✦ ╮Chapter 1
-ᴡʜᴇɴ ᴡᴇ ᴍᴇᴛ-
━─━────༺༻────━─━
⋇⋆✦⋆⋇
❝ 𝘓𝘰𝘷𝘦𝘳𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘯𝘪𝘨𝘩𝘵, 𝘱𝘰𝘦𝘵𝘴 𝘵𝘳𝘺𝘪𝘯' 𝘵𝘰 𝘸𝘳𝘪𝘵𝘦, 𝘸𝘦 𝘥𝘰𝘯'𝘵 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘩𝘰𝘸 𝘵𝘰 𝘳𝘩𝘺𝘮𝘦 ❞
⋇⋆✦⋆⋇
.
.
.
.
.
Tidak ada yang bisa menjelaskan kondisinya saat ini, putus asa, kesepian, semuanya ia rasakan sekarang.
Title manusia terkuat nampaknya tidak pantas lagi untuknya, nyatanya saat ini dia benar-benar terlihat sangat lemah.
"Pama- maksudku papa! Papa mau kemana malam-malam begini?" tanya gadis itu dengan wajah heran.
Yang ditanyai sedikit tersentak, dia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. Dia lalu menoleh ke arah gadis yang berbalut dress tidur itu, tatapannya sedikit sayu.
"Papa? Mau kemana malam-malam begini?"
"Aku hanya ingin mencari angin sebentar, kau pergilah tidur."
"Tapi-"
"Gabi, ini perintah. Cepat kembali ke kamarmu." ujarnya dengan wajah datar khas miliknya yang selalu berhasil membuat bulu kuduk siapapun berdiri saat melihatnya.
Sang gadis kemudian menelan ludah.
"Um- baiklah. Papa jangan terlalu lama diluar, nanti sakit." ucapnya sebelum dia pergi melangkah menuju ke kamarnya.
Pria itu hanya menghela nafas, dia lalu memutar kenop pintu itu dan beranjak keluar dari rumahnya.
Jika ditanya dia mau kemana, dia tidak tahu. Suasana hatinya benar-benar kacau sekarang.
Mau bersantai? Tidak, mungkin lebih tepatnya meratapi nasib.
Ini sudah menjadi kebiasaannya semenjak 3 tahun yang lalu, tepat sejak dimana ketakutan terbesar manusia musnah, saat dunia akhirnya bisa bernafas dengan tenang dan damai.
Hari yang dijuluki sebagai hari 'Pertempuran bumi dan langit'.
Singkat saja, monster raksasa yang muncul entah darimana, orang-orang menyebutnya Titan.
Tidak ada yang tahu pasti asal usul mereka, namun teori mengatakan bencana besar ini berawal dari suatu kejadian yang bisa dibilang sangat sepele.
Baiklah, lupakan tentang itu semua, mari kita kembali pada pria yang satu ini.
Seperti yang sudah kubilang dari awal, dia dijuluki 'Manusia Terkuat'.
Itu bukan julukan sembarang, mau kuceritakan bagaimana dia bisa mendapat julukan yang sangat terhormat itu?
Haha, biar dia sendiri yang menceritakannya.
Aku ingin melihat, sejauh apa dia mengenali dirinya sendiri.
Dia menganggap dirinya apa.
Aku penasaran akan itu semua.
⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅
"Lagi dan lagi, apa kau tidak bosan?"
Hening, yang ditanyai hanya membalas dengan tatapan datar.
"Kau sendiri? Apa kau tidak bosan menggangguku setiap hari, Onyankopon?"
Pria berkulit gelap itu terkekeh, dia lalu berjongkok dan mengeluarkan beberapa batang cerutu dari saku miliknya.
"Mau?" katanya sambil menyodorkan sebatang cerutu dan pemantik api miliknya.
Yang ditawari diam sejenak, matanya meneliti benda yang belum pernah ia sentuh sama sekali selama hidupnya.
"Mungkin itu bisa membantuku." pikirnya.
Dengan sedikit ragu dia mengambil sebatang dari tangan temannya itu, dia kemudian memberikan kode padanya untuk membakar ujung cerutu itu.
"........tidak buruk." dia sedikit terkejut, dirinya ternyata bisa juga menoleransi aroma menyesakkan yang dihasilkan cerutu itu.
Fokusnya tidak terlepas dari pemandangan laut di hadapannya.
Seperti yang kalian tahu, Marley terkenal akan pelabuhannya yang luas.
Tidak heran jika kalian pergi berjalan-jalan di Marley, kalian pasti akan selalu menjumpai pemandangan laut yang luas disetiap sisi.
Bagi Levi, memandangi laut selama berjam-jam merupakan salah satu hal favoritnya setelah minum teh.
Ombak laut yang tenang itu mampu memberikan sedikit kelegaan padanya di kala dia sedang bimbang.
Hanya itu yang bisa menjadi hiburannya saat ini.
"Hei, aku tahu kau akan menolaknya, tapi aku tidak akan pernah bosan menanyakannya."
Levi mendongak ke arahnya lalu berdehem sedikit "Hmm, katakan saja."
"Mau ikut ke bar itu tidak? Ayolah, setidaknya iyakan permintaanku ini sekali saja. Aku jamin beban hatimu akan sirna semua saat kau masuk disitu, ya?" tanya Onyankopon dengan nada sedikit memelas.
Levi menatapnya tajam sebelum akhirnya dia mendesah kesal.
"Adler?"
Onyankopon mengangguk, Levi lalu memalingkan wajahnya.
Dia terdiam beberapa saat sampai akhirnya dia memutuskan untuk menggerakkan kursi rodanya sendiri dan pergi menjauh dari situ.
Onyankopon tersenyum pasrah sambil menghela nafas kasar "Sudah kuduga, seperti biasa."
"Oi."
"Kau yang mengajakku tadi, kenapa sekarang malah melamun disitu?"
Mata pria itu melebar, mulutnya ternganga sedikit.
"Apa ini? Levi, dia akhirnya mau menerima ajakanku?"
Melihat temannya yang terdiam mematung seperti itu membuat Levi jadi kesal "Ck, cepatlah sedikit sialan."
Onyankopon tertawa tidak percaya, dengan segera dia berjalan mendekat ke arah pria itu dan membantu mendorong kursi roda miliknya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
'The Adler's'
Begitulah yang tertulis di papan nama bar itu.
Adlers, berasal dari bahasa Jerman yang berarti Elang.
Elang, burung yang terkenal ganas dan cekatan, juga memiliki pandangan yang luas, sangat cocok untuk mendeskripsikan dirinya yang dulu.
Levi berdecih, dia menyadari fakta yang ada saat ini. Dia bukanlah Adlers, dia hanya seorang mantan Adlers.
Well, sebut saja dia 'the broken adlers', itu akan terdengar lebih keren.
Begitu pintu bar itu dibuka, telinganya langsung disambut dengan keheningan.
Bar Adlers ini sangat berbeda jauh dari ekspektasinya.
Dia mengira bar ini sama seperti bar-bar yang lainnya, penuh dengan perkelahian, wanita penghibur, dan sebagainya, seperti bar-bar di kota bawah tanah Shiganshina dulu.
Nyatanya tidak.
Yang ada disini hanyalah ketenangan, orang-orang menikmati bir dan santapan mereka masing-masing dalam damai, tidak ada kericuhan sama sekali.
"Leon, Chateau Margaux, seperti biasa." pinta Onyankopon pada salah satu pelayan yang sedang asyik membersihkan gelas-gelas di konter bar itu.
"Oh ya, tolong siapkan 2 gelas, aku membawa seorang teman." ujarnya lagi sambil mengedipkan satu matanya.
"Siap, bos."
Tak butuh waktu lama bagi pelayan itu untuk menyiapkan pesanannya, beberapa menit kemudian sebotol bir dan dua shot glass sudah ada di hadapan kedua pria tadi.
"Nah..." dengan cekatan Onyankopon menuangkan bir itu dalam gelas milik temannya itu.
"Bagaimana? Ini tidak seperti bayanganmu bukan?"
Levi hanya berdehem pelan sebagai jawabannya, tangannya sibuk memainkan gelas kecil berisi bir mahal di hadapannya.
"Apa ini bisa membantuku?"
"Hm?"
Pria bersurai hitam itu menghela nafas, dia kemudian mengulangi kata-katanya lagi.
"Apa ini bisa membantuku.....untuk mati?"
Hening.
Onyankopon terhenyak, dirinya benar-benar shock mendengar kata-kata tidak terduga itu keluar dari mulut seorang Levi Ackerman.
Dia kemudian tertawa kencang, sangat kencang, hingga membuat seisi bar itu menoleh ke arah mereka.
"Apa katamu? Apa kau baru saja bertanya apa itu bisa membantumu...untuk mati? Hah? Jangan bercanda tuan Ackerman."
"Apa wajahku terlihat seperti sedang bercanda, tuan Onyankopon?"
Yang ditanyai tersenyum miris, dia meneguk minumannya dan kembali menatap temannya itu.
"Kau serius huh? Ini bukan Levi yang kukenal."
"Oh ya? Memangnya seperti apa 'Levi' yang kau kenal itu?" bisik pria itu dengan tatapan mengejek--tidak, lebih tepatnya merendahkan.
"Berani, bijaksana, dan......." kata-katanya terhenti sesaat setelah matanya berpapasan dengan tatapan tajam milik pria bersurai hitam itu.
"Lupakan."
Kesunyian melanda tempat itu untuk sesaat, Onyankopon kemudian berdehem kecil sambil memainkan shot glass di tangannya.
"Tadi kau bilang apa? Apa minuman ini bisa membantumu untuk mati?"
Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan pelan.
"Biar kuberitahu kau satu hal, minuman ini tidak bisa membunuhmu secara fisik, tapi secara mental. Jadi, jika kau memang benar-benar ingin--ekhem--mati? Kau harus lebih sering berkunjung kesi-"
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, suara alunan piano telah lebih dulu menyelanya.
Sebuah senyum tercetak diwajahnya sesaat setelah mendengar bunyi indah yang dihasilkan oleh piano itu.
"Oh, dia sudah datang rupanya."
Matanya enggan melirik, namun permainan piano yang indah itu membuat rasa penasarannya tidak terbendungi lagi.
Netra hitamnya mencari-cari sosok dibalik permainan indah itu.
Selang beberapa detik, dia akhirnya berhasil menemukannya.
Gadis dengan perawakan anggun, berbalut gaun merah maroon yang minimalis, jarinya yang lentik dengan lihai menekan tuts-tuts piano itu selembut mungkin.
"Dia menarik bukan?"
Levi tersentak, dia lalu memutuskan pandangannya dari gadis pianis tadi.
Melihat itu membuat Onyankopon terkekeh pelan.
"Gadis itu memang hebat, dia selalu berhasil membuat orang terpukau dengan permainan pianonya itu."
"Siapa namanya?"
"Hm, apa?"
"Kubilang....siapa namanya?"
Pria berkulit gelap itu mengedip-ngedipkan matanya seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
"Kenapa.....kau ingin tahu?" tanyanya dengan hati-hati.
"Memangnya tidak boleh?"
"Bu-bukan begitu maksudku, tapi kalau kau ingin tahu......." dia menghentikan kalimatnya dan melirik sedikit ke arah sobatnya itu.
"Tanya sendiri padanya."
Bertepatan dengan itu, permainan pianonya selesai. Semua orang bertepuk tangan, ada juga yang memberikan beberapa tangkai bunga mawar pada gadis bergaun merah itu.
Levi menyipitkan matanya, dia berusaha mengfokuskan pandangannya pada pencuri perhatian semua orang malam itu, namun hasilnya nihil.
Dia hanya bisa melihat garis senyuman di wajah gadis itu sekilas.
Dirinya tersentak kaget, pupilnya melebar.
"Hei, kau kenapa?"
Satu pertanyaan yang berhasil menyadarkannya dari lamunan yang panjang itu.
Senyum itu, dia merasa familiar dengan senyuman di wajah gadis itu tadi.
"Tidak, aku hanya......teringat sesuatu."
Onyankopon tersenyum tipis "Hm....masa lalu ya?"
Mantan kapten pasukan pengintai di distrik Shiganshina itu tidak menjawabnya, dia masih sibuk berkutat dengan memori lama yang kembali muncul di pikirannya.
"Sial....
........mereka berdua mirip"
━─━────༺༻────━─━
- ᴄʜᴀᴘᴛᴇʀ 1 ᴇɴᴅ -
𝘊𝘩𝘢𝘱𝘵𝘦𝘳 2 𝘭𝘰𝘢𝘥𝘪𝘯𝘨.........
𝘗𝘭𝘦𝘢𝘴𝘦 𝘸𝘢𝘪𝘵! ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top