┊ 001.2. The Beginning of the Paywall
.
.
.
.
.
Kim Dokja, pemeran utama dimensi ini, tertawa dalam hati. Ia mengedipkan matanya berkali-kali dan melihat lagi pada layar ponselnya jika apa yang dia lihat adalah benar. Jadi, orang ini... hadiah yang dia kirimkan padaku adalah salinan novelnya?
[You have obtained an exclusive attribute.]
[The exclusive skill slot has been activated.]
Ia mendengar pesan-pesan tersebut sesaat setelah memeriksa file tersebut. Tidak mengherankan, pikirnya. Jika dunia telah berubah menjadi dunia TWSA dimana semua orang harus bertahan hidup, maka semua orang yang berhasil bertahan hidup akan memiliki atribut dan keterampilan eksklusif.
Dokja diam-diam menggumamkan 'Jendela Atribut' dalam benaknya; dia perlu untuk tahu atribut apa saja yang dia miliki.
[You can't activate the Attribute Window.]
Apa? Ia kembali mencoba dengan mengatakan hal yang sama, namun hasilnya nihil; ia tetap tidak bisa mengaktifkan jendela atribut miliknya.
Ini tidak masuk akal, Dokja merasa kesal, perempatan imajiner muncul di pipinya sambil ia memandangi layar hologram yang menampilkan kalimat bahwa dia tidak bisa membuka jendela atribut, memangnya ada kasus yang seperti ini? Jika Dokja tidak bisa mengaktifkan jendela atribut, maka dia tidak bisa mengetahui atribut dan keterampilan apa saja yang dia miliki.
Mengetahui kemampuan diri sendiri dan lawan, dapat menjadikan seseorang menjadi individu tak terkalahkan. Namun, ini adalah situasi dimana Dokja bahkan tidak mengetahui kemampuannya sendiri, apalagi mengetahui kemampuan lawan.
Setelah memikirkan hal tersebut dengan waktu yang cukup singkat, Dokja akhirnya memilih untuk menyerah dan memutuskan untuk membaca salinan novel yang dikirimkan oleh penulis padanya.
[Your reading speed has increased due to the effect of the exclusive attribute.]
Dokja tidak tahu atribut apa yang dia miliki, namun karena pengaruh atribut itu, ia hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk menyelesaikan bagian awal novel tersebut.
Lalu, Dokja akhirnya menemukannya; ia akhirnya menemukan sumber dari perasaan ganjilnya pada situasi ini⸺pada bagian awal cerita, bagian dimana karakter utama melakukan beberapa 'tindakan' saat skenario di kereta berlangsung.
「Dia melihat orang-orang berkumpul di dekat pintu belakang gerbong 3707. Cincin pemantik granat yang dipegang erat terasa dingin.
Dalam kehidupan ini, dia benar-benar tidak bisa membuat kesalahan. Dia akan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Meskipun ekspresi ketakutan tercetak di wajah orang-orang, dia tidak merasa bersalah sama sekali.
Semua ini akan cepat berlalu.
Dia menatap orang-orang dengan sorot tanpa ampun. Setelah beberapa saat, ujung jarinya bergerak menarik cincin pemantik. Ledakan pun terjadi dan api membumbung. Kemudian semuanya dimulai.」
Dokja merasa dingin; ia merinding ketika membaca bagian tersebut, lagi dan lagi. Ternyata ini yang membuatku merasa tidak nyaman.
"...3707."
Gerbong yang Dokja dan [Name] tumpangi saat ini adalah gerbong 3807, gerbong yang berada tepat dibelakang gerbong sang protagonis berada. Dokja merasakan tangannya bergetar.
「Dia melihat melalui jendela buram yang membatasi gerbong 3807. Sudah terlambat. Semua tidak dapat dihindari. Bagaimanapun juga, hanya dua orang yang selamat dari gerbong itu.」
'Dua...,' [Name] mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan dua orang yang dimaksud oleh kalimat hologram dihadapannya ini, hingga akhirnya matanya berhenti pada seorang laki-laki bersurai putih, '...siapa namanya?'
Atas pertanyaan itu, sebuah jendela informasi mini muncul di hadapannya.
[Kim Namwoon (19)/Human]
[Delusion Demon (incarnation) (Modifier(s)); Abyssal Black Flame Dragon (Ways of Survival) (Constellation Sponsor)]
[Status: Soon to be deceased]
Tepat setelah ia selesai membaca jendela informasi mini itu, Kim Namwoon yang merupakan salah satu dari dua orang yang selamat dalam novelnya berjongkok dihadapan seorang wanita tua yang tengah meringkuk kesakitan.
Lantas, ia berkata, "Sial, aku sedang dalam suasana hati yang buruk dan wanita tua ini terus-terusan mengeluh! Tidak bisakah kau diam?"
Kim Namwoon adalah seorang siswa, selama kejadian ini terjadi, ia berdiri di dekat pinti masuk. Tubuhnya kurus dan rambutnya dicat putih, namanya dengan jelas tertulis di name-tag yang melekat pada seragamnya.
"Bukannya aku sudah memberitahumu untuk tetap diam?"
Kim Namwoon yang gelisah meraih kerah wanita tua itu dan mengangkatnya, menyebabkan kaki wanita tua itu tidak lagi menginjak lantai gerbong. Lantas, Kim Namwoon mengangkat tangannya dan melayangkannya di udara.
Pada kondisi normal, seseorang akan menghentikan aksi ini. Tapi, saat ini mereka tidak berada di dalam kondisi normal, tidak ada satupun orang yang bergerak untuk menghentikan Kim Namwoon. Kondisi ini sudah berbeda, nyawa mereka semua tengah berada di ujung tanduk, mereka tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menghentikan hal seperti itu.
Moral mereka telah menipis dan hanya dengan hitungan detik, mereka akan sepenuhnya berubah menjadi manusia baru yang tak bermoral.
[Name] bisa mendengar suara tinjuan yang keras mengenai daging. Beberapa pria di sekitar Kim Namwoon tampak ragu ingin menghentikannya, tetai pada akhirnya tidak ada satupun dari mereka yang bergerak. Hal mengejutkan, orang pertama yang bertindak adalah Han Myungoh.
"Anak muda, kenapa kau memperlakukan orang tua seperti itu?!"
Orang bodoh, [Name] berpikir, ia menebak bahwa orang itu masih belum mengerti bagaimana kondisi saat ini. Dunia ini telah hancur, semuanya sudah hancur, tidak ada lagi moral, peraturan, atau apalah itu⸺semuanya sudah hancur.
Tentu saja yang Han Myungoh dapatkan adalah perlakuan yang juga tidak sopan dari Kim Namwoon.
"Tuan, apakah kau ingin mati?"
"A-apa?"
"Kau masih tidak mengerti situasinya?"
"Omong kosong macam apa yang dikatakan bocah brengsek ini?"
Kim Namwoon menertawakan Han Myungoh yang merutukinya. Lantas, ia menunjuk pada layar hologram yang masih melayang di udara depan sana.
"Apa kau bisa melihatnya?"
Sebuah video diputar di layar hologram tersebut.
[L-lepaskan aku!]
[Mati! Mati!]
Bukan hanya gerbong kereta dan SMA Daepong, layar hologram itu juga menampilkan siaran langsung dari orang-orang yang sekarat di berbagai tempat. [Name] yang melihat itu melirik pada Gilyoung yang masih tidak mau mendongakkan kepalanya, wadah serangga itu masih aman dalam dekapan anak laki-laki ini. Dan di sana, Kim Namwoon terus bicara.
"Kau masih tidak mengerti? Tentara dan polisi tidak akan datang untuk menyelamatkan kita. Dan fakta yang jelas, seseorang harus mati."
"A-apa maksudmu...?"
"Kita harus memilih seseorang untuk mati."
Han Myungoh tidak bisa menjawab, ia merinding.
"Tentu saja, aku tahu apa yang kau pikirkan. Membunuh saudara senegaramu untuk bertahan hidup adalah sesuatu yang hanya akan dilakukan oleh para bajingan. Tapi kau tahu, ini adalah situasi diluar kendali kita. Kita akan mati jika kita tidak membunuh. Jadi, siapa yang akan menyalahkan kita? Apakah kau pada akhirnya akan memilih untuk mati begitu saja hanya karena mempertahankan moralitasmu itu?"
[Name] menyetujui apa yang Kim Namwoon katakan, orang yang mempertahankan moralitasnya pada situasi seperti ini akan mati lebih cepat dari yang bisa diperkirakan.
"Pikirkan baik-baik. Dunia yang kau kenal selama ini, baru saja berakhir."
Bahu Han Myungoh bergetar. Bukan hanya pria itu, semua orang yang ada di gerbong itu juga memiliki reaksi yang sama. Itu adalah pemandangan dimana moralitas mereka yang samar-samar mulai runtuh.
Dan Kim Namwoon meletakkan ganjalan pada kondisi itu. "Dunia baru membutuhkan hukum baru."
Kim Namwoon, seorang pemuda yang paling cepat beradaptasi dengan dunia baru ini. Dia berbalik dan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Kali ini, tidak ada satu orang pun yang menghentikannya⸺bahkan Han Myungoh. Lee Hyunsung pun juga tidak menghentikannya.
Tangan pria tentara itu mengepal kuat, dia menatap ke udara dengan ekspresi berat. Mungkin dia juga telah membuat keputusan sulit untuk tetap diam seperti itu.
'Orang bermoral ternyata memang sebaik itu, ya.'
[Oh? Moral, ya? Tumben sekali kau membahas tentang itu. Kau sendiri, punya moral tidak?]
[Name] menggeleng pelan, 'Sampah tidak berguna sepertiku tidak memiliki moral.'
Joesu dari tempat duduknya di seberang sana mengulas sebuah senyum puas, [Kenapa kau tidak memiliki moral, [Name]? Apa karena tuntutan sosial?]
'Iya. Mereka semua melihatku sebagai manusia yang tidak bermoral. Maka dari itu, aku adalah manusia yang tidak bermoral.'
[Kau benar-benar memperhatikan penilaian manusia, ya, [Name].]
'Tidak...,' matanya kembali pada Kim Namwoon yang sekarang sudah berhasil menghasut orang-orang ini, '...aku tidak peduli. Aku menyebut diriku seperti itu karena aku tidak tahu harus menyebut diriku apa.'
'Aku ini tidak berguna, Joesu.'
「Jika tidak ada pembunuhan dalam lima menit, semua orang di kereta ini akan mati.」
Emosi-emosi yang awalnya kacau itu, kini berubah menjadi sebuah emosi yang stabil dan penuh akan⸺ketidakmoralan.
"Ya, bocah brengsek ini benar. Jika kita tidak melakukan ini, semua orang akan mati."
Pria pertama bergegas mendekati Kim Namwoon dan mengikuti pemuda itu untuk menendang wanita tua yang tengah meringkuk.
"Apakah kalian lupa? Seseorang harus mati agar kita hisa hidup!"
"Ah, sial. Aku tidak peduli lagi."
Pria kedua dan ketiga bergerak. Orang-orang yang berdiri jauh dari wanita itu⸺para lelaki pengecut yang masih hidup, mahasiswa universitas yang merekam kejadian ini dengan ponsel, ibu dari seorang anak, dan Han Myungoh⸺mereka semua bergerak mendekati wanita tua itu dan mulai memukuli dan menendanginya. Mereka membawa keinginan yang sama: untuk mempercepat kematian wanita tua itu.
"Mati! Cepat mati!"
Mereka seperti petugas yang bekerja sama untuk melaksanakan hukuman mati. Seperti para petugas yang menarik tuas senjata pada saat yang bersamaan sehingga mereka tidak bisa mengatakan siapa yang membunuh tahanan. Orang-orang ini secara pasif menendang dan meninju wanita tua itu.
Dan [Name] serta Dokja yang berada di sisi berbeda memperhatikan itu semua. Mereka berdua hanya berdiam diri seperti orang-orang yang menyaksikan adegan yang terjadi di dunia lain.
Ada sebuah garis tak kasat mata yang menjadi pembatas bagi mereka; yang menjadi pengingat bahwa pada kenyataannya, mereka berdua hanyalah seorang pembaca, yang mengetahui bagaimana dunia akan berjalan dan berakhir.
Maka, dari ekor matanya, [Name] melihat bahwa Yoo Sangah, perempuan yang bersama Dokja sejak tadi bangkit dari duduknya. Sepertinya dia ingin menengahi dan menghentikan kegiatan berdosa itu.
Dokja meraih tangannya karena refleks, "Kau akan dibunuh juga jika mencoba menolongnya," ia menggeleng pelan, "sudah kubilang, jangan bergerak dan tetap diam di tempatmu."
Manusia-manusia seperti Yoo Sangah adalah manusia-manusia yang berada di kasta terbawah untuk bertahan hidup dalam sudut pandang [Name]. Mereka yang memiliki simpati dan empati adalah yang terburuk untuk dunia seperti ini⸺mereka tidak akan bertahan lama.
"Yoo Sangah-ssi, kau akan mati jika ke sana sekarang."
Mata Yoo Sangah bergetar ketakutan. Dokja menyadari sesuatu, meskipun genre cerita berubah, ada beberapa orang yang masih bersinar terang.
"Yoo Sangah-ssi, duduklah kembali."
Namun, orang yang bisa mengubah cerita ini bukanlah Yoo Sangah. Yoo Sangah bukanlah protagonis di dunia ini.
"Huh? Tapi⸺"
"Lakukanlah seperti yang aku katakan, sekali ini saja. Aku tidak akan menahanmu lagi di lain waktu."
Setelah secara paksa menempatkan Yoo Sangah kembali di kursinya, Dokja menarik napas dalam-dalam dan berbalik. Ia menegakkan tubuhnya dan menghela napas dengan keras. Ia mulai meregangkan pergelangan tangan dan pinggangnya.
"Dokja-ssi?"
Dokja mengabaikan panggilan Sangah dan memilih menatap orang-orang yang secara brutal menyerang si wanita tua. Ia yang diam saja selama kejadian itu berlangsung bukan karena dia takut dengan Kim Namwoon dan orang-orang itu, kenyataannya Dokja juga tidak menyetujui tindakan mereka yang sama sekali tidak manusiawi itu.
Dia hanya sedang menunggu⸺menunggu momen yang tepat untuk begerak.
Beberapa saat menunggu, sebuah suara ledakan memenuhi telinganya. Kereta berguncang, orang-orang berteriak ketika asap membumbung dari sudut kanan dan depan gerbong ini.
Sudah dimulai. 'Dia' akhirnya bergerak.
Dokja membuat tumpuan sekuat yang dia bisa dengan kaki kanannya, kemudian berlari ke arah wanita tua itu melewati orang-orang yang berteriak dan terjatuh.
Ia menabrakkan tubuhnya dengan Kim Namwoon dan menjatuhkan pemuda itu ke lantai. Jika dilihat sekilas, Dokja kelihatan seperti sedang mencoba menyelamatkan wanita itu, tapi itu bukanlah tujuan yang sebenarnya.
Dimana? Ia melihat sekeliling dengan cepat. Sampai pada akhirnya matanya berhenti pada Gilyoung dan [Name] yang masih duduk sambil berpelukan di belakang sana. Itu dia!
Dengan langkah yang cepat, Dokja menghampiri keduanya, "Permisi sebentar."
Ia menepuk bahu Gilyoung, berharap bahwa anak laki-laki itu akan memberikan respon padanya. Setelah anak itu melepaskan pelukannya pada [Name], pria itu menunjuk wadah serangga.
"Bisa aku minta wadah dan isinya?"
Gilyoung tidak langsung menjawab, ia menoleh pada [Name], dimana perempuan itu mengangguk padanya. Perhatian Dokja juga sekilas mengarah padanya, namun ia mengabaikannya karena waktu yang tersisa juga tidak terlalu banyak.
Gilyoung pada akhirnya memberikan wadah serangga tersebut pada Dokja yang membuat pria itu tanpa berpikir dua kali langsung membukanya dan mengambil serangga itu, menyerahkan dua serangga pada Gilyoung dan [Name] sebelum akhirnya ia menjauh dari sana.
"Semuanya, tolong berhenti. Kalian semua tidak akan bisa bertahan hidup jika kalian membunuh wanita tua itu."
Suaranya terdengar sangat jelas karena kesunyian sementara yang melingkupi gerbong setelah ledakan terjadi. Orang-orang, satu per satu mulai menatapnya.
"Misalkan saja kalian berhasil membunuh wanita tua itu. Lalu, apa selanjutnya?"
Wajah terkejut mereka kelihatan bagus di mata Dokja.
"Kematian wanita tua itu akan diakui untuk apa yang disebut dokkaebi sebagai 'pembunuhan pertama', dan itu dapat mengulur waktu yang ada. Lalu, bagaimana selanjutnya?"
Seolah mengerti, beberapa dari mereka mulai melirik panik⸺mereka akan tetap mati meskipun telah membunuh wanita tua itu.
"Jika apa yang dikatakan dokkaebi itu benar, kalian masing-masing harus membunuh satu, setidaknya. Jadi, siapa yang akan kalian bunuh setelah wanita tua itu? Apakah kalian akan membunuh orang yang ada di samping kalian?"
Mereka saling melirik, kaki mereka mulai mengambil langkah mundur. Kengerian mulai mengambil alih diri mereka. Saat ini mereka sepenuhnya sadar, kematian sang wanita tua itu hanyalah sebuah permulaan.
Sementara Kim Namwoon, ia memperhatikan atmosfer yang mulai goyah tersebut. Ia agak terganggu dengan apa yang Dokja katakan⸺pria itu mengganggu kesenangannya.
"Haha, apa yang kalian semua khawatirkan? Siapa yang harus dibunuh selanjutnya? Pengecut. Jangan khawatir tentang giliranmu yang akan tiba, karena semuanya memiliki peluang yang sama untuk dibunuh!"
Dokja tahu Kim Namwoon akan mengatakan sesuatu seperti itu. Maka dengan sedikit lambaian tangan, ia memotong ucapannya.
"Tidak perlu bertaruh seperti itu. Ada cara lain bagi kalian untuk bertahan hidup, bahkan kalian tidak perlu menjadi seorang pembunuh untuk itu."
Atas pernyataan itu, orang-orang menjadi gelisah dan ekspresi Kim Namwoon mulai berubah.
Dokja mengulas senyum samar, seolah dia tengah menikmati kondisi ini, "Apakah kalian lupa? Untuk menyelesaikan skenario ini, kita tidak harus membunuh manusia."
[Kill one or more living things.]
Benar. Sejak awal, kata 'manusia' tidak pernah ditentukan dalam isi skenario.
Bunuh satu atau lebih makhluk hidup. Dengan kata lain, kehidupan apapun bisa digunakan untuk menyelesaikan skenario. Dan setelah Dokja mengetahui bahwa orang-orang telah menyadari semuanya, senyumnya kini sedikit lebih lebar dari yang sebelumnya.
"Serangga! Serangga!"
Beberapa ekor belalang melompat-lompat di dalam wadah tersebut. Mata orang-orang bersinar, Dokja mengangguk melihat itu.
"Benar. Serangga."
Ia mengambil seekor belalang dari dalam sana dan memperhatikannya sekilas.
"B-berikan itu padaku! Cepat!"
"Hanya satu! Aku hanya butuh satu!"
Dokja melangkah mundur dengan perlahan ketika melihat orang-orang mulai bergerak mendekatinya. Saat ini, ia tengah menghadapi sekumpulan orang-orang yang meledak-ledak penuh kegilaan. Meskipun begitu, perlahan senyumnya semakin mengembang. Jantungnya berdebar kencang, adrenalinnya terpacu penuh antusias.
"Apa kalian begitu menginginkannya?"
Ia melambaikan wadah tersebut seperti seorang pelatih yang memprovokasi seekor binatang. Beberapa orang yang tidak sabar melompat ke arahnya.
"Kalau begitu, tangkaplah!"
[Oh~, ini kelihatan begitu menarik. Apa pemeran utama kita ini adalah psikopat?]
[Name] mendongak, 'Itu hanya sebuah euforia sesaat. Orang itu bukan psikopat.'
Setelah menjawab, ia menunduk dan memperhatikan belalang yang ada ditangannya. Ia meremukkan belalang itu tepat setelah Dokja meremukkan belalang miliknya. Gilyoung juga melakukan hal yang sama dan [Name] memandangi belalang yang kini telah remuk ditangannya.
Darah yang mengotori telapak tangannya, belalang yang hancur dan remuk⸺semuanya benar-benar begitu familiar dalam ingatannya, namun ia sama sekali tidak bisa mengingatnya.
Lantas, setelah cukup memperhatikan telapak tangannya yang kotor, [Name] segera merogoh totebag yang tersampir di bahunya dan mengeluarkan tisu.
"Gilyoung, kemarikan tanganmu. Biar aku bersihkan."
Gilyoung mengangguk patuh dan menyodorkan telapak tangannya pada [Name], "Noona, apa sekarang kita tidak akan mati?"
[Name] mengangguk pelan, "Kita tidak akan mati, Gilyoung. Kita akan selamat."
Setelah selesai membersihkan telapak tangan Gilyoung, [Name] kini membersihkan telapak tangannya sendiri. Gilyoung memperhatikan [Name], memandangi ekspresi yang kosong dan manik yang mati itu dengan seksama.
Dari sini, Gilyoung benar-benar bisa merasakan sesuatu dari [Name]⸺
"Noona."
"Ya?"
Kepala itu menoleh, memandanginya dengan manik obsidian mati yang terlalu hampa. Gilyoung menelan salivanya, "Tidak apa-apa."
⸺noona barunya ini mirip seperti seseorang yang tidak memiliki jiwa.
.
.
.
.
.
tbc! 2,6k word.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top