➤ [05]
"Aku tidak melihatmu di dalam mansion selama beberapa hari ini, Haru."
Laki-laki bersurai permen kapas itu menelan salivanya dengan sedikit panik, tangannya tersembunyi di balik tubuhnya, dan memijat jemarinya dengan keringat dingin yang mengucur dari keningnya.
"Apa kau memiliki urusan penting sehingga kau hampir menelantarkan tugasmu sebagai tangan kananku?"
Sepanjang pembicaraan itu, Kyouki sama sekali tidak memberikan atensinya pada Haruchiyo. Ia sibuk dengan berkas-berkasnya, membuat Haruchiyo merasa gugup setengah mati.
"M-maaf, nona. A-aku tidak sempat meminta izin padamu."
Kyouki menghela napas berat, meletakkan bolpoinnya dan mendongak. "Haru, kemari."
Haruchiyo melangkah dengan ragu pada posisi yang Kyouki tunjuk, setelah berdiri di sana, Kyouki memintanya untuk berlutut. Gadis Yuuma itu menghela napas, memandangi wajah cantik yang bisa menandingin kecantikan gadis bangsawan manapun, lantas ia tersenyum tipis dan mendaratkan sebuah kecupan pada kening Haruchiyo.
"Tidak apa-apa, Haru. Aku hanya khawatir. Aku khawatir bahwa kau berada dalam bahaya saat aku tidak tahu. Aku tidak tahu kau ada di mana dan aku takut jika mereka mencelakaimu."
Tangannya menangkup wajah Haruchiyo, menempelkan keningnya pada laki-laki itu sambil mengembus napas pelan, "Setidaknya, lain kali tolong katakan padaku kau ingin ke mana, ya? Dengan begitu, aku bisa melacakmu dengan mudah jika kau sedang dalam bahaya."
"Mengerti, kan?"
Haruchiyo mengangguk sambil memejamkan matanya, merasa hanyut dalam kehangatan yang Kyouki berikan. Ibu jari gadis itu mengelus kedua lukanya dengan irama yang senada, membuatnya menghela napas getir karena ia benar-benar tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini, apalagi setelah kejadian itu⸺dia malah selalu di salahkan.
"Nah, sekarang, kembalilah bekerja. Banyak yang harus kita urus setelah lama tidak kembali ke Yuuma."
Haruchiyo kembali berdiri, tetapi ia tidak langsung beranjak pergi dari sana. Ia memijat jemarinya ingin mengatakan sesuatu, namun tidak memiliki keberanian untuk itu. Kyouki menyadarinya dan ia menautkan alis lantas bertanya;
"Apa ada yang ingin kau bicarakan, Haru?"
Haruchiyo melirik kanan dan kiri dalam panik, ia kesulitan merangkai kalimat karena rasa takut yang menguasai dirinya. Melihat Haruchiyo yang panik dan takut, Kyouki bangkit dari duduknya dan meraih tangan laki-laki itu untuk membawanya duduk di sofa ruang kerjanya.
Di dudukkannya Haruchiyo di sana, lantas kali ini dirinya yang berlutut di hadapan laki-laki bersurai permen kapas itu. Haruchiyo semakin panik melihat nona-nya berlutut di hadapannya, namun Kyouki melemparkan senyum menenangkan padanya.
"Katakan padaku, Haru," ia mengelus punggung tangan laki-laki itu, "apa yang membuatmu panik dan takut?"
". . .shi."
Kyouki mendekatkan wajahnya, "Ya, Haru? Ada apa?"
"A-akashi."
Wajah gadis Yuuma itu melembut ketika mendengar Haruchiyo mengatakan marga keluarganya. Ia mengelus kepala laki-laki tersebut, "Ah, kau mengkhawatirkan perayaan hari jadi Kekaisaran Yokubou dua minggu lagi?"
Haruchiyo mengangguk, "A-apa nona a-akan menyerahkanku kembali p-pada mereka?"
Kyouki mengurung Haruchiyo dengan menumpukan kedua sikunya di atas sofa, "Kau ingin kembali pada mereka?"
Haruchiyo menggeleng dengan agresif dan putus asa. Iris cerahnya mengisyaratkan keputus-asaan bahwa dia benar-benar tidak ingin kembali pada Kekaisaran tersebut, pada keluarganya.
"Itu jawabanku. Kau tidak akan kembali ke sana," ia melempar senyum hangat, "semua itu adalah pilihanmu. Jika kau ingin kembali, aku tidak akan melarangmu. Tapi, jika kau ingin menetap di sini, aku akan mempertahankanmu dengan segala hal yang aku miliki."
Mata itu melebar dengan jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Kyouki menggenggam kedua tangan tersebut dengan lembut dan mengelus punggung tangannya.
"Kebebasan itu adalah milikmu. Hakmu dan pilihanmu. Aku tidak berhak ikut campur, aku tidak berhak menentukan pilihanmu. Itu semua adalah milikmu."
"Aku hanya punya tugas untuk merealisasikannya, Haruchiyo."
Tanpa Haruchiyo sadari, satu bulir air mata jatuh, kemudian menit berikutnya diikuti oleh bulir air mata lainnya. Ia dengan lancang memeluk Kyouki dan menangis sesenggukan dalam pelukan gadis tersebut. Haruchiyo merasa lega, karena selama ini dia takut; takut bahwa dia akan dikembalikan ke sana, ke neraka yang tidak ingin ia ingat-ingat lagi.
Haruchiyo takut; dia depresi dan putus asa.
"Tenang, Haru. Selama kau masih ingin di sini, aku akan mempertahankanmu."
"Ma-maaf, nona. . .," ia terisak lebih keras, "a-aku sudah sa-salah paham padamu."
Kyouki mengangguk, mengelus punggung Haruchiyo dan kepalanya. "Itu bukan masalah, Haru. Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja."
Setelah itu, Kyouki melepas pelukan dan mengusap air mata Haruchiyo. Ia mengulas senyum hangat lalu mengecup kening Haruchiyo.
"Nah, sekarang, kembalilah bekerja. Aku butuh bantuanmu untuk membantuku mengerjakan semua pekerjaan yang kita miliki."
Haruchiyo mengangguk, kemudian mengikuti Kyouki yang berdiri. Ia mengulas senyum dan memeluk Kyouki sekali lagi sambil mengeluskan wajahnya pada bahu gadis Yuuma itu. Maka, setelah itu, ia keluar dari ruangan Kyouki, meninggalkan gadis itu yang sedang terpaku pada apa yang baru saja terjadi. Detik berikutnya, Kyouki tertawa pelan dan mengembus napas panjang.
"Lihat, kan, Torio?"
Torio muncul dari balik tirai gelap ruangannya, dengan ekspresi lembut yang kelihatan senang dirinya menghampiri Kyouki yang sekarang sudah duduk kembali di kursi kerjanya. Torio juga menghela napas, lalu berdiri di sisi Kyouki, memperhatikan gadis itu mengerjakan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga yang baru.
"Dia mendapatkan informasi bahwa aku akan mengembalikannya pada Akashi, atau bahkan yang lebih parah menjualnya pada Kekaisaran Yokubou," ia tertawa pelan, menandatangani beberapa berkas sambil kembali melanjutkan, "lucu sekali, dia terlalu percaya padaku meskipun kita baru bersama selama empat tahun."
"Menarik, kan, dramanya?"
Torio tersenyum dan mengangguk, "Iya, nona. Dramanya menarik, saya terhibur menontonnya."
Kyouki terkekeh pelan, iris emasnya menyala berbahaya, hatinya dipenuhi oleh kepuasan menyadari bagaimana Haruchiyo begitu mudah percaya padanya meskipun mereka baru saja bersama selama empat tahun. Lantas, ia menghela napas pelan dan panjang, "Sayang sekali dia memilih untuk mengkhianatiku, Torio."
"Padahal, dia benar-benar tipeku. Aku akan menempatkannya di posisi tertinggi di kediaman ini jika saja dia tidak berkhianat."
Torio melangkah maju hingga dia kini berdiri hanya beberapa senti di belakang Kyouki. Menyadari bahwa Torio berada terlalu dekat di belakangnya, ia mendongak dengan alis tertaut.
"Ada apa, Torio?"
"Bagaimana denganku, nona?"
"Ya?"
Torio tidak menjawab ataupun mengulang pertanyaan, iris hijaunya hanya memandang iris emas Kyouki dalam diam yang membuat Kyouki mengulas senyum sambil menghela napas pelan.
"Bagaimana mungkin aku bisa menggantikan posisimu? Kau terlalu setia untuk aku buang, Torio."
⸺ 「𝐀𝐍𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑 𝐖𝐎𝐑𝐋𝐃.」 ⸺
"Yang Mulia Manjirou!"
Laki-laki bersurai pirang itu menoleh dan menemukan seorang gadis bersurai putih sedang melambaikan tangannya dan tersenyum di kejauhan.
Manjirou mengulas senyum manisnya dan membalas lambaian tangan gadis tersebut. Si gadis melangkah dengan suasana hati yang bagus pada Manjirou, lalu merentangkan tangannya untuk memeluk laki-laki bersurai pirang tersebut.
"Selamat siang, Nona Shion," Manjirou menyapa dengan ramah ketika gadis itu sudah memeluknya, "Apa kabar Anda hari ini?"
Si gadis, Shion, terkekeh pelan dan melepaskan pelukannya, menjawab salam tersebut sambil membungkuk sopan, "Hormat saya kepada Putra Mahkota Ikari, selamat siang Yang Mulia. Kebetulan kabar saya baik-baik saja."
Manjirou tersenyum dan mengarahkan tangannya menuju pucuk kepala Shion untuk dielus, "Apa Anda ingin bicara dengan saya?"
Shion dengan cepat mengangguk, senyum lebarnya terulas yang membuat Manjirou tertawa pelan. Lantas, laki-laki pirang tersebut mengulurkan tangannya, disambut dengam begitu senang hati oleh Shion sendiri, dan kemudian mereka melangkah menuju taman belakang istana tersebut.
Selama di perjalanan menuju taman belakang, Shion tidak pernah melunturkan senyumannya, aura disekitarnya terlalu cerah dan berbunga-bunga, membuat beberapa pelayan yang berpapasan dengan mereka harus menutup mata dan membungkuk sedikit lebih lama ketika memberikan salam pada Manjirou.
Semua pelayan di istana itu tahu bahwa Shion adalah pengunjung regular Tuan Putra mereka dan mereka juga tahu bahwa Shion diperlakukan seperti seorang Tuan Putri tidak hanya oleh Manjirou, tapi juga oleh Izana, Tuan Putra Kedua. Setidak-sukanya mereka pada Shion, mereka masih sayang nyawa daripada harus menindas dan memperlakukan Shion dengan kasar.
Tidak ada satupun orang di istana yang menyukai Shion; adalah fakta.
Manjirou dan Izana tahu, bahkan Shinichiro pun tahu. Namun, Shion sama sekali tidak sadar⸺entah dia yang memang tidak bisa mengetahui hal itu, atau dia memang benar-benar gadis bodoh.
Shion, Nona Muda Ryuuzaki, sebuah keluarga Marquess di Kekaisaran Ikari, adalah gadis yang cukup menyebalkan. Meskipun cantik dan kelihatan baik, tidak semua orang di Kekaisaran menyukainya, bahkan kaisar sendiri.
Namun, untuk beberapa hal, Shion adalah alat yang berguna.
"Jadi, bagaimana dengan rencana yang pernah kau ajukan padaku, Shion?" tanya Manjirou sambil menyesap tehnya, Shion menautkan alisnya ketika mendengar pertanyaan tersebut.
"Uhm, Manjirou, aku kemari tidak⸺"
"Shion, bagaimana rencananya?"
"Manjirou, aku sudah bilang, aku kemari buk⸺"
Kalimatnya terhenti ketika Manjirou meletakkan cangkirnya dengan cukup agresif hingga menimbulkan dentingan yang cukup keras, Shion terlonjak mendengarnya, apalagi ketika dia melihat ekspresi dingin dan jauh yang Manjirou pasang.
Shion merinding.
"Apa kau sudah lupa perjanjian kita, Shion?" tanyanya dengan nada rendah yang gelap, iris obsidiannya yang mati sama sekali tidak mengarah pada Shion, ia sibuk menambahkan gula ke dalam cangkir tehnya
Shion menelan ludah, merasa begitu tertekan dengan atmosfer yang ada disekitar mereka. Lantas, ia memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Manjirou, "A-aku tidak lupa, Manjirou."
Manjirou mengangguk, mengaduk teh di dalam cangkirnya untuk mencairkan gula yang baru saja ia masukkan. Bibirnya tertarik untuk mengulas sebuah senyum tipis yang dingin, "Lalu, untuk apa kau datang ke sini jika bukan untuk membahas rencana tersebut?"
"A-aku hanya ingin me-mengunjungimu. . . a-aku khawatir k-kau akan terbebani d-dengan kehadiran P-Panglima Yuuma," jawabnya pelan dengan takut.
Cengkeraman Manjirou mengerat pada pegangan cangkir tersebut, senyum tipisnya semakin berubah dingin, begitu juga dengan sorot matanya yang memandangi refleksi wajahnya pada teh di cangkirnya.
"Apa yang kau khawatirkan? Panglima itu bukan apa-apa. Dia juga akan musnah dengan mudah seperti Yuuma yang lain. Buang saja rasa khawatirmu itu, aku sama sekali tidak membutuhkannya."
Shion mencengkeram gaunnya, kepalanya yang sudah tertunduk semakin tertunduk. Sambil menggigit bibir bawahnya menahan gejolak takut yang berlebihan, Shion berusaha menenangkan dirinya yang gemetaran karena intimidasi yang Manjirou berikan padanya.
"Hubungan kita tidak lebih dari sebatas kenalan yang kebetulan memiliki tujuan yang sama. Jangan berharap pada sesuatu yang tidak akan mungkin bisa kau dapatkan dan fokuslah pada tujuan yang kau inginkan."
"Perasaanmu itu tidak berguna dan hanya akan menghambat rencana sempurna ini, Nona Ryuuzaki."
Hatinya mencelos ketika mendengar betapa mudahnya Manjirou melontarkan pernyataan tersebut, dadanya sesak dan ia seperti ingin menangis. Karena terlalu fokus pada pikirannya, Shion tidak menyadari bahwa Manjirou telah berdiri dari duduknya. Ia baru sadar ketika tangan Manjirou mencengkeram wajahnya dan menolehkan paksa kepalanya.
Iris hijaunya bertemu dengan iris obsidian yang memandangnya dengan dingin dan bengis, matanya melebar dan tubuhnya gemetar hebat di bawah intimidasi Manjirou.
"Dengar ini baik-baik, Nona Ryuuzaki," Manjirou mendesiskan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, tangannya semakin kuat mencengkeram rahang Shion membuat gadis itu meringis. "Awalnya, aku pikir kau menyenangkan untuk aku miliki sebagai tunanganku. Aku pikir, dengan otak cerdasmu itu, kau bisa membantuku untuk naik tahta menjadi kaisar nantinya."
"Aku menjadikanmu tunanganku, membiarkanmu bertingkah semaumu dihadapan para bangsawan, dan membiarkanmu dengan bebas memasuki istana ini, karena aku pikir kau akan begitu berguna untuk rencanaku."
Matanya semakin melebar, seolah jika sedikit lagi mata itu melebar, maka bola matanya akan keluar. Oksigennya mulai menipis, Manjirou benar-benar menekannya hingga ke titik ini. Kilatan mematikan itu juga masih belum hilang dari iris obsidian yang mati itu.
Shion seolah merasa nyawanya dicabut dengan perlahan dan begitu menyakitkan.
"Tapi lihat ini, kau malah terjebak dengan perasaanmu dan jatuh cinta padaku? Sedangkal dan se-naif itukah dirimu sampai bisa jatuh cinta padaku?"
Manjirou menghempaskan wajah Shion hingga tertoleh ke samping. Menepuk-nepuk tangannya seolah sedang membersihkan kotoran dan debu dari sana. Sorot matanya begitu tajam dan dingin, Shion bisa merasakan itu dan dia merasa tidak berdaya.
"Fokuslah pada rencana sempurna ini, tidak ada yang membutuhkan perasaanmu terlibat dalam rencana ini."
"Fokus atau posisimu terancam dicabut."
Adalah hal yang Manjirou ucapkan sebelum dia membalikkan tubuh dan pergi dari sana. Meninggalkan Shion yang sekarang sedang meraup banyak oksigen sambil bertumpu pada meja, pupilnya bergetar, begitu juga dengan seluruh anggota tubuhnya. Ia tidak sanggup berdiri, sisa-sisa intimidasi dari Manjirou masih berdampak padanya.
". . .tidak. . . seharusnya tidak begini. . .," ia menggumam pelan dan emosinya mulai tidak stabil, ". . .Manjirou. . . Manjirou seharusnya mencintaiku. . . di-dia seharusnya cinta mati. . . padaku. . .."
". . .M-Manjirou-ku. . .."
Tangannya mencengkeram surai putihnya hingga berantakan dan bandonya terlepas, napasnya terengah dan dia sedang berada dalam tahap denial.
"Ini semua karena perempuan itu," iris hijaunya berkilat selamat beberapa saat, giginya bergemeletuk, dan tangannya yang lain mencengkeram kain putih yang membalut meja di depannya.
"Karena dia. . . karena dia. . . M-Manjirou-ku tidak bertingkah seperti yang seharusnya," ia kemudian menggigit ibu jarinya, kepanikan dengan jelas tercetak di wajah cantiknya, ". . .perempuan itu tidak berperan seperti yang seharusnya. . . di-dia mengabaikan perannya. . . d-dia⸺di-dia mengacaukan semuanya. . .!"
Beberapa pelayan mendekat untuk membereskan meja, tapi berhenti ketika Shion dengan tiba-tiba menolehkan kepalanya pada mereka dan senyum gila tercetak di wajahnya, bersamaan dengan iris hijaunya yang berkilat mengerikan.
". . .harus mati. . .," ia tertawa pelan, surai yang berantakan dan ekspresi yang mengerikan, para pelayan yang mendekatinya merinding, ". . .perempuan itu harus mati. . . dia⸺dia membuat Manjirou-ku berpaling. . . dia harus tersiksa."
Dan hari itu berakhir dengan Shion yang kembali ke kediamannya dengan ekspresi gila dan iris hijaunya yang terus menyala berbahaya.
Ia akan merencanakan sesuatu yang besar untuk perempuan itu.
Untuk Kyouki.
Untuk kematian Kyouki.
.
.
.
RYUUZAKI SHION.
Also Known As:
「The Heroine」
「The Fiancé of Crown Prince」
「Young Miss of Ryuuzaki Household」
tbc!
halo~! sebenarnya aku mau pakai rashta sebagai face claim shion, tapi gajadi karena nanti aku bisa overhate sama shion dan pasti akan berpengaruh sama jalannya cerita. anw, kalau ada typo tolong di tandai, ya! nanti aku perbaiki! dan sampai ketemu di bab berikutnya~! dadah~!
-arte♡.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top