar itu tinggi, ya, untuk mereka?

Tch. Hanya domba yang memakai bulu serigala.

"Tawaran tertinggi bertahan pada Tuan Clevorexa!" seru Si Pria Podium itu. Begitu seisi ruangan mendengar margaku, mereka menoleh serempak hanya untuk memandangiku dengan wajah takjub.

Bisikan-bisikan mulai terdengar. Seperti mereka baru saja melihatku. Padahal, aku yakin semua orang pernah melihatku secara langsung---di televisi mereka, tentu saja.

Si Pria Podium memegang palu kayu, dan mengangkatnya ke udara namun tidak dia pukulkan ke meja di depannya. "Tawaran gelombang dua, masih bertahan pada Tuan Clevorexa!"

Hening. Si Pria Podium menunggu sesuatu, tetapi sepertinya tak kunjung datang.

TAK!

TAK!

Palu tersebut dipukulkan. "Terlelang!" seru si Pria Podium. Deri berjalan ke depan dan membawa lukisan itu bersamanya. Aku hanya tersenyum sinis kepada mereka yang kalah dariku.

Sambil melenggang pergi, diam-diam aku menertawai mereka yang berani-beraninya masuk ke wilayah serigala dengan penyamaran seburuk itu.

Kalian orang miskin bisa apa melawanku?

***

Melihat ekspresi mereka yang tak bisa melawan ternyata seru juga.

Akan tetapi, setelah aku menggantung lukisan yang kudapat dari pelelangan di kamarku, aku sama sekali bingung. Aku tidak merasakan apa pun saat mendapatkannya karena lukisan itu merupakan benda paling murah yang pernah kudapatkan.

Sambil berbaring dengan kedua lengan menjadi bantal, aku menatap lukisan itu tidak berminat. Sekarang, apa yang harus kulakukan dengan lukisan itu?

Aku berdecak sebal. Agak kesal dengan diriku yang juga terbawa suasana. Hanya untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa---padahal seharusnya tak perlu---aku rela membawa pulang seni omong kosong macam itu.

Kupejamkan mataku rapat. Entah kenapa tiba-tiba terbayang wajah orang tuaku. Mereka tersenyum, tetapi seketika senyuman mereka pudar dan menghilang begitu saja.

Aku mengernyit, masih dengan mata yang terpejam, kutampar wajah tampanku. Apa yang kulihat barusan? Halusinasi, kah?

Aku tidak boleh berhalusinasi, bahkan tentang orang tua yang tak pernah bermain denganku sejak aku kecil.

Sesuatu yang basah menyentuh tubuhku. Aku mengernyit, agak sedikit jijik karena kupikir mungkin itu anjing jenis Gold Retriever milikku yang sedang menjilat-jilati pinggangku.

Akan tetapi, semakin ke sini, sesuatu yang basah itu memeluk setengah dari tubuhku. Kelereng hijau yang tadinya terpejam kini membelalak. Aku terduduk, mendapati kamarku sudah banjir.

"Apa-apaan?!" pekikku terkejut.

Aku mendongak, tetapi tidak ada lubang di atap kamarku. Kuserukan nama Deri, tetapi pelayan tua itu tidak menampakkan batang hidungnya.

Lambat laun semua perabotan di kamarku mengambang karena air semakin memenuhi kamar. Aneh sekali, seharusnya, air-air ini keluar dari celah-celah pintu, bukan?

Aku turun dari ranjang, mendekati pintu dan memutar gagang pintuku. Tidak berhasil. Terkunci begitu saja, padahal aku tidak pernah meminta Deri untuk menguncinya.

Suara air yang mengalir deras menarik perhatianku. Aku menoleh ke sumber suara, mendapati lukisan perahu di atas lautan itu mengeluarkan air layaknya air terjun.

Tersentak, aku mundur perlahan. Aku mengerjap cepat, lalu menatap tanganku yang berlumuran air yang keluar dari lukisan tersebut. Kudekatkan tangan itu, kemudian kujilat.

Asin.

Ini air laut.

"Gila! Deri, buka pintu! Lukisan ini terkutuk!" seruku seraya menggedor-gedor pintu.

Tidak ada sahutan.

Aku berdecak, lalu berjalan dengan arus air yang berlawanan denganku. Arus itu terbilang kuat sekali, benar-benar seperti arus laut sungguhan. Bau amis mulai menyeruak, seperti bau ikan.

Iseng, aku menunduk, mendapati ikan badut berenang-renang memutari pinggang yang sudah tenggelam setengah dalam air.

Kutarik napas dalam-dalam kemudian mencubit diriku sendiri. Setelah merintih kesakitan, baru lah aku percaya ini bukan mimpi. Lukisan itu benar-benar terkutuk.

Aku harus membuang lukisan itu.

Sedikit lagi aku bisa meraihnya. Semakin dekat, arus air itu semakin kencang. Air yang membanjiri kamarku juga semakin tinggi, sekarang saja sudah sampai dada. Beberapa perabotan mengambang, kadang membenturku tetapi aku tidak peduli.

Lukisan ini harus kubuang.

"Dapat!" seruku seraya memegang bingkai emas lukisan tersebut. Aku mengerjap, mendapati sesuatu yang aneh.

Air yang keluar dari lukisan tersebut terlihat nyata. Kapal yang tadinya diam di tempat jadi berlalu-lalang, bahkan samar-samar mendengar suara burung dari arah lukisan.

Hal gila macam apa lagi ini?!

Saat kucoba untuk menarik lukisan itu, rasanya berat sekali. Seakan menempel pada dinding kamarku yang kokoh, aku bahkan tidak bisa menariknya.

Banjir itu sampai juga di daguku. Aku mengerjap, merasa aneh. Entah karena dorongan apa, aku ingin mencoba meraba kanvasnya.

Saat hendak kuraba, bukan kanvas yang kurasakan, malah sesuatu yang menarikku masuk ke arah lukisan. Aku yang panik dan ditenggelamkan oleh lukisan mencoba untuk memberontak, tetapi tenaganya kuat sekali.

Terakhir, yang kuingat adalah celana dalamku yang melayang hampir hinggap di wajah.

Kemudian semuanya menjadi putih.

Sialan, jangan-jangan lukisan ini dibuat oleh malaikat pencabut nyawa?

***

Sesuatu menggoyang-goyangkan tubuhku. Tenaganya lumayan kuat, sehingga membangunkanku. Kepalaku pening, bajuku basah. Bau amis menyeruak, menusuk hidungku.

Aku mengernyit karena bau amis ikan. Telingaku menangkap suara ombak membentur permukaan, juga bau laut dengan ciri khasnya. Kukerjapkan manik mata; memperjelas pandangan.

Tubuhku tersentak ke belakang. Sesuatu menatapku cemas dengan manik mata merah muda menyalanya. Sebagian dari wajahnya bersisik ungu---seperti ikan. Surai merah muda yang dikuncir itu melambai-lambai diterpa angin laut.

Bajunya ketat, mirip dengan baju Alice dari film Resident Evil, hanya saja berwarna magenta. Tangan dengan kuku-kuku runcing itu mencoba untuk meraihku, tetapi kutepis kuat-kuat.

Apa ... itu?

Punggung tangannya dipenuhi dengan sisik ungu, sedangkan telapak tangannya tidak demikian. Sesuatu itu menatapku terkejut. Dia tersenyum canggung, memamerkan taringnya yang tajam.

Aku tambah mundur. Makhluk apa yang sedang kulihat?

Kusapu pandang sekelilingku. Lantai yang terbuat dari kayu, tiang besar tak jauh dari sesuatu bersisik ungu di depanku, layar kain di atas, dan air laut yang sesekali menyiprat ke lantai.

Ini ... kapal?

Ini kapal bajak laut?

Sial. Aku pasti bermimpi.

Kutampar diriku sendiri, membuat makhluk bersisik ungu itu mengerjap terkejut. Sakit. Ini bukan mimpi, artinya makhluk di depanku itu sungguhan. Artinya kapal bajak laut ini sungguhan.

Ingatan terakhirku adalah, aku hampir saja tenggelam di dalam kamarku sendiri. Lalu, aku tertarik ke dalam lukisan yang niatnya kubuang. Lukisan itu ... mengeluarkan air laut di dalamnya.

Aku harus senang karena lukisan itu bukan buatan malaikat maut, atau harus panik karena terhisap ke dalamnya?

"Hei, kenapa?"

Aku membelalak. "Kau bisa bicara?!"

Makhluk itu terlihat sebal. "Tentu saja aku bisa bicara. Menurutmu aku ini apa, semacam monster laut?" tanyanya. Dalam hati, tentu saja aku mengiyakan. Rupanya buruk sekali, namun aku tak bisa memalingkan wajah.

"Kau itu ... apa?" tanyaku. "Duyung?"

Makhluk itu kembali cemberut. "Apa duyung punya kaki seperti ini?" tanya makhluk tersebut seraya menunjukkan kaki panjangnya padaku.

"Lalu, kau ini apa?"

"Putri Atlantis," jawabnya. Aku ingin tertawa, sungguh, hanya saja dari penampilannya dia terlihat benar-benar berasal dari bawah laut.

Aku menggeleng cepat lalu berdiri, memandang langit biru dengan awan putih yang indah. Burung-burung camar terbang di atas kepala, sesekali mengeluarkan suara.

Ombak laut yang menghantam badan kapan mengeluarkan suara air, lalu menyipeat ke dek. Setir kapal di depan sana, bentuknya sama seperti yang muncul di film-film bajak laut.

"Baiklah." Aku menghembuskan seraya menatap Putri Atlantis itu. "Berapa uang yang kau butuhkan untuk membawaku kembali?"

Dia berdiri lalu mengernyit. "Apa itu, uang?"

Kedua alisku terangkat. Aku mengerjap tidak percaya, bahwa ada makhluk di dunia yang tidak tahu apa itu uang. Aneh sekali, seharusnya semua makhluk tahu apa itu uang.

Uang adalah, secara dasar, jiwa semua makhluk hidup. Kalau tidak ada uang, tidak bisa hidup. Kalau tidak ada uang, tidak bisa bahagia.

Akan tetapi Putri Atlantis di depanku ini, hanya memasang wajah linglung yang tidak dibuat-buat; dia benar-benar tidak tahu apa itu uang. Aku mendengkus lalu memutar bola mataku.

Kusilangkan kedua tangan di depan dada. "Tidak ada orang yang tidak tahu uang. Beritahu saja berapa, aku bisa memberikannya untukmu."

"Hm. Aku bukan orang, maaf," ucapnya. Dia berbalik, berjalan lurus. Kelihatannya, Putri Atlantis akan mengemudi sekarang juga.

Yang bisa kulakukan sekarang hanya membuntutinya. Benar saja. Dia meraih kumudi kapal dan memegangnya erat. Tak sekalipun matanya melirik ke arahku, padahal aku yakin dia betina. Soalnya punya buah dada.

"Omong-omong, kau tiba-tiba jatuh dari langit," ujar Putri Atlantis. "Utusan dewa untuk membawaku pulang?"

Aku mengernyit. "Tidak! Aku baru saja dihisap sebuah lukisan terkutuk. Sekarang, aku ada di dalamnya, denganmu, di atas salah satu kapal dalam lukisan dan tidak tahu caranya kembali."

Setelah sadar aku tiba-tiba bercerita begitu saja kepada makhluk asing, kututup mulutku dengan tangan kanan. Putri Atlantis kini mengerjap kepadaku, lalu mengisyaratkan agar aku mengikutinya.

Dia membawaku ke depan pintu kayu tak jauh dari kemudi kapal, hanya perlu menuruni anak tangga. Dia mendorong pintu itu dan menyuruhku masuk.

Ruangan di dalamnya menyuguhkan pemandangan mewah. Dengan nuansa kamar kerajaan, disertakan dengan cahaya redup dari lilin yang hampir habis, ruangan ini membuatku terharu.

Ternyata, ada yang seperti ini juga di kapal bajak laut.

Aku berputar 360 derajat. Ada satu meja lebar di depan jendela samping ranjang dengan seprai putih dibalut selimut merah, ada pula lemari dan nakas. Semuanya ditata rapi.

Ruangan ini kurang-lebih sama dengan kamar yang kumiliki. Namun, bila aku sempat menebak, aku pasti tidak akan bermalam di sini. Kalau iya tidak kembali, aku pasti tidur di luar, 'kan?

Putri Mahkota mendekati meja di depan jendela. Dia memintaku untuk berdiri di sampingnya, lalu mengambil sebuah gulungan kertas dan membukanya.

Tidak bisa dipercaya.

Nampak gambar sebuah lukisan tiga perahu di atas laut sedang berlayar, dengan bingkai berwarna emas. Lukisan yang sama yang kumiliki di rumah.

Lukisan yang sama yang membawaku kemari. Kudapati sebuah judul di sudut kiri atas gulungan tersebut, kemudian aku membacanya. Terbaca portal di sana.

"Apa ini?" tanyaku.

"Kau mendeskripsikan portal," jawab Putri Atlantis setelah menggulung kertas itu kembali. "Dewa ingin mengubahmu menjadi orang yang lebih baik."

Mataku mengerjap. Tentu, aku diam sejenak. Namun pada akhirnya, tawaku meledak. Putri Atlantis itu menatapku jengkel seraya berkacak pinggang.

"Orang yang lebih baik? Aku ini baik!" seruku. "Memiliki harta melimpah itu hal paling baik yang pernah terjadi kepada seorang manusia."

Putri Atlantis mengangkat sebelah alisnya. "Yakin?" Dia melenggang pergi. Meninggalkan aku dan mulut yang terkatup rapat.

Apa-apaan, itu, kenapa aku tidak bisa mengatakan sesuatu? Jelas-jelas aku ini yakin, tetapi kenapa ... aku ragu?

Aku menggeleng, kali ini lebih kuat. Kemudian keluar dari ruangan itu. Kunaiki tangga menuju kemudi kapal, mendapati Putri Atlantis ada di sana. Dia sedang melihat sesuatu menggunkana teropong.

Putri Atlantis melirikku sejenak, lalu kembali lagi dengan teropongnya. "Kau tidak akan bisa kembali."

Mataku membebelalak. "Apa?!"

"Dari mana pun asalmu, kau tidak akan bisa kembali," ulang Putri Atlantis.

"Tapi, kenapa?! Putri Atlantis, aku ...."

Dia memotong. "Ugh. Jangan panggil aku seperti itu. Namaku Nora."

"Tidak penting! Yang penting sekarang, kenapa aku tidak bisa kembali?!" Untuk pertama kalinya aku merasa panik. Bayangan kamar yang terakhir kali kukunjungi melintas.

Bayangan Deri yang berdiri sopan dengan mata terpejam sedang berbicara padaku melintas sejenak. Apa pelayan tuaku tahu kalau hilang di sini? Apa dia tahu, lukisan itu terkutuk dan sengaja membiarkanku memilikinya?

Aku tertunduk dalam. "Aku ... ingin pulang."

Nora mendelik. "Sudah kubilang kau tidak akan bisa kembali."

Dengan lemas aku mendekati tepian. Kupandangi permukaan air laut yang menampakkan diriku. Rambutku masih basah karena hampir tenggelam di kamar.

Wajahku yang tampan itu ... kusut sekali. Perlahan tapi pasti, bayanganku berubah menjadi Ayah. Aku mundur, tetapi kemudian kembali melihatnya lagi.

Bukan. Itu aku.

Baru kusadari bahwa selama ini, aku mirip dengan Ayah. Hanya dengan bercermin di permukaan air laut.

Bayangan ibuku terlintas begitu saja. Dengan enaknya tersenyum dan tertawa. Apakah ini yang mereka inginkan; aku di antah berantah begini?

Kuembuskan napas berat. Mulai memercayai kata-kata Nora bahwa aku tidak bisa kembali ke rumah. Bagaimana dengan nasib harta-hartaku?

Bagaimana dengan uangku?

Bagaimana dengan rumahku?

Bagaimana dengan mobil-mobilku?

Apakah Deri tahu kalau lukisan itu terkutuk, sengaja membiarkanku menggantungnya di kamar agar bisa mengambil alih semua hartaku?

Ah. Memang, ya. Manusia itu semuanya hanya bisa iri saja, lagipula, siapa juga yang tidak mau hartaku?

Suara cekikikan tertangkap gendang telingaku. Aku berbalik, menatap Nora yang sedang terkekeh entah kenapa. Keningku mengerut, heran. "Kenapa?"

Nora mengedik. "Wajahmu langsung putus asa begitu."

"Tentu saja. Lagipula kau bilang aku tidak bisa kembali."

"Hm. Sudah merindukan keluargamu, ya?"

Kali ini, aku yang tertawa. "Tidak."

Nora berhenti bermain dengan teropongnya lalu beralih padaku. Pandangannya sulit untuk kujelaskan, namun kelihatannya dia tidak terlalu percaya apa yang sudah didengar.

Akan tetapi, itu benar. Untuk apa merindukan keluarga? Dari awal ....

Aku tidak punya.

"Yang kurindukan hanya uangku," ujarku. Aku merasa harus mengatakan sesuatu, apapun itu. Nora mengerjap, kelihatan tidak paham.

Dia berkacak pinggang. "Uang itu, keluarga?"

"Lebih baik dari keluarga," timpalku dengan senyuman tipis. "Uang itu hartamu."

"Oh." Dia menatapku malas. "Di sini, kami memakai koin."

"Koin itu uang," ucapku. "Sama saja."

"Maaf. Kami tidak pernah memanggil koin dengan sebutan uang. Lagipula tidak penting juga."

Aku kembali mengernyit. "Apa maksudmu, tidak penting?"

"Maksudku, tidak penting."

Aku hanya terdiam. Kemudian terbahak. "Uang itu bisa memberikanmu segalanya."

"Uang tidak bisa membeli kebahagiaan."

"Bisa, kalau uangmu cukup banyak."

Dia menoleh lagi. "Uangmu banyak?"

Oh, mulai tertarik? Aku mengangguk bangga. Yakin, bahwa sekarang dia pasti ingin meminta beberapa lembar. Namun, sayang sekali aku tidak membawa uang tunai. Lagipula, mana kutahu aku akan terjebak di sini?

"Kau bahagia?" tanyanya. Aku mengangguk pelan.

"Tentu saja aku ...," tidak, tunggu. Ada sesuatu yang menjalar di dadaku, "... bahagia."

Aku merasakan sesuatu yang aneh. Dadaku rasanya sakit, tetapi tidak sesakit itu. Rasanya seperti ada yang mengganjal di sana, membuat dadaku terasa berat.

Nora tersenyum tipis dengan tatapan sayu. Makhluk bau amis ikan yang mengaku putri dari kota Atlantis yang dikabarkan sudah lama hilang itu mengangguk sopan lalu kembali dengan teropongnya.

Kalau diingat-ingat, walaupun uangku melimpah, aku selalu merasa bosan. Aku selalu membeli sesuatu yang mahal dan baru, tidak peduli dengan uangku. Namun, tetap merasa bosan.

Sesuatu yang membuat dadaku berat itu kini menjalar ke tenggorokan. Tenggorokanku tercekat, entah kenapa. Aku mengerjap, tidak paham dengan apa yang kurasakan.

Kalau bukan bahagia, lalu apa?

***

Langit malam terlihat indah. Obor dipasang di beberapa sudut kapal, menerangi kami. Cahaya rembulan menyapu permukaan laut, memberikan pantulan yang indah.

Belum pernah aku melihat pemandangan seperti ini. Menawan dan tenang, membuat dadaku yang semula berat menjadi ringan. Nora berjalan di belakangku, lalu berdiri di samping.

Dia ikut menatap hamparan laut yang kini tenang, dengan pantulan cahaya rembulan yang indah. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, kemudian menghela napas berat.

"Aku merindukan Atlantis," ucapnya tiba-tiba. Dia menoleh seraya berkata, "Boleh aku bercerita denganmu?"

Ah. Aku ini bukan tipe pendengar yang baik, karena aku tidak pernah mendengarkan orang sebelumnya. Toh, mereka tidak penting juga. Namun, karena tidak memiliki apapun untuk dilakukan, aku mengangguk.

Senyumannya melebar beberapa senti, lalu kembali menatap hamparan laut. "Aku kabur dari rumah." Dia mulai cerita.

Aku hanya diam, mendengarkan. Seperti ini, 'kan, caranya mendengarkan orang?

"Kini, aku menyesalinya," lanjutnya. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan Ibu dan Ayah."

Aku tetap diam. Hanya mendengarkan ceritanya. Senyumannya yang semula terlukiskan di sana kini memudar. "Setiap hari, aku mengarungi lautan tanpa henti, berharap agar bisa kembali."

Dia menghela napas pelan. "Namun, aku tidak tahu jalan pulang." Dia kembali tersenyum. "Tidak ingat jalan pulang."

"Satu-satunya harapanku adalah, jika aku menemukan Segitiga Bermuda, aku bisa kembali."

Sekarang, aku tergoda untuk berbicara. "Kau gila? Jika kamu masuk ke sana, kau akan tenggelam."

Dia mengernyit. "Siapa yang bilang begitu? Segitiga Bermuda adalah satu-satunya portal yang langsung menuju Atlantis. Sayangnya, aku tidak pernah menemukannya."

Aku terdiam. Mendengar kata portal, pikiranku berputar kepada lukisan itu. Gulungan kertas yang diperlihatkan oleh Nora mengatakan bahwa lukisan tersebut adalah portal.

Aku ingin bertanya. Hanya saja, dia sedang bercerita. Aku pernah melihat di film, kalau ada orang yang sedang menceritakan kisahnya, tidak boleh menanyakan sesuatu yang keluar dari topik itu.

Dia menoleh. "Kau juga pasti merindukan keluargamu."

Aku mengernyit, lalu membuang muka. "Aku tidak pernah dan tidak akan merindukan mereka."

"Kenapa?" tanya Nora. Aku mengedik. Siapa pula yang mau merindukan mereka? Mereka bahkan jarang muncul di hidupku, sampai aku beberapa kali lupa kalau mereka hidup.

"Mereka ...," kutelan salivaku lamat-lamat, "tidak peduli padaku."

"Wow, oke," ucapnya. "Tidak ada keluarga yang tak peduli satu sama lain. Kenapa kau sampai berpikiran seperti itu?"

"Apanya yang berpikiran seperti itu? Mereka memang seperti itu. Orang tuaku bahkan jarang muncul di kehidupanku."

"Uangmu," ucap Nora. Membuatku menoleh padanya uang sedang menatapku dengan tatapan prihatin. "Kau dapat dari mana uangmu?" lanjutnya.

Aku mengerjap. "Tentu saja dari orang tuaku. Mereka mentransfer sebulan sekali."

"Aku ... tidak tahu apa itu te-ransfer. Tapi, kalau mereka tetap memberikanmu uang, berarti mereka sebetulnya memikirkanmu."

"Hah? Tidak mungkin. Yang mereka lakukan hanya bekerja dan bekerja." Entah kenapa dadaku kembali berat. Sesuatu yang membuat dadaku berat itu menjalar ke punggung.

"Mereka tidak akan memberikanmu uang kalau tidak peduli padamu," imbuh Nora. Kedua alisku terangkat, mengingat saat-saat di mana Deri memberitahu bahwa orangtuaku menelepon.

Aku selalu menolak panggilan masuk dari mereka. Karena, toh, tidak penting. Mereka tidak pernah muncul di hadapanku, mau membicarakan apa lewat telepon?

Selalu kutolak, lama-kelamaan jumlah panggilan yang masuk berkurang dan akhirnya tidak ada sama sekali. Sesuatu yang menjalar ke punggung itu kini menjalar ke tenggorokan, mencekatnya lagi.

Apa yang sebenarnya mereka coba?

Aku mendengkus. "Satu-satunya yang selalu ada untukku hanya pelayan tuaku saja."

Nora mengangguk. "Dia juga bagian dari keluargamu. Kau tidak merindukannya?"

Terdiam.

Bayangan Deri yang selalu membangunkanku dengan sopan di pagi hari terlintas. Deri yang selalu menyiapkan baju dan segala yang kubutuhkan, sampai Deri yang berdiri lama di sampingku yang tertidur di sofa.

Kalau diingat-ingat, pria tua itu selalu berdiri kalau bersama denganku. Padahal, aku tahu pria setua itu tidak seharusnya berdiri terlalu lama. Bukankah pinggangnya akan sakit?

Kalau diingat lebih jauh, Deri adalah orang yang menemaniku sejak usiaku dua tahun. Sejak aku kecil, dia selalu ada untukku. Selalu membangunkanku, menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian dan menemaniku bermain.

Deri memberikan sesuatu yang tidak bisa orang tuaku berikan. Deri merupakan sosok seorang ayah yang tidak pernah kumiliki.

Kurasakan mataku memanas. Aku mengernyit, bingung dengan keadaan tubuhku sekarang. Kalau saja ada Deri, aku pasti bisa langsung bertanya kepadanya.

Akan tetapi, tidak. Aku tidak bersama Deri.

Pandanganku mengabur, lalu sesuatu mengalir dari pelupuk mataku. Kuraba sesuatu itu, basah. Aku ... menangis?

"Wah," ucap Nora. "Kau menangis."

Cepat-cepat kuhapus air mata itu. "Apa yang kaulakukan padaku?"

"Apanya?"

"Kau membuatku mengeluarkan air mata."

Nora mengedik. "Bukan aku. Itu hanya kau yang merindukan pelayanmu."

Merindukan Deri?

"Hei," panggil Nora. "Mau lihat keadaan pelayanmu?" tanyanya.

Aku mengernyit. "Bagaimana caranya?"

"Aku semacam memiliki kekuatan untuk itu," ucapnya. Dia memintaku untuk diam, lalu menyentuh dahiku pelan.

Seketika, aku melihat Deri yang sedang mengerutkan dahinya. Dia mondar-mandir di dapur, sesekali menggigit ibu jarinya. Telepon genggamnya dia gunakan, menelepon seseorang.

Cemas benar-benar terlukis di wajahnya yang keriput. Dia memijat pangkal hidungnya lalu berbicara kepada seseorang di seberang telepon.

"Tuan Orta menghilang," ucapnya. "Dia menghilang. Padahal tadi ada di kamarnya."

Pandangan itu menghilang. Aku kembali berada di atas perahu, menatap Nora yang tersenyum tipis kepadaku. "Apa yang kaulihat?" tanyanya.

"Pelayanku ... cemas karena aku hilang."

Nora mengangguk. "Lihat, 'kan? Keluargamu khawatir karena kau hilang. Kau juga seharusnya panik karena tidak bisa kembali kepadanya, bukan kepada uangmu."

Manik mataku kembali memanas. "Lalu, bagaimana caranya agar aku bisa kembali?"

Nora mengerjap. Senyumnya memudar, dia menatapku dengan tatapan sendu. "Maaf. Aku sudah bilang, kau tidak akan pernah bisa kembali."

"Kenapa?" tanyaku. Suaraku berubah parau, entah karena apa. Dia mengedik.

"Portal yang kaudapatkan itu menghisap orang-orang yang memiliki sifat fana," jawab Nora. "Mereka lebih memikirkan uang dibanding keluarga."

Dia menoleh. "Kau terjebak di sini karena awalnya, kau hanya memikirkan uangmu."

"Kalau begitu, kalau aku berubah, aku bisa kembali?" tanyaku. Kalau memang benar, maka berubah menjadi lebih baik adalah harapanku satu-satunya.

Nora menggeleng. "Yang sudah-sudah juga begitu. Mereka berubah dalam waktu singkat, tapi tidak pernah berhasil kembali."

"Tidak ada jalan keluar," imbuhnya.

Aku mengernyit. "Ada ... manusia lain ...?" tanyaku ragu. Nora mengangguk.

"Mana mereka?" tanyaku sekali lagi. Nora menatapku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan---untuk kesekian kalinya.

Dia menggeleng. "Mereka putus asa, akhirnya menenggelamkan diri."

"Di sini?"

Nora kembali menggeleng. "Aku pernah melihat mereka di kapal lain. Beberapa bahkan dibunuh oleh bajak laut."

"Benar-benar tidak ada jalan kembali?" tanyaku. Air mata mulai mengalir dari pelupuk, membuat pipiku basah.

Untuk kali pertamanya, aku merasa tidak berdaya untuk melakukan sesuatu. Bahkan mungkin, walau uangku ada di sini, hal semacam itu tidak bisa mengubah apapun.

Nora menggeleng. "Maafkan aku."

Ah.

Kenyataan bahwa aku terjebak dalam lukisan untuk selamanya, dan tidak bisa kembali membuatku terisak. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar ingin bertemu dengan Deri.

Pelayan tuaku itu, selalu menemaniku walaupun aku bermasalah. Dia menemaniku bermain bola saat aku masih kecil, menemaniku menonton acara televisi dan bercerita.

Tidak pernah sekali pun Deri meninggalkanku. Bahkan kalau diingat-ingat, saat aku sakit, dia tidak tidur sama sekali.

Selama ini, yang kupikirkan hanya uang saat benda tersebut tidak bisa melakukan apa pun. Selama ini, yang kupedulikan hanya uang tanpa melirik orang yang benar-benar memikirkanku.

Tangisanku tidak bisa berhenti. Nora menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkan. Aku malah menangis sejadi-jadinya.

Kenyataan bahwa aku tidak akan pernah bisa kembali, membuat tangisanku tidak bisa berhenti. Apa seperti ini rasanya sakit? Seperti ini rasanya sedih?

Seperti ini rasanya ... menyesal?

Sial. Ternyata selama ini, aku benar-benar berengsek. Kalau jadi Deri, belum tentu aku kuat dengan diriku sendiri. Namun, pria tua itu bahkan tidak pernah meninggalkanku.

Bahkan sekarang dia sedang cemas mencariku, yang tidak akan pernah kembali lagi.

Kenapa penyesalan itu harus datang di akhir, sih?

***

5155 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top