29 : Hiburan dari Evan
Sudah tiga hari terlewati dan Pita belum juga menemukan tanda-tanda kemunculan Ali. Pita sudah bertanya pada hantu lainnya termasuk Caca. Tetapi tak ada satu orang pun dari mereka yang tahu di mana keberadaan hantu noob itu. Terakhir kali pocong Ahmad dan kuntilanak berkunjung ke rumah sakit untuk membawakan makanan dari Pita pun keduanya tidak menemukan jejak Ali di sana.
"Pita? Boleh nggak gue duduk di sini?" tanya seorang gadis yang sepertinya adalah teman sekelasnya. Pita sebenarnya ingin melarang, tetapi perkataan Ali selalu terngiang di kepalanya. Pita harus mulai beradaptasi dengan dunianya sendiri.
"Kalau lo nggak punya kursi ambil aja," kata Pita lalu tanpa disadari tersenyum kepada gadis itu.
Gadis itu agak ternganga. Tetapi kemudian memasang senyum tipis dan memberi ucapan terima kasih pada Pita sebelum balik ke bangku aslinya.
Beberapa detik kemudiannya Pita kembali larut dalam lamunan. Jam-jam istirahat ini banyak ia pakai untuk berdiam diri di dalam kelas sepertinya biasanya. Namun, wajahnya terlihat begitu suntuk dan muram. Tentu kalian tahu apa alasannya.
Pita menjatuhkan kepalanya di atas meja. Menyembunyikannya di sana sambil merengek kecil merutuki Ali.
Sebuah susu kotak terdorong menyentuh pipi Pita, membuat si empunya langsung mengangkat kepala dan menatap si pelaku.
"Seharian ini lo murung terus kenapa?" tanya Evan lalu duduk di atas meja Pita.
"Emangnya masalah buat lo?" balas Pita dongkol.
"Gue tahu lo emang nggak suka sama gue. Tapi apa iya lo juga nggak mau misal gue ajak temenan?" Evan bertanya, "padahal gue cuma ngasih susu doang."
"Gue nggak suka susu."
"Sukanya apa, dong?"
Sukanya Ali.
APA, ANJER?! ENGGAK!
Pita memukul kepalanya berkali-kali. Tak menyangka jika dalam hatinya bisa berbicara seperti itu. Pita melirik Evan, berharap lelaki itu tidak mendengar apa yang tersampaikan dalam hatinya barusan. Ya emang enggak.
"Van?"
"Hm?"
"Tadi ... apa maksudnya lo mau ngajak gue temenan?"
Evan langsung membalikkan tubuhnya delapan puluh derajat menghadap Pita lalu mencondongkan wajahnya ke hadapan gadis itu. Kepala Pita reflek termundur bersama wajah menekuknya.
"Kalau iya apa lo mau jadi temen gue?" tanya Evan sambil tersenyum lebar.
Mata Pita mengerjap. Di matanya, lelaki yang berada di hadapannya ini adalah Ali. Tetapi sebisa mungkin ia berusaha menepis matanya yang sudah terkontaminasi oleh wajah Ali yang jelek namun tampan.
"Gue mau lo punya temen di dunia ini mulai sekarang. Kurang-kurangi beradaptasi sama makhluk kayak gue."
"Apa lo udah mulai menyadari kegantengan gue?" Pertanyaan Evan sukses membuyarkan lamunannya tentang Ali.
"Lo kenapa pede gitu, sih?" Pita langsung merubah wajahnya ke tampang sinis.
Evan menarik wajahnya dari hadapan Pita dengan wajah masam. Pita mengulurkan tangan, membuat Evan meliriknya tak mengerti.
"Dijabat sialan! Bukan dipandeng!" ujarnya ketus.
Evan pun akhirnya menjabat tangan Pita dan mengayunkannya ke atas dan ke bawah.
"Gue Pitaloka Oncella," kata Pita.
"Gue orang ganteng sedunia," balas Evan.
"Oke, sekarang lo resmi jadi temen gue."
"Ogah."
"Kampret! Fucek! Sialan! Gigolo! Waria! Jamet! Koplak! Somplak! Anjim! Anjayani! Anjayana! Anjayuni—"
"Oke-oke makasih atas pujiannya! Lo temen gue sekarang."
"Emang harusnya gitu, kan?" balas Pita.
Pita mengacungkan tasnya yang sedari tadi ia taruh di kolong meja dan berniat menjadikannya alat pemukul Evan. Evan sudah bersiap melindungi diri dengan lengannya. Tetapi Pita hanya menakut-nakuti saja tanpa memukulnya.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Juliet mengekor di belakang Pita yang baru saja keluar dari kelasnya untuk pulang. Akhir-akhir ini Pita memang berbeda. Terkesan seperti tak acuh dan mengabaikan keberadaannya. Atau lebih tepatnya seluruh hantu yang berniat bersenda gurau dengannya. Hanya sesekali ia banyak bicara jika menanyakan perihal Ali.
"Woy! Woy! Woy! Lo kenapa, sih?!" Juliet menarik Pita. Pita kesal, tetapi dia memilih diam.
"Lepasin!" pinta Pita.
"Enak aja."
"LEPASIN, SETAN! TANGAN LO BAU BANGKE!"
Juliet buru-buru melepaskan tangan Pita dan mencium tangannya sendiri. Ternyata Juliet baru sana kena kibul versi Pita. Jelas-jelas tangannya memiliki bau sewangi bayi.
Juliet langsung melirik Pita. Tetapi gadis yang semula berdiri di sampingnya sudah menghilang entah ke mana.
"Itu anak seneng banget main kejer-kejeran, deh, heran. Udah tahu gue lagi mager juga." Juliet berkacak pinggang setelah tju bahwa Pita rupanya sedang berlari menjauhinya.
"Yaudah lah, bodo amat," lanjut Juliet. Juliet berbalik arah, tetapi perasaannya mengganjal sehingga melirik kembali pada Pita yang kini mulai....
"WATER PARK?! Itu, kan, si Epran!" Juliet terkejut saat melihat Pita sudah bonceng di motor Evan. "Nggak bisa dibiarin ini! Bokong Pita udah nggak suci lagi."
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
"Lo kenapa lari-lari?" tanya Evan yang tiba-tiba mengikuti Pita dari samping dengan motornya.
"Dikejer makhluk jelek barusan," jawab Pita sambil menghela napasnya yang tersengal-sengal.
"Yaudah buruan naik! Gue anterin lo pulang," kata Evan sambil menepuk jok motornya.
"Ck! Gue belum mau pulang."
Evan mengangkat alis. "Mau jalan-jalan dulu? Shoping? Ke mana? Gue ikut kalau gitu."
"Gue juga nggak tahu mau ke mana." Pita mencengkram ransel tas-nya kuat, seolah menyalurkan emosi di sana.
Evan menarik setengah garis bibirnya lalu menatap Pita dengan tatapan penuh arti.
"Ada satu tempat yang cocok buat lo, Pit. Adem kayak muka gue. Rekomendasi juga kayak gue. Sekali lo udah sampe di sana, susah move on—"
"Kayak lo?" potong Pita lalu tertawa.
"Itu pengecualian, Pita!" jawab Evan mendadak jadi gregetan.
Pita akhirnya setuju untuk ikut bersama Evan menuju tempat yang menurut lelaki itu bagus untuk didatangi. Saat motor mulai melesat menjauh, Juliet baru sampai dengan terengah-engah sambil menyentuh lututnya.
"Bahaya, nih!" Juliet buru-buru mengambil ponsel dari dalam sakunya dan menghubungi para hantu.
"Kenapa?"
"Ada apa?"
"Kenapa Jenab?"
Rata-rata begitulah isi pertanyaan dari grup perhantuan. Juliet mengacak rambut keritingnya, mulai gak tenang.
"Pita udah kejebak!"
Hanya tiga kalimat, namun berhasil merubah keadaan jadi terasa mencekam.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Beberapa hari yang lalu, keadaan Ali semakin memburuk di ruang ICU. Lagi-lagi dokter menyarankan Nerlana untuk melepas Ali karena masa hidup lelaki itu kemungkinan telah usai.
Segala alat yang terpasang di raga Ali sama sekali tidak membantu lelaki itu untuk selamat dalam jangka waktu dekat.
Hal itu lah yang membuat para pegawai rumah sakit menganggap bahwa Ali memang sebenarnya telah tiada. Hanya saja ketidak ikhlasan pihak keluarga membuat Ali masih bertaruh antara hidup dan mati.
Nerlana menangis pilu sembari mencengkram kuat tangan Ali yang semakin mendingin akhir-akhir ini. Ia takut kehilangan seseorang lagi. Baginya, sudah cukup Reta menjadi kesedihan terbesar dalam hidupnya. Entah bagaimana jadinya jika Ali pun turut menyusul Reta.
"Ali ... Tante mohon jangan tinggalin Tante. Tante bakal lakuin apa pun yang kamu mau asal kamu nggak tinggalin Tante," lirih Nerlana sambil menyembunyikan wajahnya di punggung tangan Ali dan menangis di sana.
"Cuma kamu satu-satunya yang Tante punya. Tante nggak tahu gimana hidup Tante kalau kamu juga ikut pergi seperti orangtuamu dan juga Reta," lanjut Nerlana.
Monitor pasien pemeriksa kondisi Ali tiba-tiba berbunyi nyaring membuat Nerlana semakin tak tenang dan kalut akan kesedihan. Dokter dan suster lantas memasuki ruangan ini dan mengecek kondisi Ali.
Nerlana semakin menangis jadi saat suara monitor pasien semakin berbunyi nyaring. Hingga garis di layar monitor berubah menjadi datar nan lurus. Yang itu artinya....
Ali telah tiada.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top