┈─.᪥ָ࣪ Aoi Hinata & Aoi Yuuta
KEHANGATAN YANG TELAH HILANG
Little! 2wink & Sensei! Reader
by :: 4_SaKUra_4
Tanggal 23 Desember, semua orang sudah mulai bersiap akan natal mereka. Sebagian ada yang mulai menyiapkan hadiah, ada juga yang mulai menyusun rencana pesta natal bersama keluarga, teman-teman, atau bersama orang terkasih.
Salju musim dingin tahun ini pun sudah mulai berjatuhan sejak pagi tadi. Sejauh pandang memandang mulai banyak terlihat jejak putih yang menutupi jalan, atap, pohon, dan tempat-tempat lainnya. Meski belum sepenuhnya menutupi permukaan.
TUT TUUT
"Tidak diangkat ya," gumam (Name).
Ia menoleh pada kedua anak laki-laki yang tengah berdiri di belakangnya. Menunggu jawaban yang akan diberikan (Name) padanya. Sayangnya ia sendiri tidak tahu bagaimana harus memberikan pengertian pada mereka untuk kesekian kalinya.
Normalnya setiap orang ingin menikmati hari-hari seperti ini dengan keluarga mereka. Namun kedua anak laki-laki berusia 5 tahun itu justru tidak mendapatkan hal seperti itu.
Ini bukan pertama kalinya, bahkan di setiap acara apapun, tidak ada siapapun yang bisa dihubungi. Datang mengantar, di jemput jika ingat.
"Sensei, otou-san nggak bisa jemput kah?" tanya Hinata sembari menarik ujung celana yang dikenakan (Name).
"Gomenne,"
Hanya sebuah permintaan maaf yang bisa menjadi jawabannya. Alasan apa lagi yang bisa diberikan oleh kedua anak ini. Apalagi sudah seperti asupan sehari-hari, pasti mereka sudah sangat memahami hal tersebut dengan baik. Seolah-olah keadaan memang memaksa mereka untuk memahaminya di usia yang masih sangat kecil.
Ekspresi keduanya sama sekali tidak menunjukkan kesedihan apapun apalagi tanda-tanda ingin menangis. Mereka terlihat begitu tenang, baik Hinata ataupun Yuuta, keduanya bersikap seperti tidak terjadi apapun.
Tidak terpikirkan oleh (Name) bagaimana orang tuanya begitu tidak peduli dengan keadaan kedua anak ini. Walau benar mereka diberikan pendidikan yang layak dan makanan yang cukup. Tapi dibandingkan material, ada hati yang lebih penting untuk dijaga dan dilindungi.
"Bagaimana jika menginap di tempat sensei?" tawar (Name).
Hinata dan Yuuta mengangguk. Mereka langsung berbalik untuk mengambil tas sekolah mereka. Begitu pula dengan (Name) yang juga mengambil tas miliknya dan beberapa barang-barang lainnya.
Sudah tidak ada pilihan lain selain membawa kedua anak itu pulang bersamanya. Hari sudah semakin larut mengingat ini sudah jam 7 malam. Telpon sama sekali tidak diangakat, pesan pun juga tidak dibaca sama sekali. Sementara gerbang harus ditutup jam setengah 8 malam nanti. Jadi tidak mungkin mereka bertiga tetap di TK tanpa kabar seperti ini.
"Tidak ada yang tertinggal kan?" tanya (Name) memastikan.
"Sudah semua sensei," ucap Yuuta.
"Sebentar, syal kalian dibenerin dulu," ucap (Name). Ia berlutut untuk menyamakan tinggi badannya dengan Hinata dan Yuuta. Kemudian dengan telaten memperbaiki posisi jaket dan syal yang dikenakan oleh sepasang saudara kembar itu.
"Begini lebih nyaman kan?"
"Arigatou sensei," ucap Hinata dan Yuuta bersamaan. (Name) mengangguk.
Mereka bertiga pun meninggalkan TK. Tidak lupa menyapa pada satpam yang berjaga di depan gerbang TK.
Bahkan satpam TK pun sudah tidak asing lagi jika Hinata dan Yuuta ikut pulang bersama dengan (Name). Mengingat hanya (Name) yang mau berinisiatif menjaga mereka disaat guru TK yang lain memiliki urusan yang lain juga. Lagipula (Name) adalah guru termuda di TK dan belum menikah. Jadi punya waktu untuk meluangkan diri mengurus keduanya.
"Setelah ini kita belanja dulu ya, kalian berdua mau makan malam apa?" tanya (Name).
"Apa aja yang sensei masak," ucap Yuuta, disambut dengan anggukan oleh Hinata.
"Baiklah,"
――――――――
Mereka bertiga tiba di apartement (Name) setelah menyelesaikan acara makan malam mereka di luar. Meski sebelumnya memang berencana untuk masak di apartement, namun hari sudah lewat jam makan malam saat mereka keluar TK, jadi lebih baik membawa Hinata dan Yuuta makan di luar saja. Untungnya kedua saudara kembar itu tidak banyak merengek, jadi tidak sulit membawanya.
"Air hangatnya sudah siap, kalian mandi duluan saja," ucap (Name).
Tidak banyak bantahan dari keduanya, mereka dengan patuh langsung menuju kamar mandi. Sementara (Name) menyiapkan pakaian mereka yang masih tersimpan di lemari (Name). Mengingat bahwa mereka sudah beberapa kali menginap di rumah (Name) sehingga meninggalkan beberapa potong pakaian disini.
Sembari menunggu Hinata dan Yuuta mandi, (Name) kembali mencoba menghubungi ayah Hinata dan Yuuta. Tapi hasil yang didapatkan masih sama, tidak ada jawaban. Hal itu membuat (Name) semakin merasa prihatin pada keduanya anak laki-laki tersebut dimana mereka diabaikan oleh ayah mereka disaat ibu kandungnya pun sudah meninggal.
Bagaimana ada ayah yang begitu tega seperti itu. Apalagi usia Hinata dan Yuuta adalah usia dimana mereka harus benar-benar diperhatikan. Tapi di sisi lain pasangan saudara kembar itu sama sekali tidak pernah terlihat mengeluh dihadapannya. Bahkan belajar dan bermain seperti biasanya.
"Sensei! Kami sudah selesai!"
"Cepat ganti baju dulu, udara dingin tidak baik untuk tubuh kalian," ucap (Name) sembari mengambilkan piyama untuk masing-masing keduanya.
"Haa'i~"
――――――――
(Name) menatap Hinata dan Yuuta yang kini telah terlelap di atas futon tempat tidur miliknya. Tidak lupa memperbaiki posisi selimut mereka yang sebelumnya terbuka karena Yuuta yang mengganti posisi tidurnya.
"Seharusnya kalian bisa mendapatkan perhatian lebih di usia kalian," gumam (Name).
Hanya (Name) yang mengetahui keadaan Hinata dan Yuuta saat ini. Guru-guru yang lain hanya sebatas tahu bahwa orang tua Hinata dan Yuuta tidak bisa datang ke acara sekolah karena sibuk. Tidak sampai mengetahui bahwa mereka berdua pun juga kadang tidak dijemput sama sekali. Karena mereka sendiri kebanyakan pulang lebih awal mengingat kebanyakan guru TK sudag menikah dan memiliki anak-anak yang juga masih kecil. Karena itu mereka menyerahkan anak-anak yang dijemput terlambat pada (Name).
Berkomunikasi dengan ayahnya Hinata dan Yuuta pun begitu sulit. Selain membahas biaya sekolah, tidak ada pesan atau panggilan yang di respon olehnya. Terkadang (Name) memikirkan bagaimana mereka berdua ketika di rumah. Apakah benar-benar hanya saling bergantung satu sama lain?
(Name) menghela nafas kasar. Tidak tahu apakah pantas dirinya untuk ikut campur seperti ini. Tapi tetap saja hati nuraninya tidak tega melihat keadaan keduanya. Setidaknya, jika memang bukan orang tua kandungnya sendiri yang memberikan, paling tidak biarkan dirinya yang memberi perhatian itu.
"Hngg ... sensei belum tidur?"
"Eh? Hinata? Apa aku membangunkanmu?" tanya (Name) yang terkejut ketika melihat Hinata menarik ujung piyama miliknya.
"Aku belum tidur," ucap Hinata. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dengan perlahan agar tidak mengganggu Yuuta di sampingnya.
Meski Hinata mengatakan bahwa ia belum tidur, tapi tangannya mengusap pelan matanya yang menunjukkan bahwa ia sendiri masih mengantuk. Mungkin bisa disebut setengah sadar.
"Sulit tidur kah?" tanya (Name).
"Sensei, kenapa otou-san tidak mau bersamaku dan Yuuta-kun?"
Sebuah pertanyaan yang akhirnya terlontarkan dari bibir mungil Hinata. Pertanyaan yang begitu sulit untuk dijawab dengan kata-kata yang tepat dan mudah dipahami oleh anak-anak berusia 5 tahun.
Apa yang bisa (Name) jelaskan padanya?
"Okaa-san sudah pergi, otou-san tidak memenginginkan kami lagi," ucap Hinata.
Di dalam ruangan yang redup karena hanya disinari cahaya redup dari lampu tidur, (Name) bisa merasakan bahwa Hinata menahan diri untuk menangis. Terdengar dari suaranya yang bergetar dan isakan kecil di sela-selanya.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana berada di posisi baik Hinata ataupun Yuuta. Keduanya saling bergantung satu sama lain dimana keadaan mereka hampir terlantarkan. Posisi yang tidak pasti apakah mereka benar-benar dibuang atau masih dipertahankan.
(Name) menarik tubuh Hinata untuk mendekat padanya dan memeluk lembut tubuh mungil Hinata. Mengusap pelan surai berwarna jingga itu memberi sedikit kenyamanan meski ia yakin bahwa tubuhnya tidak senyaman ibu kandung Hinata dan Yuuta.
Anak-anak seperti Hinata dan Yuuta tidak mungkin bisa menahannya. Orang dewasa saja terkadang tidak sanggup, apalagi mereka yang masih kecil. Tangisan pun sudah tidak bisa ditahan lagi. Kedua tangannya menggenggam erat piyama (Name) dan menangis di sana. (Name) pun hanya diam dengan tangannya yang masih setia mengusap lembut surai jingga tersebut.
Bertapatan dengan itu, sepasang tangan lainnya datang menggenggam lengan (Name). Mengalihkan perhatian (Name) sejenak dimana ia melihat Yuuta yang terbangun dari tidurnya.
"Yuuta? Maaf kamu jadi terbangun―"
"Aku mimpi bertemu okaa-san," lirihnya.
"Eh?"
"Okaa-san mengajakku dan aniki main, tapi kenapa itu hanya mimpi?"
"Aku kemarin juga memimpikan okaa-san,"
"Sensei, kami merindukan okaa-san," ucap Hinata dan Yuuta bersamaan.
Hati (Name) seperti mendapatkan luka yang sama dengan mereka. Merasakan sakit bagaimana keduanya menangis sebagaimana anak-anak yang merindukan ibunya.
Lalu apa yang bisa (Name) lakukan untuk menenangkan mereka? Menenangkan hal seperti ini tidak semudah menenangkan anak-anak yang menangis karena mainan yang rusak. Masalah yang dihadapi lebih dalam dari itu.
"Kalian tidak sendirian, sensei yakin okaa-san kalian juga merindukan kalian," ucap (Name). Tidak ada respon lain dari Hinata dan Yuuta selain tangisan.
Di bawah langit musim dingin yang menggigit. Kehangatan yang seharusnya ada itu benar-benar hilang. Hanya tersisa sepasang tangan yang menaungi tubuh mungil mereka. Memberi kehangatan walau hanya dalam waktu yang singkat.
Biarkan mereka mendapatkan kehangatan yang seharusnya mereka dapatkan hingga sampai pada waktu mereka bisa terbang bebas.
"Kalian adalah anak-anak yang kuat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top