EPILOG

"Kalau sampe lo sakitin Pita, lo sendiri yang bakal gue jadiin odading wijen."

Ali menatap berang pada Evan yang terkekeh sinis padanya. Kali ini Pita dibuat terkejut karena Evan melihat keberadaan Ali. Sembari bertanya dalam hati, apa mungkin Ali yang ada di hadapannya ini adalah ... manusia? Ali beserta raganya?

"Satu tahun lebih gue nggak liat lo. Gue pikir mati," kata Evan sambil memberi seringaian yang kini memperjelas siapa dia yang sebenarnya.

"Lo gila apa gimana? Yang bunuh adik lo itu bukan Pita maupun Reta. Lo nyalahin mereka yang cuma diem aja pas tahu adik lo dibuli. Tapi lo sendiri ke mana waktu adik lo dibuli?!" amuk Ali lalu tertawa mengejek padanya.

"Lo itu seangkatan gue. Gue tahu lo paling top di sekolah. Lo nggak mau adik lo dibuli, tapi lo juga nggak mau mereka tahu kalau Belinda si pincang yang manis itu adalah adik lo. Jadi di sini, siapa yang paling sampah?!" lanjut Ali. Ali mendorong dada Evan dengan jari telunjuknya.

"LO NGGAK NGERTI!" sergah Evan dengan napas memburu, "gue pengen bela Belinda. Gue pengen buktiin kalau gue pantes disebut kakak. Tapi apa yang bisa gue lakuin kalau dia nangis ke gue dan mohon buat nggak bocorin hubungan gue sama dia?!" Perkataan Evan kian melemah di akhir.

Pita perlahan menyingkir dari belakang Evan dan bersembunyi di balik Ali.

"Setelah nyokap dan bokap gue nggak ada ... di sini cuma dia yang gue punya. Gue percaya Reta bisa jagain Belinda karena dia adalah temennya. Tapi Reta nggak jauh beda kayak cewek yang ada di belakang lo!" Evan menunjuk Pita, "Reta ... sepupu lo itu jauhin Belinda, Li! Dia bodo amat pas Belinda dibuli sampe akhirnya bunuh diri."

"Terserah lo mau ngomong apa! Gue nggak peduli! Gue nggak mau ikut campur terlalu jauh sama urusan lo pada!" Ali balas menggertak lalu memungut benda yang barusan ia lempar ke kepala Evan. Benda itu adalah notes. Ali mendorongnya pada dada lelaki itu.

"Punya sepupu lo?"

Ali menggeleng. "Adik lo."

Evan terbungkam. Dengan perasaan berdebar dan tidak sabaran ia langsung membuka notes tersebut dan membuka lembaran pertama.

Hai? Aku Belinda Bawenda. Aku ingin normal seperti yang lainnya. Tapi sayangnya Tuhan sudah menetapkan takdirku untuk hidup seperti ini.

Semangat, Belinda!!

Sungguh, Evan tidak sanggup untuk membuka lembaran berikutnya jika lembaran pertama saja berhasil membuat setetes air mata mengalir begitu saja. Tetapi bagaimanapun juga ia penasaran dengan apa yang disampaikan Belinda melalui tulisannya.

Untuk kak Evan. Maafin aku, ya? Aku tahu aku ada kekurangan. Makanya aku nggak mau orang sesempurna Kakak yang dipuja banyak anak sekolah jadi tercemar kalau sampe mereka tahu aku adik kakak.

Aku sayang kakak. Makanya aku nggak mau ngehancurin reputasi kakak cuma untuk aku.

Aku terima omelan dan kemarahan kakak. Aku seneng karena kakak sayang dan khawatir sama aku. Maaf ya, kak. Aku malu untuk bilang ini ke kakak.

Kalau kakak mau tahu, aku nulis ini sambil senyum. Tapi selanjutnya malah nangis.... maaf sekali lagi, kak. Dan makasih.

Air mata Evan kian mengucur deras membaca kalimat yang tertera di notes tersebut. Perasaan menyesal kembali membuncah di relung hatinya. Ia kembali merasa gagal menyandang gelar sebagai saudara laki-laki yang seharusnya dapat diandalkan.

Lalu dengan perasaan yang semakin sesak, ia memberanikan diri untuk lanjut ke lembar berikutnya.

Namanya Reta. Dia punya sepupu namanya Ali. Ali itu ganteng dan lucu orangnya. Aku sempet suka dia. Tapi karena aku sadar diri, terpaksa deh perasaan ini harus aku kubur hidup-hidup.

Reta itu sahabat sekaligus ibu menurutku. Dia bawel dan banyak omong. Tapi satu hari, aku pernah liat dia dihina sama kak Tari dan geng-nya. Aku denger kalau mereka ngejek Reta karena dia mau temenan sama perempuan pincang kayak aku.

Aku nangis. Aku nggak kuat pas nyuruh Reta buat menjauh dari aku. Aku pernah nyuruh dia untuk nggak temanan lagi sama aku. Tapi dia justru ikut nangis dan bilang : "Gue benci siapa pun yang udah bikin pertemanan kita hancur."

Bukan Reta yang menjauh dari aku. Tapi aku yang nyuruh dia untuk nggak peduli lagi sama aku.

"Puas lo sekarang? Ya, kan?" Ali melempar tanya dan tersenyum sinis pada Evan.

Pita menoyor kepala Ali dari belakang dan menunjuk Evan menggunakan dagunya, memberitahu bahwa Evan sedang meratapi sedih dan sepantasnya tidak diperlakukan seperti itu oleh Ali.

Evan berlutut. Wajahnya mendongak menatap langit gelap dan berteriak kencang menembus malam. Penyesalan tinggal lah penyesalan. Kesalahpahaman terhadap apa yang menimpa adiknya semakin membuat Evan tak kuasa untuk tidak membenci dirinya sendiri.

Aku bangga punya kakak.

Kakak keren! Serahin diri ke polisi, ya?

Samar-samar, Evan mampu mendengar bisikan halus tersebut. Tak berwujud. Hanya terdengar halus namun tak berlangsung cukup lama.

"Sori," Evan tertunduk dalam, "sori untuk kesalahan gue. Gue terlalu benci sama diri gue sendiri karena nggak becus jaga Belinda. Sampe rasa benci gue berhasil ngambil nyawa sepupu lo sebelum waktunya."

"Gue benci sama lo. Tapi gue juga nggak mau nyimpen benci karena emang ini nggak seharusnya. Gue maafin kesalahan lo. Asal lo mau nyerahin diri ke polisi. Beres," kata Ali.

Evan berdiri dengan lunglai. Ia mengangguk dan berkata bahwa dirinya berjanji akan langsung menyerahkan diri ke polisi dan mengakui kesalahannya. Ali sama sekali tak curiga. Karena tatapan Evan yang terlihat begitu sayang pada Belinda membuatnya yakin, bahwa kalimat tertulis itu dapat membawanya kembali pada kebenaran. Evan lantas berpamit pergi.

"Lo nggak mau nahan dia?! Bisa aja, kan, dia kabur lagi?!" sewot Pita pada Ali.

"Percaya aja sama gue. Dia bakal serahin dirinya ke polisi." Ali tersenyum menyakinkan Pita.

"Pita??" Juliet muncul dari balik pohon bersama beberapa hantu yang mau diajak berkompromi. "Lo nggak papa, kan?" tanya Juliet kemudian.

Pita tidak menanggapi. Ia sibuk menilai sosok Ali yang kini sedang bersenda gurau dengan hantu lainnya.

"Ali ... lo udah balik lagi jadi manusia?" tanya Pita, lirih.

Bukan hanya Ali yang menoleh, para hantu lainnya pun serempak ikut menoleh ke arah Pita. Wajah Ali kian berubah datar padahal baru saja melempar senyum.

"Pita?" Kuntilanak memanggil, membuat Pita menoleh. "Maafin kita semua, ya?" katanya kemudian.

Para hantu melirik Juliet. Juliet merundukkan kepala dan menghela napas panjang.

"Ali udah nggak ada, Pita," katanya. "Dia udah nggak ada dalam wujud apa pun. Dia udah tenang sama sepupunya."

Pita ternganga, tetapi kemudian tertawa menanggapi ucapan Juliet. Namun begitu, matanya perlahan mulai membasah.

"Nggak lucu lo semua! Jelas-jelas gue liat Ali di sini. Dia nunduk di depan gue ... nggak kaya biasanya." Pita menatap Ali sambil melirih.

Detik kemudian tubuh Ali ambruk bersamaan dengan hantu lelaki yang baru saja keluar dari raga Ali.

Pita melemas. Air matanya mengucur menatap tubuh Ali yang terlentang kedinginan. Pita berlutut dan memangku wajah Ali. Tangannya menjalar menyentuh pipi lelaki itu yang terasa dingin.

"Ali...." Pita menggerakkan kepala Ali di pangkuannya. 

"Ali .... bangun! Nggak lucu, sialan! Lo nggak mungkin ninggalin gue, kan?!" Pita semakin menangis jadi dan tak henti-hentinya menggerakkan kepala Ali untuk menyadarkan lelaki itu. Namun, hasilnya tetap sama. Tak ada pergerakan dari Ali sedikitpun.

"Maafin gue, Pita. Sebenernya waktu lo nyuruh gue sama pocong untuk nganter makanan ke Ali, Ali masih ada di rumah sakit nemenin raganya. Dia bilang waktunya udah nggak lama lagi. Dia tahu dia nggak bakal diberi kesempatan hidup lagi. Makanya dia nyeritain kisah hidupnya ke Asep. Tentang dia, Reta, Belinda, sama Evan," kata kuntilanak.

"Gue Asep. Gue disuruh nuntasin masalah Ali sebelumnya. Dia nggak mau lo kenapa-napa. Dia nggak mau masalah soal satu tahun yang lalu nggak ada penyelesaiannya sama sekali. Maka dari itu gue susah payah buat masuk ke raga dia. Tapi akhirnya gue berhasil pas hidup Ali bener-bener berakhir." Kali ini hantu lelaki yang semula merasuki tubuh Ali lah yang buka bicara.

"Diem lo pada! Diem! Mulut lo semua itu muna! Ali nggak mungkin ninggalin gue...." Pita kembali mengusap wajah Ali yang pucat nan dingin itu.

"Sebelum Ali nyuruh kita pergi waktu itu, dia pernah bilang kalau dia sayang sama lo. Dia cemburu waktu lo pergi bareng Evan ke toko aksesoris. Dan setelah itu ... dia nyuruh kita untuk nggak terlalu deket sama lo. Lo punya kehidupan sendiri. Lo harus berteman dengan makhluk yang sama. Bukan berteman sama kita semua," kata kuntilanak lagi.

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Beginilah kisah mereka berakhir. Saat Pita mulai percaya jika Ali memang sudah tiada. Kini, raga Ali sudah terkubur di dalam tanah sambil di do'a kan oleh seorang ustadz dan orang-orang terdekatnya termasuk Pita.

Pita menatap batu nisan tersebut. Atas nama Ali Refaldi yang resmi meninggalkannya.

Selamanya....

Kini Pita sadar, bahwa kelebihan yang dia punya adalah anugerah terhebat dari Tuhan. Sehingga Pita dapat berjumpa dengan Ali meski saat itu berbeda alam.

Kisah mereka usai sebelum sampai. Tak ada yang lebih menyakitkan dari ini semua. Perpisahan selamanya dan terjamin takkan ada pertemuan kedua sebelum Tuhan ikut memanggilnya.

Pita hanya berharap, semoga Ali tenang di alam sana.

_______________________________

Ali cinta Pita ....

- [ E N D ] -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top