┈─♡ 𝐒akuma 𝐑ei
HADIAH TANPA WUJUD
“ Memberikan Sesuatu yang Lebih Bermakna ”
Sakuma Rei x Reader
by :: Resaseki12
Musim dingin di bulan Februari memang sangat menyejukkan. Disisi lain dimana musim dingin akan berganti ke musim semi, [Name] jadi ingin menantikan saatnya tiba dimana kelopak bunga sakura yang berguguran membanjiri dirinya.
Membayangkannya saja, [Name] merasa sangat bahagia sekaligus sangat ingin mendambakan musim semi tersebut bersama dengan orang yang ia suka.
Bersekolah di sekolah khusus laki-laki memang sangat membosankan. Itulah pemikiran yang selalu ia pikirkan ketika baru pertama kali pindah sekolah sampai sekarang. Para siswa laki-laki yang ada disini saja tidak ada yang paling tampan melebihi om-om cebol yang suka main tebas titan di manga yang selalu ia baca.
Saat ini, [Name] sedang menikmati salju turun di tengah lapangan sekolah. [Name] tidak ingin mengikuti hobi salah satu kakak kelasnya yang suka berendam di air mancur. Bisa jadi patung es Liberti [Name] nanti.
"Jou-chan? Kenapa kau tidur disini lagi? Bukankah sudah Wagahai tawarkan untuk tidur saja di peti mati bersama?"
Suara ini, suara yang menyerupai lansia. Suara seorang salah satu murid yang suka sekali meniru gaya bicara orang tua. Tidak dipungkiri bahwa [Name] sangat mengenal suara itu bahkan menyukainya.
"Rei-senpai, jangan kesini. Ntar Ritsu cemburu sama saya."
"Khu khu khu, Jou-chan ternyata perhatian juga dengan Ritsu."
Sebenarnya bukan perhatian. [Name] bahkan tidak peduli bagaimana reaksi Ritsu setelah dirinya terlalu mendekat dengan Sakuma Rei yang notabene ialah kakak kandung Ritsu sendiri selagi masih ada Isara Mao. Bisa saja malah Ritsu yang cemburu dengan Rei karena terlalu dekat dengan [Name], salah satu orang yang ia akui selain Mao.
Mau disangkal bagaimanapun, Rei pasti akan tetap terus beranggapan bahwa [Name] sangat peduli dengan Ritsu. Rei jadi sedikit lebih tenang ketika mengetahui kenyataan itu. Padahal, semua hal yang [Name] lakukan pada Ritsu semata-mata hanya untuk memedulikan Rei saja agar tidak terlalu khawatir dengan keadaan adiknya.
"Sekarang tanggal berapa, Rei-senpai?" Tanya [Name] menutup kedua matanya dengan salah satu lengan.
Rei sempatkan untuk mengecek kalender yang ada di layar smartphone miliknya terlebih dahulu sebelum menjawab tanggal yang tertera di balik layar gelap itu.
"Tanggal 14 Februari."
Dengan rasa terkejut, [Name] bangkit dari tidur panjangnya di tengah salju lalu berlari menjauh meninggalkan Rei seorang diri.
Sebelum dirinya lebih menjauh lagi, [Name] berbalik dan berteriak pada Rei untuk menyampaikan sesuatu.
"Rei-senpai! Ritsu udah ngasih tau ke saya kalo Rei-senpai harus pergi ke ruang musik secepatnya! Ditunggu aja kalo Ritsunya ga ada!"
Tentu saja yang tadi itu bohong. [Name] tidak ingin kehilangan Rei saat dirinya tengah mempersiapkan suatu kejutan yang sangat luar biasa nantinya. Selagi seorang Sakuma Rei masih menyayangi adik semata wayangnya, [Name] harus bisa memanfaatkan atau menjual nama sang adik.
Memang kedengarannya kejam, tapi apa boleh buat. [Name] juga baru sadar kalau hari ini sudah memasuki hari Valentine. Niatnya ingin memberikan hadiah sebelum hari Valentine hilang begitu saja.
Sesampainya di kelas, [Name] merogoh isi tasnya terburu-buru. Namun nihil. Benda yang ingin [Name] cari tak ada di dalam tasnya.
Jantung [Name] mulai berdegup sangat kencang. Ingin bertanya dengan Natsume bagaimana benda itu bisa lenyap dengan ramalan, Natsume pasti akan meminta dirinya dibayar terlebih dulu sebelum meramal. Dengan uang yang pas-pasan, [Name] tidak ingin menyia-nyiakan uangnya untuk bertanya hal sepele.
"HO-KU-TO!!!"
Hidaka Hokuto yang mendengar namanya dipanggil dengan teriakan pun terlonjak kaget. Baru saja dirinya ingin memulai rapat penting dengan anggota Trickstar lainnya.
"Kamu liat benda yang dibungkus kado nggak?!" Tanya [Name] panik.
"Kalau yang kau maksud dari keranjang Anzu, aku melihatnya. Sekarang, Anzu sedang membagikan benda itu pada semua ora--"
"BUKAN ITU! TAPI DARI LACIKU!"
Mendengar penjelasan Hokuto barusan entah kenapa semakin membuat [Name] naik darah. Ia jadi sedikit kesal dengan sifat Anzu yang suka membagikan coklat pada semua murid laki-laki. Bukannya bagaimana, tapi melihat sifat Anzu yang seperti itu membuat [Name] kesal karena Anzu seperti mencari perhatian atau simpati dari orang-orang.
"[Name] ada buat coklat juga?! Pasti banyak 'kan?! Aku minta dong!!!" Subaru berteriak kegirangan lebih dulu. Ia menduga bahwa [Name] pasti sama dengan sifat Anzu yang suka membagikan coklat di hari Valentine.
"Ogah!" [Name] berlari menjauh selagi menduga satu orang yang akan mungkin mengambil coklat yang ia buat, "Mending aku buat satu coklat yang dikasih ke satu orang aja daripada buat banyak coklat untuk caper."
Tentu saja [Name] mengatakannya dengan gumaman. [Name] masih memiliki hati nurani kok, tidak seperti ketua OSIS Yumenosaki yang suka membubarkan unit seenaknya.
Melihat tangan [Name] yang terluka dan dibalut dengan perban saja sudah pasti [Name] akan mengatakan hal itu. Percayalah, dirinya tidak bisa masak walau perempuan tulen.
"RITSU!"
Suara teriakan dari kejauhan sukses membuat Ritsu yang awalnya tertidur menoleh padanya. Dilihat, [Name] dengan wajah memerah karena marah berlari mendatangi dirinya yang tak sengaja tertidur di bangku taman.
"Kamu makan benda yang dibungkus kado di laciku ya?!"
"Memangnya kenapa kalau iya~?"
Alis [Name] mulai berkedut tanda tak suka dengan jawaban Ritsu. Bagaimana bisa dia tau kalau [Name] sudah menyiapkan coklat yang dibungkus dengan kertas kado di lacinya? Padahal [Name] sengaja tidak memberitahukannya pada Ritsu agar dirinya tak seenak jidat memakan coklat yang dibuat dengan sepenuh hati seperti sekarang.
"Kamu baca surat itu?"
"Iya."
Bagus sekali. Sekarang [Name] sudah tidak berdaya untuk berdiri. Karena dari dalam surat itu, [Name] benar-benar ingin mengungkapkan isi hatinya dengan jujur pada seorang murid lansia. Pasti terdengar sangat memalukan ketika orang lain yang membacanya.
"Jujur saja, surat yang kamu tulis itu bikin perutku mual."
"Kalau udah tau, ngapain makannya dilanjutin?!"
"Aku kesal dengan Aniki. Kupikir, kamu sudah terpesona denganku."
Baiklah, masa bodoh dengan hal itu. Walau kasian, [Name] tak punya pilihan lain selain pergi dari sana dan menuju ke ruang musik seperti yang dijanjikannya pada Rei.
"Sedikit lagi!" Gumam [Name], terus menggumamkan kata-kata itu ketika berlari.
Sesampainya di ruang musik, ia melihatnya. [Name] dengan jelas melihat sesosok Sakuma Rei tengah memandangi salju turun di balik jendela kaca.
Jujur saja, sosok Sakuma Rei yang sekarang terlihat begitu menawan di matanya.
"Jou-chan. Kau sampai juga."
[Name] masih berusaha menetralkan napasnya begitu Rei berbalik dan berujar seperti ia tau bahwa yang datang adalah [Name] pada [Name].
"Sudah kuduga Rei-senpai tau kalau aku yang minta Rei-senpai datang ke sini."
"Khu khu khu, Wagahai tak setua itu untuk tidak tau siapa yang meminta tolong pada Wagahai dengan menyamarkan namamu dibalik nama Ritsu."
[Name] membalas dengan decihan karena gagal dirinya tidak bisa memberikan hadiah pada Rei di hari Valentine. Disisi lain, [Name] juga mengagumi kepintaran Rei.
"Maaf, Rei-senpai. Coklat itu--"
"Wagahai berikan pada Ritsu. Jadi kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri, Jou-chan."
[Name] membulatkan matanya terkejut. Seseorang yang ia duga sudah mengambil barangnya dari laci mejanya ternyata tidak mengambilnya. Pelakunya malah seseorang yang ia suka.
Tak ia duga, rupanya Sakuma Rei sudah tau itu semua.
"Rei-senpai." [Name] memanggil nama itu dengan lembut, membuat Rei seketika itu juga menoleh. "Rei-senpai sudah membaca surat yang ada di coklat itu?"
Tampak terdiam sejenak dengan mengelus dagu. Sepertinya, Rei tidak tau dengan surat yang [Name] maksud.
Baguslah kalau Rei tidak membacanya, pikir [Name]. Mungkin setelah ini, ia tidak akan memberikan hadiah yang pantas padanya. Salah satu hadiah yang [Name] akui 'pantas' malah dimakan seseorang.
"Lupakan. Aku harus kembali ke kelas."
"Tunggu dulu, Jou-chan."
[Name] menoleh mendengar namanya dipanggil.
"Untuk apa kau memanggil Wagahai kemari?"
Baiklah, pertanyaan ini termasuk pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh [Name] sekarang.
"Awalnya aku mau ngasih sesuatu," jawab [Name] ragu.
"Lalu, kemana 'sesuatu' yang kau maksud itu?"
Pertanyaan lanjutan Rei seakan semakin menampar [Name] ke kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa dirinya tidak bisa memberikan 'sesuatu' itu pada orang yang ia suka.
"Kalau 'sesuatu' yang kau maksud itu tidak ada, kenapa kau tidak memberikan yang lainnya saja sebagai pengganti 'sesuatu' itu?"
Alis [Name] berkerut bingung dengan pertanyaan Rei. Otaknya masih tidak sampai dengan pemikiran dewa milik Rei.
Rei paham dengan ketidaktahuan yang [Name] tunjukkan melalui ekspresi wajah. Setelah berusaha berdiri, Rei berjalan mendekati piano lalu memainkannya dengan lantunan melodi yang merdu saat [Name] mendengarkannya. Salah satu yang [Name] suka dari Rei ialah ketika Rei sudah memainkan sebuah alat musik, apapun itu. Semua lantunan melodi yang [Name] dengar saat Rei memainkannya akan terdengar sangat bagus di telinga [Name].
"Ini adalah kado spesial untuk Jou-chan."
Menekan beberapa tut piano secara perlahan, sedikit demi sedikit [Name] mulai paham lagu apa yang akan Rei mainkan.
"Kiss the Rain?" Tanya [Name] dalam gumaman. Ia sudah tau betul bagaimana melodi dari judul yang ia katakan karena [Name] sangat menyukai salah satu lagi dari komposer Yiruma, komposer dari Korea Selatan.
Instrumennya benar-benar sangat menyentuh hati, apalagi disaat Rei yang membawakannya. Air mata [Name] jatuh perlahan membasahi kedua pipinya.
Rei tidak mengatakan apa-apa setelah selesai membawakan sebuah lagu. Ia hanya menghela napas, lalu berdiri dengan maksud untuk mendekati [Name] yang masih berdiri tepat di belakangnya.
"Kenapa menangis, Jou-chan?" Tanya Rei, mengusap sisa air mata [Name] yang masih mengalir.
"Aku mulai paham maksud Rei-senpai," kata [Name] masih mengusap air matanya. "Rei-senpai bisa menunduk sedikit?"
Rei bingung, kenapa [Name] tiba-tiba menyuruhnya menunduk disela-sela dirinya yang tengah menangis. Walau begitu, Rei turuti saja apa mau [Name] dan segera menunduk.
Cup!
"Itu hadiah dariku karena Rei-senpai nggak dapet 'sesuatu' dariku."
Terkejut bukan main, Rei memegang salah satu pipi yang dikecup singkat oleh [Name] sebelumnya.
"Harusnya kalau Rei-senpai baca surat itu, 'sesuatu' yang ku maksud itu bisa aja sampai ke tangan Rei-senpai."
Dengan sigap, Rei memeluk tubuh mungil [Name] yang masih bergetar sesenggukan.
"Tidak perlu, Jou-chan. Wagahai yakin Jou-chan tau lirik yang dibawakan sama salah satu orang di lagu itu. Maka dari itu Jou-chan membalas hadiahnya dengan ciuman. Wagahai sangat mengerti maksud Jou-chan."
Mendengar penuturan Rei yang dimaksudkan bahwa [Name] sudah membalas pernyataan cinta Rei secara tidak langsung melewati lagu membuat [Name] semakin menangis kencang. Semakin ingin ia tahan, semakin [Name] tak bisa menahan tangisannya yang sudah meledak-ledak.
Disisi lain, Rei hanya menenangkan [Name] dengan dekapannya sambil sesekali mengelus kepala [Name].
Kesalahpahaman yang mereka alami selesai begitu saja melewati sebuah lagu, tidak seperti kebanyakan orang yang harus menjelaskannya dulu dengan kata-kata.
Ya, awalnya Rei sudah salah paham dengan [Name]. Rei pikir maksud [Name] mendekati Ritsu karena [Name] menyukai Ritsu. Ritsu juga sering menceritakan kedekatannya dengan [Name] padanya. Hal itu tentu saja sangat sukses membuat Rei meyakini pendapatnya bahwa [Name] benar menyukai Ritsu.
Namun karena masing-masing orang yang ada di ruang musik saling membagikan hadiah di hari Valentine membuat kesalahpahaman Rei pudar begitu saja. Rei sangat berterima kasih pada [Name] karena cinta mereka sudah saling terbalas tanpa diungkapkan secara lisan.
End ....
┈─♡ 1.741 words
by :: Resada
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top