┈─.᪥ָ࣪ Midori-Fem! Yuzuru

WARMTH OF YOUR HAND
Patient! Takamine Midori × Fem! Doctor! Fushimi Yuzuru
by :: HiloHzlnut

Langit perlahan menjatuhkan butir-butir salju. Lembar kalender sudah dibalik, menunjukan gambar boneka salju di bagian atas halaman yang menandakan bahwa Desember sudah datang.

Bangunan rumah sakit berubah menjadi warna putih bersih tanpa perlu dicat ulang. Air mancur tanpa air yang terdapat di bagian depan rumah sakit sudah berubah menjadi mangkok es serut.

Salju tahun ini lebih banyak daripada tahun kemarin, yang membuat suhu menjadi lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Air raksa di termometer merosot ke angka 0 dan lebih jauh lagi, memberitahu alasan dari suhu yang bisa langsung membekukan setetes air yang jatuh ini.

Hari demi hari berlalu, hingga sampailah ke hari di mana event yang tentunya sudah lekat dengan bulan Desember, yakni Natal, akan dirayakan.

Dari jendela yang berembun, pemandangan jalanan yang amat sibuk terlihat. Gemerlap lampu warna-warni dari jalanan dan pohon natal buatan terlihat seperti kumpulan bintang siang bolong yang berkumpul di tengah jalan. Buram yang diciptakan oleh embun di kaca jendela memberikan efek yang menawan dengan sendirinya.

Sebutir salju jatuh dan menempel di jendela, lantas mencair karena suhu ruangan di dalamnya, meninggalkan segaris yang jelas di kaca berembun ketika mengalir turun sebagai air. Mata biru itu merekam semuanya tanpa sorot minat.

Wajah tampan namun no life itu terlihat datar tanpa senyum walau hanya semilimeter. Tidak ada satupun hal yang bisa menjadi alasan untuk membuat sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. Baik suasana ramai jalanan yang membuatnya teringat masa kecilnya, ataupun dokter yang terus mengatakan bahwa ia akan segera pulang.

Bagian lucunya, ia sudah sering mendengarnya sejak musim panas—musim panas dua tahun lalu maksudnya. Ia tidak muak. Kalimat itu hanya masuk ke telinga kanannya dan keluar dari telinga kirinya.

Semuanya lewat tanpa beban. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya helaan napas panjang tanpa suara.

Aku ingin mati.

✧∘*

Ketukan di pintu membuat orang di dalam ruangan menoleh pelan. Pintu digeser. Ia bisa melihat siapa yang datang dari kaca di pintu.

“Selamat siang, Takamine-sama.”

Seorang wanita muda dalam setelan dokter masuk dan menggeser kembali pintu di belakangnya. Senyum sopan terpampang di wajahnya. Surai biru gelapnya diikat rapi, manik fuchsia miliknya menatap dengan tatapan tenang. Sebuah pin hitam tersemat di dadanya dengan tulisan “Fushimi Yuzuru” tertera.

Ia adalah dokter yang bertanggung jawab atas penghuni kamar bernomor 179 itu.

“Apa Anda siap untuk pengecekan hari ini?”

Kata-katanya yang kelewat formal hanyalah kebiasaannya. Yang ditanya hanya mengangguk.

Lembaran kertas yang dibolak-balikkan menjadi satu-satunya suara di dalam ruangan. “Takamine Midori, 17 tahun, 179 sentimeter, 64 kilogram….” Sang dokter menggumam sembari matanya bergerak membaca.

Takamine Midori—si penghuni ruangan—mengangkat kepalanya begitu namanya disebutkan. Beberapa pertanyaan mulai diajukan. Tidak ada yang menarik bagi Midori sama sekali. Pertanyaannya selalu sama, begitu pula jawabannya.

Pengecekan berjalan seperti biasa. Semuanya sama saja seperti kemarin-kemarin, tapi Midori tetap bertahan dalam kejenuhannya untuk satu hal.

Master, bisakah kamu menggambarkan karakter maskot untukku?"

“Baiklah.”

“Yatta..!”

Tadi sudah dikatakan bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa membuatnya tersenyum, kan?

Sebenarnya, ada. Dan itu adalah karakter maskot. Karakter dengan bentuk yang biasanya unik dengan wajah yang imut-imut itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat matanya berbinar, terlebih yang digambar oleh Yuzuru.

Segala gambarannya adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya hidup. Setiap goresan penanya di atas secarik kertas adalah maha karya bagi Midori.
Itulah mengapa ia memanggil Yuzuru dengan sebutan “Master”, atau “Master Artist”.

“Umm, tolong gambarkan Kiki-chan,” pinta Midori begitu ia melihat Yuzuru sudah memegang pena di tangan kanannya, dan selembar kertas kosong di papan jalannya.

“Kiki-chan?”

“Ya, itu adalah maskot dari toko kue di dekat rumahku—aku memiliki stikernya, sebentar.” Ia sedikit merogoh ke meja di sebelah ranjangnya, dan menarik keluar selembar kumpulan stiker yang masih utuh.

“Lihat, yang ini. Yang berbentuk seperti kue ini.” kata Midori antusias sambil menunjuk sebuah stiker.

Tangan Yuzuru mulai bekerja. Midori duduk di ranjangnya sambil menatap dengan penuh penantian. Meskipun wanita itu selalu mengatakan ia tidak memiliki bakat di bidang menggambar, namun Midori selalu berkata sebaliknya. Setiap gambaran Yuzuru selalu ia simpan dengan baik.

Tidak sebegitu sering ia menggambar untuk Midori. Profesinya sebagai dokter membuatnya menjadi sibuk. Jadi, ia seringkali harus menolak permintaan Midori.

“Selesai.”

Midori nyaris melompat dari duduknya saking tidak sabarnya. Begitu ia melihat hasilnya, binar cerah langsung muncul di matanya.

“Aaaaa,” Midori menatap kertas yang ia genggam erat-erat. “Imutnya~” Senyuman merekah di wajahnya.

Hal yang tidak sering ia lihat selama ia merawatnya.

Midori lebih sering murung. Bahkan belakangan, ia nyaris tidak berekspresi, yang membuatnya cukup membuatnya khawatir.
Tapi melihat senyumnya kembali membuatnya sedikit lebih tenang.

“Terima kasih, Master! Aku akan menjaganya!”

“Ah, saya tidak berbuat banyak. Melihat Takamine-sama senang sudah cukup untuk membuat saya amat berterima kasih.”

✧∘*

Langit masih menunjukkan sedikit jingga, namun warna biru gelap yang lebih mendominasi menunjukkan bahwa hari tidak lagi sore. Kedua warna itu menciptakan keunguan di antara mereka.

Midori bangun setelah ia tertidur sambil memeluk kertas dengan “mahakarya” Yuzuru—bukan tidur, sebenarnya. Ia masih terjaga, namun sedang ngehalu.

Yuzuru kembali, kali ini ia membawa beberapa hal yang diperlukan dalam sebuah nampan. Midori menatap peralatan yang ada di atas meja dengan pandangan kosong. Bagi beberapa orang, yang ada di sana itu amat menakutkan.

Huii, mengerykan.

Tapi Midori sudah lebih dari biasa. Peralatan logam ataupun botol dengan cairan bening di dalamnya tidak lebih dari rutinitas sehari-hari baginya. Ia hidup dengan itu.

Midori tidak begitu menyimak Yuzuru yang mengatakan kalau kali ini akan sedikit lebih sakit. Matanya menatap datar ke arah luar jendela. Menatap jalanan yang sibuk. Oh, ya, hari ini, kan, malam natal.

Sebetulnya, ia tidak begitu memedulikannya lagi. kalaupun itu natal, ia tidak lebih hanya berbaring di ranjangnya sambil menatap langit-langit yang konon bisa mengeluarkan sosok mengerikan ketika malam.

Tapi berbicara tentang natal, ia jadi teringat tentang “permohonan”, dan berbicara tentang permohonan, ia jadi terpikirkan sesuatu.

Nee, Master,” panggil Midori pelan, begitu semuanya selesai.

“Ya?”

“Kalau aku memohon sesuatu … permohonanku akan diterima, kan? Karena kau selalu menyebutku anak baik, jadi harusnya yang aku minta akan terwujudkan, kan?”

Tidak ada maksud apa-apa dalam perkataannya. Hanya pertanyaan kecil yang terpikirkan karena pas dengan suasananya.
Apabila suasana dan latarnya berbeda, siapapun akan menganggap pertanyaan itu konyol.

Tapi Yuzuru tidak tahu harus menjawab apa. Padahal, jawabannya sudah sangat tentu, anak TK pun tentulah tahu. “… Saya tidak tahu…” akunya.

“Begitu….” Tidak ada nada sedih ataupun kecewa dalam kalimatnya.

Keduanya diam. Suara samar dari lorong menjadi satu-satunya suara di ruangan, atau suara “biiip” pelan dari alat yang mati secara otomatis.

Master.”

“Ya?”

“Aku ingin keluar. Boleh, kah?”

✧∘*

Suara gesekan roda dengan lantai bergema di lorong yang kosong. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Yuzuru memperhatikan semua gerak-gerik Midori—selain karena dirinya bertanggung jawab atas Midori, ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi ternyata tidak, dia masih baik-baik saja begitu mereka sudah berada di bagian belakang rumah sakit.

Beberapa pepohonan botak tumbuh di sekitar. Salju menggantikan tempat dedaunan di cabang pohon.

“Waah…!” seru Midori pelan, begitu ia melihat pohon natal buatan dari rangkaian lampu yang berdiri tegak di tengah-tengah lapangan.

“Apa Anda belum melihatnya sebelumnya?” tanya Yuzuru, sebelum kemudian ia teringat bahwa kamar Midori menghadap ke depan rumah sakit.

“Ini sangat besar,” kata Midori. Kepalanya terangkat, memperhatikan ornamen bintang yang terpasang di puncaknya. Ornamen itu sangat besar. Pohon buatan itu juga sangat tinggi. Dulu, ia selalu berpikir apakah dirinya akan tumbuh tinggi sampai bisa mencapai bagian puncak dari pohon Natal.

Berbicara tentang “dulu”, ia jadi teringat sesuatu. Awal mula dari keadaannya yang sekarang.

✧∘*

Dulu, ia tidak pernah merasa sakit. Ia manusia biasa. Sakit ringan beberapa kali seperti orang biasa, selebihnya sehat wal afiat. Tapi ketika saat itu keluarganya membawanya pergi berobat ke rumah sakit, kalimat legend itu keluar.

“Kenapa tidak dari dulu?”

Ia tidak tahu mengapa wajah ibunya berubah menjadi beku ketika mendengar pernyataan dokter. Ia juga tidak tahu kenapa kakaknya memeluknya sambil menangis. Ia juga tidak tahu kenapa ia harus tidur di ranjang rumah sakit dan bukan di kamarnya.

Sekarang, ia sudah tahu mengapa.

Ia memandang ornamen bintang di puncak pohon. Mulutnya terbuka. Asap putih keluar dari mulutnya. Seperti naga.

“Aku ingin mati.”

“… apa?”

Dengan entengnya kalimat itu terucap oleh bibirnya.

“Aku ingin mati,” ulangnya. Ia masih menatap ke atas.

Angin dingin yang berhembus menambah suasana hening. Yuzuru masih mencoba untuk memahami apa yang remaja itu sebut ketika ia melanjutkan.

“Aku tidak akan sembuh, kan? Aku tahu. Aku tidak kaget."

“Keluargaku kesusahan membayar biaya perawatanku. Kakakku tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak ada yang tersisa lagi. Semuanya diberikan untukku."

“Aku … aku benar-benar merepotkan, kan? Cita-cita kakakku untuk menjadi hakim harus dilepaskan. Ibuku bekerja banting tulang hanya untuk membayar biaya yang semakin tak sanggup ia tahan lagi."

“Karena aku terus diopname di rumah sakit sampai sekarang, biayanya terus mengalir seperti air."

“Aku hanya membebani keluargaku. Aku adalah beban keluarga yang sesungguhnya.”

Yuzuru tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya berdiri diam di tempatnya. Tangannya menggenggam erat pegangan kursi roda.

Midori menghela napas. Asap putih mengudara, perlahan menipis lalu menghilang. Kalau ia menghilang seperti asap itu, apa semuanya akan selesai?

“Kalau aku tidak ada, semuanya akan kembali seperti semula, kan?”

“Takamine-sama….”

“Kalau aku tidak ada, pasti semua orang akan senang, kan? Master sendiri bisa merawat mereka yang lebih penting dariku, kan?"

“Itu, itu tidak seperti itu. Takamine-sama tentulah penting.”

“Kalau aku menghilang saja, ibuku tidak perlu bekerja sampai kelelahan, dan kakakku bisa mengejar mimpinya menjadi hakim, kan?”

“Taka—”

“Kalau aku mati!” potong Midori. Suaranya naik.

Keheningan melanda. Midori menggigit bibir bawahnya. Perih menyerang, tapi tidak ia pedulikan. “Kalau aku mati, semuanya akan bahagia, kan?”

Hening. Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan.

Midori menyadari kalau apa yang ia katakan mungkin keterlaluan. Tapi mau bagaimana, semua itu benar, kok. “Tidak perlu khawatir,” katanya cepat. “Aku tidak akan mengakhiri hidupku sendiri. Aku hanya berharap aku segera mati. Aku tidak akan membahayakan diriku sendiri.”

Masih hening. Midori merasa tidak enak. Ia mencoba berbalik, ketika pundaknya tiba-tiba dipegang oleh Yuzuru.

“… Master?"

“Anda akan baik-baik saja.” Yuzuru terduduk di tanah. Tangan kanannya memegang bahu Midori, sementara tangan kirinya membungkus kedua tangan Midori yang beku.

Hangat. “Anda akan baik-baik saja,” ulangnya.

Midori bisa merasakan sedikit getar di suaranya. Ia mencoba untuk berkata-kata, tapi tenggorokannya serasa sakit tercekat. Genggaman di tangannnya semakin mengerat.

“Anda akan baik-baik saja. Anda akan hidup. Jangan berharap untuk mati. Tidak akan ada yang senang apabila Anda pergi.” Tangan yang membungkus tangan bekunya terasa sangat hangat.

Hangat….

Kapan terakhir kali Midori merasakan kehangatan seperti saat ini? Midori serasa ingin menangis—padahal ia tidak pernah menangis lagi. Sesakit apapun yang ia rasakan, tidak ada air mata yang keluar lagi.

Kristal bening terkumpul di sudut matanya. Meski salju tipis yang berjatuhan dari langit malam membekukan, tapi hangatnya genggaman tangan seolah mencairkan semuanya.

“Bahkan … bahkan kalau Anda memang harus pergi,” senyum getir diberikan oleh wanita itu. “Anda tidak boleh mengharapkannya. Tidak ada yang membahagiakan dari sebuah kematian.”

Kepala Midori tertunduk. Matanya menatap tangan Yuzuru yang menggenggam tangan bekunya erat.

“… Master,” panggil Midori pelan. Suaranya bergetar. Air matanya jatuh ke selimut di pahanya.

“Tenanglah.”

Lengan Yuzuru melingkar di lehernya yang terlilit syal tebal. Yuzuru menariknya dalam pelukan hangat.

Kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya yang dingin mendorong air matanya untuk keluar, menciptakan sungai di pipinya. Tubuhnya yang dingin menghangat. Ia harap mereka akan terus begitu selamanya.

Kapan, ya, terakhir kali aku merasakan kehangatan seperti ini?

✧∘*

Suara derit pintu kaca yang digeser menarik perhatian orang-orang di dalam gedung.
Yuzuru membawanya ke tempat yang tidak ia ketahui begitu langit sudah menjadi gelap.

Midori melebarkan matanya. Itu adalah bagian yang sedikit terpisah dengan rumah sakit meski masih berada di area yang sama, dihubungkan dengan lorong. Dinding dihias dengan hiasan khas Natal. Beberapa seruan ramai yang terdengar seperti suara anak-anak menyerbu indra pendengarannya begitu ia memasuki gedung.

“Ah! Fusshi~! Dan orang baru! Apa dia yang selalu kamu rawat?”

Midori mengangkat wajahnya, melihat seorang gadis yang kelihatannya tidak terlalu jauh usianya. Surai jingganya berkibar begitu ia berjalan cepat ke arah mereka.

“Hei, hei, siapa namamu~?” tanya gadis itu. Mata birunya serupa dengan Midori. Hanya saja, bintang yang bersinar di matanya jauh berbeda dengan miliknya.

“Takamine … Midori,” jawabnya pelan.

“Begitu, ya~! Aku Akehoshi Subaru, dan aku sedang magang di sini! Salam kenal, ya, Takamin!” katanya. Senyum cerah terpampang di wajahnya tanpa luntur sama sekali.

“Taka … min?”

“Akehoshi. Jangan terlalu ribut. Dia terlihat kebingungan, dan ini masih di rumah sakit. Jangan kira hanya karena kebetulan kita berbeda gedung, lantas kau bisa seenaknya.”

Seorang pria dengan wajah dingin muncul tiba-tiba. Tangan kanannya yang memegang kertas digulung memukul kepala Subaru. “Sakit! Sakit! Hokke, ini namanya kekerasan terhadap anak buah!”

“Jangan panggil aku begitu! Tunjukkan rasa hormatmu! Bagaimana kau bisa bekerja di masyarakat ramai kalau kau tidak bisa menunjukkan bahkan hanya sedikit hormat pada pembimbingmu ini?”

“Hokke seram~! Karena kamu bekerja sebagai dokter anak, kamu seharusnya lebih ramah! Inilah mengapa banyak anak kecil takut padamu!”

“Aku hanya bekerja sebagai profesional!”
Midori hanya diam melihat interaksi keduanya. Pemandangan dan suasana baru dalam hidupnya direkam oleh matanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan sekarang, tapi Yuzuru di sebelahnya tertawa kecil.

“Sepertinya kalian memang dekat,” kata Yuzuru.

“Kami tidak dekat!” kilah si pria. Ia baru tersadar bahwa ada wajah baru di sana. Ia sedikit berdehem—dan mengabaikan komentar mengejek dari rekannya—dan memperkenalkan dirinya.

“Saya adalah Hidaka Hokuto. Saya bekerja di bagian poli anak, senang bertemu denganmu,” katanya. Kata-katanya menjadi lebih formal, meski tidak sampai seformal Yuzuru. Tidak ada senyum di wajahnya. Midori mencatatnya sebagai tipe dokter yang serius.

“Hokke, kamu terlalu datar! Ingat apa yang dikatakan si kembar? Senyum, senyum! Bahkan anak-anak yang mengajarimu, kamu memalukan!”

“A-ke-ho-shii…!!”

“Are? Wajah baru~! Shinobu-chan, lihat!”

“Yu, Yuuta-nii-san, jangan menarikku tiba-tiba de gozaru!”

Midori menolehkan kepalanya. Ia melihat seorang anak laki-laki seusianya berdiri di ujung lorong. Seorang gadis kecil—sekitar usia SD ia rasa, berdiri di belakangnya, bersembunyi di balik punggung si anak laki-laki.

“Halo halo! Kelihatannya kita seumuran! Siapa namamu? Aku Aoi Yuuta!” kata si anak laki-laki sambil menyodorkan tangannya.

“Aku Takamine Midori…” jawab Midori sambil dengan agak ragu menerima sodoran tangannya. “Panas sekali tanganmu.”

“Tanganmu yang terlalu dingin! Dingin sekali! Seluruh bulu kudukku naik!” Yuuta langsung menggosok-gosok lehernya.

“Benarkah…?” Midori menghela napasnya.

Pandangannya beralih ke gadis kecil di belakang Yuuta. Gadis yang sadar dirinya diperhatikan itu langsung tersentak, lantas bergeser untuk bersembunyi di balik punggung Yuuta.

“Shinobu-chan, jangan begitu—perkenalkan dirimu! Halo~!” kata Yuuta. Tangannya menarik si gadis kecil yang masih terlihat malu-malu. Lucunya.

“A–aku, Sengoku Shinobu… de gozaru,” katanya dengan suara sangat pelan sampai nyaris tidak bisa didengar Midori. Untung ia masih bisa mendengarnya.

Tapi tunggu, Midori tidak sebaik itu dengan anak kecil.

Ia menolehkan kepalanya, mencoba mencari bantuan. Ia memandang Yuzuru yang memberikan senyum khasnya. Seperti mengataan kalau ia menolak pertanyaan apapun, menurut Midori.

“Umm, uhh, aku Takamine Midori … yah, kamu seharusnya sudah tahu, sih,” kata Midori. Ia agak menundukkan tubuhnya, menatap gadis kecil yang sekarang sudah meremas bagian belakang pakaian Yuuta.
Midori mencatatnya sebagai tipe anak kecil yang pemalu.

“Are? Midori-nii-san, apa kamu habis menangis?” tanya Shinobu polos. Manik kuningnya yang sebelah tersembunyi karena poninya menatapnya dengan penuh penasaran. “Apa dokter memberimu obat yang pahit, atau apa kamu disuntik?”

“Aku, uhh, tidak apa-apa,” jawab Midori ragu. Matanya melirik Yuzuru yang tertawa kecil.

Pertanyaan anak kecil. Semua ini baru bagi Midori. Bukannya ia tidak pernah bersosialisasi, tapi 4 tahun di ranjang rumah sakit membuatnya menjadi sedikit asing dengan suasana seperti ini.

“Yuuta-kun, Shinobu-chan—oh? Siapa itu? Aku belum pernah melihatnya -ssu,

Suara baru direkam oleh telinganya. Midori menolehkan kepalanya, melihat seorang anak laki-laki, yang sepantaran dengan dirinya juga, berjalan dari lorong. Tangan kanannya mendorong tiang infusan yang terhubung ke lengannya.

“Tetora-nii-san!” panggil Shinobu. Ia agak berlari ke arah “Tetora-nii-san” itu lalu memeluk kakinya.

“Uoh?! Shinobu-chan berhati-hatilah, nanti kamu jatuh -ssu. Dan—oh, ya! kamu!” panggilnya sambil menatap Midori ramah. “Aku belum pernah melihatmu! Siapa kamu? Aku Nagumo Tetora, seorang pria di antara pria -ssu!”

“Takamine … Midori,” jawab Midori.

Yang ini, kelihatannya dia agak ribut.

Tetora mengeluarkan “ooh” panjang. “Ngomong-ngomong, Yuuta-kun, di mana kakakmu?” tanya Tetora.
Aniki? Dia sedang tidur di kamarnya, setahuku,” jawab Yuuta sambil mengangkat bahunya.

“Hinata-nii-san? Tadi aku melihatnya di kamar mandi,” tambah Shinobu.

“Tunggu—mana yang benar?”

Kelihatannya mereka memang sudah saling kenal dekat. Midori merasa tersisihkan. Ia hanya diam.

“Oh, ya, uhhh siapa tadi? Midori-kun. Apa kamu ingin ikut merayakan natal bersama kami?” tanya Tetora secara tiba-tiba, membuat Midori agak kaget.

“H–huh? Merayakan Natal?” ulangnya.

“Ya! Beberapa perawat di sini sering mengadakan pesta kecil-kecilan—lagipula, ini bagian anak-anak, jadi hal seperti itu biasa untuk anak-anak. Tapi terkadang aku, Yuuta-kun dan saudari kembarnya, Hinata-chan, datang ke sini,” kata Tetora menjelaskan.

“Eh? Um, aku tidak tahu…” gumam Midori. Ia melihat sekitar dengan gugup, dan kemudian berakhir menatap Yuzuru, seperti meminta penjelasan lebih. Tapi senyumnya masih sama, jangan tanya saya.

“Apa apa? Takamin ingin ikut merayakan Natal bersama? Ayo ayo!” timpal Subaru tiba-tiba.

“Apa dia boleh ikut merayakannya?” tanya Hokuto pada Yuzuru. “Dia di bawah pengawasanmu, kan, Fushimi?”

Yuzuru diam sejenak. Iris fuchsianya melirik Midori. Midori membalas dengan tatapan setengah memohon.

“Ya, dia baik-baik saja. Selama tidak sampai sebegitu larut, semua baik-baik saja.”

YATTA!”

“Midori-nii-san akan ikut merayakan natal di sini~?” tanya Shinobu polos.

“Um, sepertinya begitu?”

“Anak-anak di sini akan senang, tahu,” kata Tetora. “Dia juga akan senang, uhh, agak menyebalkan memikirkannya.”

“Menyebalkan?”

“HAHAHAHAHA!! AKU DATANGG! ADA APA INI?”

Suara yang keras menyerang indra pendengaran Midori. Ia sontak menutup telinganya. Siapa yang berani-beraninya datang langsung menggunakan capslock? Di rumah sakit pula.
Ia melihat seorang pria dengan … pose aneh? Seperti pahlawan dalam film Tokusatsu yang baru saja datang kesiangan.

“OOHH?? Wajah baru! Siapa kamu? Ah, kamu anak yang dirawat oleh Fushimi, ya? Salam kenal, aku Morisawa Chiaki, pahlawan pemberantas segala penyakit! Salam kenal, HAHAHAHAHA!!”

Oke, Midori akan mencatatnya toa.

“Berisik…” gumam Midori.

“Um, itulah dia,” kata Yuzuru, sementara Subaru dan Hokuto mulai menegurnya.

Beberapa pasien—anak kecil—keluar dari kamarnya, menyapa Midori begitu melihatnya. Midori belum pernah merayakan Natal seperti ini dalam hidupnya. Suasana hangat dan ramah ini terasa sudah sangat lama baginya hingga nyaris asing.

“Lihat, Takamine-sama,” Yuzuru tersenyum. “Masih banyak yang bisa Anda lakukan.”

Midori bisa merasakan hatinya menghangat. Senyuman kecil terbit di wajahnya.

“Ya….”

Setidaknya, ada satu hal yang akan terus ia kenang selama seluruh sisa hidupnya. Ya, sebelum ia pergi, ia ingin mencoba untuk “hidup”.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top