30 : Realita
"Akhirnya nyampe juga," seru Pita sambil meregangkan otot-otot tubuhnya.
Rupanya Evan mengajak Pita pergi ke puncak yang tempatnya memang lumayan jauh dari wilayah keduanya. Tetapi biar begitu, Pita cukup senang karena ini sangat membantunya mengurangi beban pikiran. Tempat di sini terasa sejuk dan juga terlihat asri. Mungkin Pita bisa betah berlama-lama di sini andai tidak memiliki tempat tinggal.
"Lo nggak mau duduk?" tanya Pita begitu sadar bahwa Evan sama sekali tak mengalihkan tatapan darinya sejak tadi. "Lo kenapa, sih?!" lanjut Pita dengan kesal.
Evan tertawa menanggapi, lalu duduk di samping Pita seperti yang dipertanyakan oleh gadis itu sebelumnya.
Setengah hari ini Pita menghabiskan waktu bersama Evan untuk berkeliling di puncak. Ada berbagai tumbuhan dan tanaman di sepanjang jalan. Sampai Pita tidak sadar bahwa matahari sudah mulai berubah warna menjadi jingga.
"Udah sore, Pit. Buruan pulang, yuk! Gue khawatir lo dicari nyokap bokap lo nanti," kata Evan setelah melirik jam tangannya yang menunjuk pukul lima sore.
"Gue udah minta izin pas masih diperjalanan. Lo, mah, mana tahu," kata Pita, memberi senyuman remeh pada lelaki itu.
Evan terkekeh geli dan mengacak rambut Pita tanpa duga. Lalu keduanya saling tatap cukup lama.
"Khilaf, Pit. Maap. Lo enak dipandeng soalnya," aku Evan dengan frontalnya setelah melepas adu tatap di antara mereka.
Pita hanya mengangguk memaklumi. Karena ia akui, bahwa barusan ia juga sedang menilai paras Evan dan sedikit menikmatinya.
"Yaudah lo tunggu di sini, ya! Gue ngambil motor dulu bentar." Evan berpamit pada Pita yang diangguki langsung oleh gadis itu.
Sambil menunggu Evan kembali bersama motornya, Pita menyempatkan diri dengan bermondar-mandir tak karuan. Terasa membosankan untuk saat ini. Sampai-sampai Pita merasa kalau ada seseorang yang tengah mengintainya dari belakang. Pita memutar kepalanya mencari sesuatu. Tapi tak ada seorang pun di sana.
Semakin lama, Pita semakin merasa takut. Keadaan mulai terasa semakin mencekam. Pita berusaha mencari pertolongan dan berlari. Tetapi ternyata benar seperti apa yang ada di firasatnya. Kalau tenyata ada dua orang berpakaian serba hitam mencoba untuk mengejarnya.
Pita terus berlari tanpa melihat jalanan dengan benar. Dan tahu-tahu saja gadis itu hampir menabrak dada bidang milik seseorang. Pita langsung tersenyum saat menyadari dia adalah Evan.
"Tolong ... tolong sembunyiin gue di mana aja kek! Ayo buruan!" mohon Pita langsung pada lelaki itu.
"Kenapa lo?"
"Gue ... gue ... gue takut. Barusan ada dua orang ngikutin gue. Pakaian mereka serba item udah kayak mau ngelayat. Gue takut, sialan!"
Evan menatap Pita, raut wajah gadis itu memang terlihat jelas seperti seseorang yang sedang mengalami ketakutan. Dan untuk pertama kalinya Pita menunjukkan ekspresi baru.
"Gue baru tahu kalau ternyata orang kayak lo bisa takut juga."
"Jangan banyak omong! Udah jelas mereka lebih nyeremin daripada setan! Gue bisa kenapa-napa kalau sampe itu terjadi."
"Sayangnya semua udah terjadi." Tatapan Evan berubah seperti pemangsa yang sedang melihat mangsanya. Senyumnya terpatri. Senyum lama yang sudah lama tersembunyi.
Senyum devil.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Selimut yang menyelimuti raga Ali perlahan mulai dinaikkan oleh sang Dokter secara perlahan. Belum sempat itu terjadi, mata Ali perlahan mulai bergerak dan terbuka secara tiba-tiba, mengagetkannya dan juga yang lainnya.
Ali langsung merubah posisinya menjadi duduk.
"Masih hidup, kan, gue?" gumamnya sambil meraba-raba tubuh. Membuat mereka yang melihat itu ternganga lebar melihatnya.
"Haduh ... goblok," celetuk Juliet yang seketika langsung mengalihkan perhatian Ali.
"Ngapain lo? Besuk gue? Halah ... nggak ada buah tangan, mah, buat apa!" cerocos Ali pada Juliet.
"Sepertinya korban mengalami gangguan jiwa," celetuk salah satu suster pada Dokter di sampingnya.
Ali yang masih mampu mendengarnya itu segera melemparkan tatapan tak terima.
"Eh, Mbak! Saya masih waras! Nggak usah fitnah!"
"Waktunya tinggal dikit, asep!" sungut Juliet.
"Maksudnya gue bakal mati lagi gitu?"
"Pita yang tinggal punya waktu dikit!!" amuk Juliet, "di puncak! Buruan ke sana!" Selepas mengatakan itu Juliet langsung menghilang entah ke mana.
Ali buru-buru menyibak selimut dan mengambil kunci mobil dari dalam saku jaket Nerlana yang tersampir di kursi penjenguk. Ali bersiap pergi, tetapi sebelum itu ia langsung meraih notes yang berada di atas nakas sejak dulu sesuai permintaannya pada Nerlana.
"Ali?!" Nerlana yang sedang menangis seketika dibuat kaget oleh pemandangan Ali yang baru saja keluar dari ruangan ICU.
"Nanti Ali jelasin. Ali pinjem mobilnya bentar, Tante!"
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Pita menahan jeritan tertahannya saat Evan mulai mencekiknya dan memojokkannya di salah satu badan pohon. Pita hampir kehilangan napas, tetapi beruntung lelaki itu segera melepaskannya.
"SAMPAH!" amuk Evan, "lo sampah, Pita! Sikap lo jauh lebih buruk dari seorang penindas!"
Pita menatap Evan tak percaya sekaligus tak mengerti. "A-apa? Maksud lo apa, sih, hah?! Gue nggak ngerti!"
"Kalau gue ngaku sebagai kakak dari Belinda, apa lo percaya?" Evan tertawa begitu wajah Pita berubah setelah ia mengakui hal tersebut, "Belinda yang sagu tahun yag lalu adalah temen sekelas lo. Apa lo nggak inget?!"
"Apa lo nggak sadar kalau lo itu buruk? Lo tahu Belinda dibuli, lo tahu Belinda frustrasi, dan lo tahu Belinda hampir bunuh diri. Tapi lo apa? Lo diem aja dan cuma nontonin nasib dia?!"
Mendengar penuturan Evan yag sedemikian membuat nyali Pita semakin meningkat. Ia mulai mengangkat wajahnya dan menatap Evan menantang.
"Gue akui gue emang nggak peduli tentang apa pun. Termasuk adik lo! Dan asal lo tahu! Gue juga nggak bakal diem aja sama kejadian konyol itu di depan gue. Adik lo sendiri yang nolak untuk dibantu."
"Jadi lo nyalahin Belinda?" tanya Evan memastikan. Lalu tak lama kemudian ia memberi tamparan keras di pipi mulus Pita. "Lo sebelas dua belas kayak Reta dan Tari!"
Evan kembali mencekik Pita. Tangan kosong yang satunya mulai meraba saku jaket dan mengambil pisau lipat yang teramat tajam dari sana.
"Reta ... Tari ... dan sekarang giliran lo yang menghilang dari bumi!" Evan mengacungkan pisau tersebut di hadapan Pita. Membuat mata Pita terpejam bersama air mata.
"SERANGGGG!" seru Juliet tiba-tiba. Dan saat itu pula bebatuan langsung terlempar mengenai Evan bertubi-tubi. Asalnya dari mana? Tentu saja dari komplotan setan.
Evan meringis kesakitan karena ukuran batu yang masing-masing dilempar lumayan besar. Ia meruntuki diri. Keadaan yang gelap membuatnya sulit melihat si pelaku.
"Dipikir gue bakal ngurungin niat buat musnahin lo hanya karena ini?" Evan tersenyum sinis, "ini malah bikin gue makin pengen musnahin lo tanpa basa-basi lagi."
Belum sempat pisau itu ditusukkan ke lengan Pita, sebuah benda tiba-tiba terlempar mengenai kepala Evan. Evan sedikit meringis dan berbalik dengan amarah yang sangat kentara dari wajahnya. Matanya menyipit menatap seseorang yang baru saja berulah.
"Kalau sampe lo sakitin Pita, lo sendiri yang bakal gue jadiin odading wijen."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top