20 : Sebuah Cerita

Selamat membaca...

.
.
.
.

Yok komen yang banyak biar double up!

.
.
.
.

👻[ New Version ]👻

.
.
.

[][][][][][][][][][][][][][][]

Sudah 20 menit berlalu dan hal itu mereka berdua habiskan hanya untuk saling mendiamkan. Keduanya, yang tak lain adalah Ali dan Evan, sama sekali tak ada yang mau membuka percakapan lebih dulu. Pikiran mereka sibuk berkelana entah ke mana.

Ali mulai bergerak risau. Rupanya ia mulai tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan, tetapi ia bingung harus memulainya dari mana.

Sekali lagi, Ali melirik Evan. Kali ini ia berdeham membuat Evan menoleh ke arahnya.

"Itu ... serius itu bukan punya lo?" tanya Ali, masih setengah percaya setengah tidak soal pisau lipat yang ia temukan di kamar Evan.

"Serius, lah. Buat apa juga gue boongin lo?"

"Ya buat cari aman. Goblok ya lo?"

Lalu sebuah tabokan mendarat keras di paha Ali. Ali mengaduh dan menyumpah serapahi Evan akan hal itu sambil mengusap-usap pahanya yang terasa panas dan nyut-nyutan.

"Makanya jangan sembarangan lo kalo ngomong! Gini-gini gue berhasil masuk peringkat sepuluh besar," sungut Evan.

"Masuk sepuluh besar dari belakang aja bangga. Lo sama gue lebih pinteran gue kali. Gue peringkat 24, lo peringkat 25," balas Ali, membenarkan.

"Berarti Izroil lebih goblok daripada gue. Gue peringkat 25, dia peringkat 26."

Begitulah mereka. Peringkat saja bagai jejeran motor di parkiran. Mungkin isi kepalanya hampir sebelas dua belas. Namun begitu, Ali bersyukur masih bisa unggul dari keduanya. Mendapat peringkat ke 24 dari 30 jumlah murid di kelasnya.

Suasana di sekitar Evan mendadak sunyi dan mencekam, saat Ali tiba-tiba tambah memepetkan duduknya di samping Evan.

Perlahan tapi pasti, Ali mulai mendekatkan wajahnya pada wajah Evan. Membuat Evan panik dalam hati, namun tindakan yang ia lakukan selanjutnya justru menutup mata.

Ali menoyor wajah Evan ke belakang yang sontak membuat Evan hampir terjengkang.

"Ngapain lo tutup mata?!" semprot Ali.

Evan lantas membuka matanya dan mendekus tak terima. "Lo sendiri ngapain nyosor-nyosor ke gue?"

"Gue mau bisikin lo sesuatu, njir. Emang lo kira gue bakal ngapain? Nyium lo? Yahaha najong tralala lah!"

"Kan lo bisa ngomong di sini. Nggak usah bisik-bisik segala! Kaya lagi di tempat umum aja lo." Evan semakin kesal dibuatnya. Namun, berhubung karena ia penasaran dengan apa yang semula ingin Ali bisikan padanya, akhirnya Evan pun kembali bertanya, "Emang lo mau bisikin apa sebelumnya?"

Jari telunjuk Ali bergerak, mengisyaratkan Evan untuk mendekat. Evan yang tak mau membuang banyak waktunya memilih menurut saja, biar cepat kelar.

"Lo yang bunuh Delima?" tanya Ali to the point.

Raut keterkejutan tergambar jelas di wajah Evan. Ia kaget karena Ali mengenal Delima. Dan ia juga tak menyangka jika Ali akan bertanya soal sesuatu yang tak pernah orang lain pikirkan sebelumnya.

"Nginjek uler aja gue nggak berani apalagi bunuh orang," balas Evan, wajahnya terlihat serius tanpa kebohongan. "Tapi, Li. Lo ... kenal Delima? Dari mana?"

"Kepo lo kaya wartawan." Ali terkekeh penuh kemenangan. Sepertinya hari ini ia lebih banyak membuat Evan darah tinggi karena sikapnya yang menjengkelkan. "Terus, terus? Lo tau sesuatu nggak soal kematian Delima?"

"Kepo lo kaya wartawan!" Evan balik membalas pertanyaan Ali dengan jawaban yang sempat Ali berikan padanya.

"Dih, malah julid. Ini penting woy!"

"Iya, dah. Tapi kalo gue jawab pertanyaan lo, lo juga mesti jawab pertanyaan gue."

"Iya-iya. Udah ah buruan!"

Evan diam cukup lama, mengehela napas sebelum kemudian menyiapkan diri untuk menceritakan cerita kelam tersebut.

"Polisi nemuin mayat Delima di pinggir sungai. Bukan cuma itu, ternyata ada bekas gorokan di urat nadinya. Polisi terus coba cari tahu dan mereka nemuin silet di sisi pembatas jalan yang diduga tempat Delima berdiri sebelum kejadian."

"Maksud lo, dia gorok urat nadinya sendiri?"

"Iya, tapi itu kata polisi. Karena di situ cuma ada sidik jari Delima. Polisi bilang, ada kemungkinan orang yang gorok urat nadinya sendiri itu nggak langsung mati, jadi ada dugaan lain yang bilang kalo setelah gorok urat nadinya, Delima mungkin aja langsung mutusin buat loncat dari tempat kejadian."

"Lo percaya?"

Evan tersenyum miring, kemudian ia menunduk dan menggeleng lemah sebagai jawaban.

"Dari dulu gue percaya, kalo Delima mati dibunuh, bukan bunuh diri," kata Evan. "Gue selalu curiga kalo pembunuhnya itu Izroil, karena dia selalu diem pas gue tanya soal pembunuh Delima. Dan karena Delima mau ditunangin sama gue waktu itu ... jadi gue pikir Izroil bunuh Delima karena dia marah."

Ali menengadahkan kepalanya yang kini terasa pusing. Jika bukan Evan pelakunya, maka yang tersisa sekarang adalah Izroil.

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Di pinggir jalan yang sepi, Tuyul No berdiri seorang diri menunggu kemunculan Ali. Ia sudah mondar-mandir ke sana kemari dan celingak-celinguk tanpa henti hanya untuk berbagi informasi.

Sebenarnya bisa saja sih Tuyul No langsung mencari keberadaan Ali tanpa harus capek-capek menunggu seperti saat ini. Tetapi sayangnya Tuyul No sudah keburu PW. Ia juga takut dibilang jomlo oleh hantu lainnya apabila keluyuran sendiri.

Tuyul No merekah begitu ia mulai melihat batang hidung Ali yang tengah berjalan ke arah jalan yang lain.

"Bang?!" panggil Tuyul No sambil keprok-keprok tangan. Ali yang berada lumayan jauh dari Tuyul No jadi tidak mendengarnya.

"Bang Ali?! Woeeee, Bang?! Woeee prikituw!" Tuyul No kembali memanggil, kali ini lebih ngegas dari sebelumnya.

Lantaran kesal karena Ali yang entah kenapa hari ini budegnya sangatlah naudzubillah himindzalik, Tuyul No pun akhirnya memutuskan untuk berlari mengejar lelaki itu dan menyeruduk pantat Ali dari belakang. Alhasil, Ali berhasil nyusruk ke depan dibuatnya.

"Ini tuyulnya siapa, sih?!" gerutu Ali. Ia lalu bangkit dan berbalik menatap pelaku. "Oh ... jadi elo? Tuyul nano nano milky."

"Gue Tuyul No, Bang!" balas Tuyul No dengan tersungut-sungut.

"Bodo amat. Eh, omong-omong ... tumben lo sendiri, mana si Joni?"

"Tuyul Jon, Bang!"

"Iya itu. Mana dia?"

"Ada di rumah. Tuyul Jon kasian banget."

"Kenapa?"

"Nggak pampers-an."

Ali berpikir sejenak untuk mencerna ucapan Tuyul No. Nggak pampers-an yaa?... Barulah ia tertawa begitu ia paham dan mulai membayangkan apa yang kini tengah dialami Tuyul Jon di rumahnya.

"Bagus-bagus! Biarin aja dia di rumah, biar burungnya nggak terbang." Kemudian Ali lanjut tertawa setelah mengatakannya.

Tuyul No mencibir. Jika saja tadi masih ada stok pampers di Hantu Mall Story, mungkin Tuyul Jon sudah ikut bersamanya.

[][][][][][][][][][][][][][]

.
.
.
.

Cie yang lagi nggak digantung

.
.
.
.

Sampai jumpa diupdate-an selanjutnya❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top