R-R36: Pantai Menjadi Saksi
KEHENINGAN terjalin di antara ketiga perempuan itu. Setelah semua yang terjadi dua tahun lalu, Retta ceritakan. Mendadak kebisuan tak dapat dihindarkan. Linzy tak berkomentar, begitupun dengan Shena. Dua perempuan itu mengatup bibirnya rapat.
Retta tersenyum pada Shena dan Linzy. "Sekarang lo berdua ngerti kan kenapa gue lebih milih ninggalin Regha?"
Tangan Retta saling bertaut, dan kepalanya menunduk. Air mata yang tak diinginkan runtuh sudah, mengaliri pipi pucatnya. "Dia nganggep gue cuma permainan... Regha gak tulus sama gue."
***
Pagi harinya, kegelapan masih mendominasi. Matahari masih belum menampakkkan diri. Tapi para angkatan kelas sebelas sudah rapi dengan pakaian pantai. Hari ketiga mereka di Bali, kunjungan mereka ke Pantai Sanur untuk melihat sunrise.
Pantai sanur sudah tak diragukan lagi tempatnya. Siapapun yang ingin melihat matahari terbit dengan panaroma yang indah memang diwajibkan untuk ke sana.
Jaket cokelat yang memeluk tubuh Retta dari angin yang berhembus di Pantai Sanur dieratkan olehnya. Iris cokelat menatap tak minat langit gelap sebelum sang mentari bergerak naik dan menebarkan warna jingga. Satu menit berlalu, sang mentari pun sudah menduduki singgasananya.
Napas Retta berhembus perlahan. Pantai. Satu kata yang selalu Retta hindari selama dua tahun lamanya. Satu kata yang dulu sangat disukainya. Namun, semua itu berubah sejak dia mendengar pembicaraan Regha bersama kedua temannya.
Retta diam, tapi tanpa sadar bulir bening itu runtuh dari pelupuk. Dan dengan cepat tangan Retta bergerak untuk menghapus.
Kesunyiaan semakin melingkupinya, saat Retta sadar dari sudut matanya, dia melihat Regha yang berdiri di sampingnya.
"Maaf," kata-kata itu meluncur dari bibir Regha. Retta tak ingin menjawab, tangannya menggenggam erat dress pantai yang dia kenakan. "Gue minta maaf karena gue nonjok Ragel kemarin."
Tapi karena tak terdengar respon, Regha lantas menoleh menatap perempuan yang berdiri kaku di sampingnya. Rambut cokelat yang tergerai bergerak seiring angin pantai yang berhembus.
"Seharusnya lo minta maaf ke Ragel, Gha," Retta bergumam pelan. "Bukan ke gue."
"Gue tau, nggak seharusnya gue ngelakuin itu ke Ragel," ucap Regha lirih. "Tapi emosi gue udah di luar kendali. Gue nggak bisa ngeliat lo sama dia."
Kepala Retta kontan menatap manik hitam Regha yang berubah sendu, kaki Retta terasa kaku dan bibirnya pun terkatup bisu. Untuk beberapa saat hanya ada hening yang memeluk. Hingga akhirnya Retta membuka suara.
"Harus berapa kali gue bilang, Gha. Di antara kita udah nggak ada hubungan apapun. Jadi gue harap lo nggak ikut campur urusan gue." Seiring dengan kata-kata yang keluar, jemari Retta semakin kuat mengenggam dress-nya.
"Gue udah berusaha, Ta, untuk nggak ikut campur dengan urusan lo!" sentak Regha emosi. "Tapi gue nggak bisa." Regha berujar pelan sambil mengacak rambutnya frustasi. "Gue masih sayang sama lo. I'm still love you."
Jantung Retta bergemuruh hebat seusai kata-kata yang Regha ucapkan. Bibirnya tergigit, menahan desakkan air mata bodoh yang ingin keluar. Karena tidak ingin Regha melihat dirinya yang lemah, Retta hendak pergi. Jika saja Regha tak cepat tanggap, mencekal lengannya.
Memegang bahu Retta, Regha memutar tubuh gadis itu untuk menatapnya. Kristal bening itu sudah bergulir di pipinya. Tangan Regha bergerak menghapus air mata itu. Detik berikutnya, Retta tak pernah duga terjadi, Regha memeluknya, memeluk di depan semua anak-anak angkatan mereka.
"Gue cuma mau kayak gini, sebentar aja, Ta," pinta Regha dengan nada pelan. Pelukan itu semakin erat, membuat Retta meruntuhkan kembali bulir bening itu.
Dari jauh, Ragel memperhatikan mereka berdua. Uraian air mata Retta dan tatapan penyesalan Regha. Ragel hanya berdiri terpaku menatap pemandangan Regha yang memeluk Retta.
Di sini, Ragel hanya diam melihat perempuan yang dicintainya dengan lelaki lain. Dirinya tidak bisa melakukan apapun karena status hubungannya dengan Retta hanya sebatas teman. Meski Ragel menganggap Retta lebih dari itu. Sejak kemarin mendapat pukulan telak dari Regha, Ragel tahu ada sesuatu di antara mereka.
Sesuatu hal yang belum terselesaikan.
***
Pukul sembilan waktu Bali, setelah balik dari pantai Sanur. Anak-anak bebas untuk melakukan apapun, bahkan mereka boleh bermain-main di Pantai Kuta karena kebetulan hotel yang mereka booking berada di wilayah itu.
Tangan Retta ditarik Linzy berjalan di atas pasir. Sejak tadi Retta menolak untuk ke sini. Dia hanya ingin berada di kamar resort-nya. Namun, Linzy tak acuh. Dia menulikkan kedua telinganya, menolak semua permohonan Retta.
Ke Pantai ini. Pantai Kuta.
Retta menatap jejak kakinya yang tercetak di pasir. Entah kenapa, Retta merasa de javu.
Linzy berhenti berlari, Retta pun. Perlahan Retta mendongakkan kepalanya, Linzy langsung berjalan mendekati air laut, meninggalkan Retta yang termenung.
Jantung Retta seolah berhenti berdetak melihat pemandangan di depannya. Kakinya terpaku untuk bergerak. Debur ombak yang menghantam batu karang. Turis-turis yang berlalu lalang di depannya. Matahari yang tersenyum dengan semangat mengeluarkan sinar kebahagiannya. Napas Retta sempat tertahan sebelum keluar dengan ritme cepat seolah Retta baru saja berlari jarak jauh. Gema jantungnya semakin berdetak liar.
Keringat dingin bercucuran di dahi Retta. Tubuhnya terasa kaku untu bergerak sedikitpun. Pemandangan di depannya masih sama, masih seperti dua tahun lalu. Retta merasa seperti terbawa mesin waktu, dan terhempas pada kejadian itu.
Kejadian saat Regha mengatakan kata-kata yang menyakiti Retta.
Netra cokelatnya masih berputar ke sekeliling. Burung-burung yang berterbangan di atas laut. Ombak yang bergerak maju. Retta masih bisa melihat itu semua, sebelum kepalanya mendadak pening. Dan kegelapan merenggut kesadarannya.
Namun, sebelum benar-benar hilang kesadaran, Retta merasa ada yang menangkapnya, dan bergumam. "I got you."
***
Iris hitam Regha termenung menatap Retta yang berbaring di kamar resort.
Regha bergerak cepat ketika melihat tubuh Retta yang linglung tadi. Tanpa peduli pada Farah yang tengah mengobrol dengannya. Regha tahu Farah kebingungan melihatnya. Namun, Regha tak acuh. Dia juga tak peduli pada pandangan orang-orang yang tertegun memperhatikannya. Dia menggotong tubuh tak sadar Retta menuju kamar resort-nya.
Menggeser kursi mendekati ranjang Retta, Regha lalu mendudukinya. Menggenggam tangan perempuan itu. Perhatian teman sekelas Retta terfokus pada Regha. Termasuk Ragel yang berdiri di sebelah Regha. Raut heran tercetak di wajah mereka.
Regha cowok yang selalu digandrungi para perempuan di sekolah. Cowok yang selalu bersikap baik pada para perempuan, walaupun begitu, Regha masih mendirikan dinding pembatas untuk siapapun yang ingin mendekatinya. Dan hari ini, mereka seperti melihat Regha merubuhkan dinding tersebut—namun, itu hanya untuk Retta. Raut wajah Regha yang bercampur antara cemas dan penuh perhatian.
Farah tercenung menatap Regha. Dan rasa sesak itu pun menghampirinya, karena tidak ingin terlalu lama melihat hal yang menyakitinya. Farah berlalu pergi keluar.
Satu-persatu teman kelas Retta pergi meninggalkan Retta. Bu Santi—wali kelas Retta berpesan pada Linzy dan Shena untuk menjaga sahabatnya itu. Dua perempuan itu pun mengangguk mendengar perintah Bu Santi.
Semuanya pun pergi, menyisakan Regha, Ragel, Linzy serta Shena.
"Gue nggak tahu lo punya hubungan apa sama Retta. Tapi..."
Regha mendongak menatap Ragel yang sedang menoleh padanya. Dan dengan cepat Regha memotong ucapan Ragel yang belum selesai.
"Kalo ini menyangkut kejadian kemarin. Gue minta maaf sama lo," ucap Regha terdengar datar.
Ragel tersenyum tipis. "Iya, karena kejadian kemarin gue paham. Ada sesuatu antara lo sama Retta."
"Itu nggak ada urusannya sama lo." Regha berpaling menatap kelopak mata Retta yang terpejam.
"Gue tau," Ragel tertawa pelan. "Karena itu juga lo gak bisa ngelarang gue deket sama Retta. Itu bukan urusan lo."
Regha tersentak dan kembali menoleh pada Ragel. Dan lelaki itu sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan amarah Regha.
Ragel berdiri santai dengan dua tangan masuk ke saku celana. Senyum pun terukir di bibirnya. "Gue sayang sama dia."
Kata-kata itu keluar dengan mudah. Regha terbelalak tak percaya. Sementara Linzy dan Shena hanya diam tak berkutik melihat suasana tegang yang mengudara di sekelilingnya.
Ragel tak peduli pada kobaran api yang terlukis di mata hitam Regha. Setelah dia merasa lega karena dia mengakui perasaannya. Ragel berbalik pergi.
Emosi Regha sudah ada di puncaknya. Namun, sebisa mungkin dia menyingkirkan pikiran kalutnya. Napas beratnya berhembus perlahan. Semua beban dan pertanyaan timbul di benaknya. Bagaimana jika Retta tahu jika Ragel mencintainya? Apa Retta akan semakin sulit untuk diraih dan semakin jauh darinya? Apa Regha harus merelakkan Retta? Melepas Retta untuk Ragel?
Semakin terasa pusing dengan berbagai pertanyaan yang muncul. Regha bangkit berdiri, dengan perlahan, dia melepas genggaman tangan Retta. Mata perempuan itu sentiasa tertutup, tidak tahu keberadaan Regha di sisinya.
"Gue mau ngomong, Gha." Linzy akhirnya angkat bicara. Menghentikan gerakan Regha di ambang pintu. Regha berbalik menatap sepupunya, menunggu lanjutan perkataan Linzy.
"Gue udah tau semuanya," jeda sejenak sebelum Linzy melanjutkan. "Retta mantan lo, kan?"
Muka Regha datar ketika Linzy mengetahui fakta yang selama ini Regha sembunyikan. Tidak ada reaksi lain dari Regha. Seolah Regha sudah tahu, bahwa kejadian ini akan terjadi.
Regha pun tersenyum kecil sambil mengangguk. Tak mengatakan apapun. Kakinya pun berputar hendak kembali pergi. Namun, lagi-lagi Linzy menghentikannya dengan perkataannya.
"Gue udah tau semuanya. Semuanya!" ucap Linzy dengan penuh penekanan. Sedetik setelah kata-kata itu Jantung Regha berdetak hebat.
Semuanya?
"Gosip yang selama ini gue denger tentang lo dan mantan lo. Itu semua salah iya, kan?" tanya Linzy lirih. "Mantan lo ninggalin lo bukan tanpa alasan. Tapi... karena lo sendiri."
Tubuh Regha membatu. Shena pun hanya berdiri bisu. Perempuan itu tidak ingin terlibat antara kedua sepupu itu.
"Lo nyakitin Retta, Gha," Manik Linzy menyorot lurus mata hitam Regha. "Lo jahat, Gha."
Seolah terlempar batu yang keras dan besar, Regha merasa terdorong ke kejadian dua tahun lalu. Kata-kata Linzy persis seperti perkataan Vera—sahabat Retta—saat memberikan sebuah surat pada Regha. kata-kata yang menghancurkan Regha kala itu.
Saat itu, Regha tak tahu jika Retta mendengar pembicaraan dirinya bersama Davel. Regha yang mengatakan kata-kata yang pasti sangat menyakiti Retta. Namun, satu hal yang Regha tahu kenapa Retta bisa sebenci ini dengannya. Karena Retta sudah lebih dulu pergi dibanding mendengarkan lanjutan pembicaraannya dengan Davel.
Retta lebih dulu pergi dibanding mau mendengarkan penjelasannya.
"Gue mau ngejelasin sesuatu ke lo, Zi."
Alis Linzy tertaut bingung karena ucapan Regha.
TBC(11-01-18)
APING
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top