1 : Gadis Indigo

━═━═━═━═━═━═━═━

2012, Jakarta Pusat.

Senyum si kecil Pita yang masih berusia delapan tahun itu mengembang. Matanya menjurus memperhatikan anak-anak seusianya yang tertawa sangat lepas menikmati keceriannya. Pita berharap, salah satu dari mereka ada yang mau mengajaknya bermain. Pita berada di taman kota hari ini.

Merasa tak kunjung dihiraukan ke beradaannya oleh mereka, Pita memutuskan untuk duduk di salah satu ayunan sambil membawa boneka panda di tangannya.

"Hai?"

Pita menoleh, memperhatikan gadis kecil berambut panjang yang duduk pada ayunan kosong di sampingnya. Pita mengulas senyum dengan sumringah. Mata hitam pekatnya berbinar menatap tak percaya jika sekarang ada anak yang baru saja menyapanya.

"Kamu kenapa?" Gadis kecil itu bertanya menyadari wajah Pita yang berubah sangat cepat.

"Aku sama kamu nggak kemusuhan?" tanya Pita terlampau lugu.

"Kemusuhan itu apa?"

"Itu lho yang ngejauh-ngejauh gitu."

"Oh...," Gadis kecil itu mengangguk paham membuat senyum Pita terbit, "lari-larian?" lanjutnya membuat Pita meringis kecil. Pita tidak bisa menjelaskan secara benar. Karena ia pun memiliki pengetahuan pendek soal apa itu kemusuhan.

"Mau bermain bersamaku?" tawar gadis berambut panjang itu pada Pita.

Pita mengangguk secepat kilat tanpa pikir-pikir lagi. Kemudian mengaitkan tangannya pada tangan gadis kecil itu untuk diperkenalkan pada teman-temannya.

"Halo teman-teman!" Pita menyapa riang pada mereka yang tak pernah mengacuhkannya. Kini, Pita lebih berani karena memiliki teman. "Ayo! Kamu kenalin diri kamu ke mereka," ujar Pita pada teman barunya itu.

Gadis kecil berambut panjang itu hanya diam. Menatap sendu beberapa bocah di hadapannya yang tengah menatap Pita dengan berbagai macam tatapan yang berbeda. Pita masih belum menyadarinya. Matanya hanya fokus pada gadis rambut panjang itu-menunggunya membuka suara.

"Kamu ngomong sama siapa, sih, Pit?" Salah satu anak laki-laki mulai mempertanyakan. Sambil matanya melirik takut ke samping Pita yang tidak ada siapa-siapa.

"Hihhh. Aku ngeri, deh. Apa jangan-jangan kamu gila, Pit?" Pertanyaan kali ini berhasil membanjiri gelak tawa dari bocah-bocah lainnya.

"Nggak mungkin kalian nggak liat." Pita masih saja tersenyum lugu. Kemudian tangannya menarik gadis rambut panjang itu.

"PITA GILAAA!"

"TEMEN-TEMEN ADA YANG BARU, NIH!"

"IYA, NIH! PITA YANG BARU-NYA!"

"BARU GILA!"

Bocah-bocah itu berteriak tanpa dosa. Membuat Pita menahan tangis dan menatap kecewa pada gadis rambut panjang itu. Gadis rambut panjang itu menatap bersalah pada Pita. Namun, ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun untuk mengutarakan permintaan maaf-nya. Niatnya dari awal memang ia ingin mengajak Pita bermain. Tetapi Pita malah mengambil kehendak sendiri untuk memperkenalkannya yang berujung mempermalukan diri sendiri.

"Aku bukan orang gila!" sentak Pita sambil menatap mereka marah satu persatu. Mata anak kecil itu berkaca-kaca.

"Terus tadi apa? Kamu ngomong sendiri tahu!"

"Aku nggak ngomong sendiri! Ada temenku- Ehhh-" Pita tercekat. Napasnya seolah tertahan tatkala salah satu bocah bandel itu memukul gadis berambut panjang di sampingnya. Namun, tangan bocah bandel itu menembus di tubuh gadis berambut panjang.

"Kamu?" Pita menatap ngeri pada gadis rambut panjang itu. "Ha-ha-hahaha-ha—" Pita mendadak bengek. Ia seolah tidak bisa meraup oksigen hingga akhirnya kejang-kejang dan pingsan.

━═━═━═━═━═━═━═━

Malamnya, Pita merasa takut. Ia tidak bisa melupakan kejadian-kejadian di siang hari tadi. Keringat dingin membanjiri pelipisnya. Selimut pun telah membungkus rapat tubuh mungil Pita.

"Bos? Yakin, nih, kita maling rumah manusia?"

"Yaiyalah! Mumpung manusia nggak bisa lihat kita."

"Aku merasa berdosa banget jadi tuyul, Bos."

Sayup-sayup, Pita mampu mendengar obrolan seseorang. Suaranya kian dekat namun derap langkahnya tak terdengar. Sampai pada akhirnya sosok yang barusan mengobrol tadi muncul dari tembok. Kepala mereka botak. Tanpa baju dan hanya menggunakan popok. Dari wajah hingga kaki, mereka putih berbalur bedak.

"AAAAAA!" Pita berteriak melihat mereka. Sontak, kedua tuyul itu pun gelagapan dan ikut menjerit memandang Pita.

"Berdosa banget kamu, bocah! Jerit, kok, nggak bilang-bilang." Salah seorang tuyul mengusap dadanya begitu sadar kalau dirinya sudah terlalu alay.

"Lo juga bocah, tuyul!" Temannya langsung menipak kepala botaknya.

Pita semakin menarik selimutnya hingga ke leher-leher. Gadis kecil itu takut, tetapi matanya tak henti-henti menatap kedua tuyul tersebut. Keringat dan bahasa tubuhnya sudah menjadi jawaban.

"Ini kamar kamu, ya?"

"AAAAAA!"

Tuyul yang barusan bertanya langsung menekuk bibir bawah dan alis menatap tuyul satunya. "Nggak kuat aku, Bos!" adunya. Mungkin ia jengah mendengar jeritan Pita.

Merasa tuyul bawahannya tidak bisa diandalkan, akhirnya tuyul satunya pun mengambil alih untuk bertanya.

"Kamu tidur sendiri?"

"AAAAAAA!"

Tuyul itu mengusap dada.

"Kamu punya perhiasan nggak di sini?"

"AAAAAAAAAAAAAAAAA!"

"Kamu ini berdosa banget!" Tuyul atasan itu pun meraup wajahnya frustasi. Membuat tuyul bawahannya tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya yang kecil.

"Apa... ka-kalian berdua, ha-ha-ha—"

"Handika Pratama?" Tuyul itu menyela.

Pita menggeleng takut. "Ha-ha-ha—"

"Hapa, sih?! Nggak kuat aku lama-lama." Kini giliran tuyul satunya yang menyela.

"Ha-hantu maksud aku," jawab Pita akhirnya. Beruntung ia tidak tergagap terlalu lama. Bisa-bisa akan ada sesi tebak-tebakkan nantinya.

"Oh, iya!" Kedua tuyul itu sama-sama tersadar.

"Tapi, kok, dia bisa lihat kita, Bos?" Kedua tuyul itu saling berpandangan. Tetapi sebaliknya ingin menatap Pita, gadis kecil itu sudah tidak ada.

Pita kecil duduk dengan memeluk kedua lututnya. Ia berhasil lolos dan bersembunyi di dalam lemari yang untungnya muat untuk di singgahi. Hingga tak lama kemudian, Pita tidak lagi mendengar suara dua tuyul itu. Malah suara mereka tergantikan dengan suara Seka—Ibu-nya, yang memanggilnya.

"Pita hilang, Mas...."

Sebenarnya Pita ingin menyahut jika dirinya ada dalam lemari saat Seka menangis histeris karena beranggapan kalau Pita hilang dan kemungkinan diculik. Di saat-saat seperti ini, kantuk Pita-lah yang lebih menguasai. Hingga gadis kecil itu tidur dalam lemari hingga menjelang pagi hari.

Seka dan Farhan—Ayah Pita, akhirnya melapor pada polisi tepat saat hilangnya Pita sudah 24 jam. Tetapi sekembalinya di rumah, mereka mendapati Pita tengah memeluk bermacam-macam makanan dari kulkas dengan rambutnya yang seolah disambar petir di siang bolong.

"Ayah-Ibu? Maaf," Pita tertunduk, "semalem Pita ketiduran di dalem lemari."

━═━═━═━═━═━═━═━

Setelah kejadian itu terjadi, Pita jadi takut. Ia menceritakannya pada Seka dan Farhan. Meski awalnya mereka berdua tidak percaya, tetapi Pita berhasil menyakinkan mereka kalau apa yang dikatakannya itu benar. Mereka bilang, gadis kecil itu harus menerimanya dan belajar beradaptasi dengan hal-hal yang tak mampu dilihat orang lain.

Keesokannya, Pita jadi enggan berangkat ke sekolah. Sempat ada percekcokkan antara Pita dan Seka. Seka berkali-kali menarik putri kecilnya untuk berani menghadapi hal semacam itu. Namun, Pita tetap merengek dan menangis. Sesekali ia menendang kaki Seka tanpa takut kualat nantinya.

"Pita! Kamu nggak boleh nakal sama Ibu!" gertak Seka membuat Pita semakin menangis histeris. Seka menarik tangan Pita untuk ke sekian kali, "sekarang, ayo sekolah!"

"Nggak mau!"

"Pita...."

Pita mendorong Seka ke dalam kelasnya. "Kalau gitu Ibu aja yang sekolah! Pita mau pulang."

Masalah itu pun berakhir dengan kepulangan Pita yang memilih untuk absen. Pita tetap ngotot tidak ingin berangkat ke sekolah sehingga membuat Seka terpaksa mengiyakannya untuk sehari ini saja.

Inilah Pitaloka Oncella, si cantik indigo berperangai buruk.

━═━═━═━═━═━═━═━

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top