28 : Menemui Ali

Pita berlari panik memasuki rumah sakit yang baru saja diberitahukan alamatnya oleh Juliet. Pita menuju resepsionis dengan tergesa dan berusaha menyetabilkan napasnya yang memburu karena sehabis berlari.

"Ruang ICU nomor 13 atas nama Ali Aldi di mana ya, Mbak?" tanya Pita kepada pegawai tersebut.

Pegawai tersebut meminta Pita untuk menunggu sebentar selagi ia mengecek ruang yang akan dituju Pita pada komputer kerjanya. Pita menggigit jari tak tentang. Sejak tadi ia tak henti mondar-mandir.

"Mbak—"

"Iya, Mbak?!" Pita langsung menyahut secepat kilat.

"Maaf sebelumnya. Tetapi yang bernama Ali Aldi tidak ada di ruang nomor 13," katanya.

"Masa, sih, Mbak? Mbak nggak usah nipu saya! Saya bukan antagonis kayak di film-film yang pura-pura pengen jenguk tapi malah mutusin selang infus si korban biar mati."

"Saya nggak ada nuduh kayak gitu, Mbak." Pegawai resepsionis itu merasa tak enak sendiri.

"Yaudah! Coba cek lagi! Mana mungkin pasien yang bernama Ali nggak ada di sini!"

Pegawai tersebut mau tak mau pun menuruti keinginan Pita. Mengecek ulang nama yang berbaris dari atas hingga bawah untuk mencari nama yang disebutkan Pita di sana.

"Tetep ngak ada, Mbak" katanya lagi.

"Serius nggak ada, Mbak?"

"Iya, Mbak. Di sini adanya Ali Refaldi."

"YA ITU MAKSUD SAYA!" Pita mengamuk saking kesalnya, membuat para pengunjung langsung memberi isyarat diam. Lagi pun, memang Pita yang salah karena melupakan nama lengkap Ali.

Setelah berhasil mendapatkan petunjuk menuju arah ruang Ali, gadis itu langsung menemukan seorang wanita yang sedang duduk di ruang tunggu, samping pintu masuk ruangan Ali dirawat.

Tanpa sadar Pita menggigit bibir bawahnya sebelum benar-benar menghampiri wanita itu.

"Permisi, Tante." Pita menyapa sambil menundukkan kepalanya. Sedangkan wanita itu buru-buru menegapkan duduk dan tersenyum ke arah Pita.

"Apa ini ruang Ali dirawat?" tanya Pita kemudian.

"Iya, betul. Kamu siapanya Ali, ya?" tanya wanita itu. Namanya Nerlana.

"Aku Pita, Tante. Temen Ali. Mungkin Tante emang nggak pernah liat aku sebelumnya karena aku sama Ali nggak terlalu deket." Pita tersenyum menyimpan dusta. Sudahlah, intinya ini yang terbaik.

"Maaf juga karena aku telat jenguk, Tan. Karena baru ini aku tahu kabar soal Ali." Pira merunduk sedih. Kali ini bukan sebuah kebohongan. Tetapi memang ia benar-benar merasa sedih.

Jujur saja, Pita takut kehilangan Ali. Selama ini hantu itu selalu menemani hari-harinya meski tak lekang dari perdebatan dan kejahilan sepanjang hari. Pita belum sanggup apabila hari-harinya akan terasa membosankan tanpa Ali. Namun, Pita mengaku bahwa ada alasan lain yang membuatnya tak ingin kehilangan hantu itu.

"Pita boleh minta izin masuk, kan, Tante?" Suara Pita kian terdengar serak. Matanya pun perlahan mulai memerah dan membasah.

Nerlana mengusap lembut surai Pita seraya tersenyum. Lalu kemudian mengangguk memberi izin.

Pita tersenyum tipis dan masuk ke ruangan tersebut. Hal pertama yang ia lihat adalah Ali yang tengah menatap raganya dengan tatapan sendu.

"Gue nggak bisa masuk ke raga gue," celetuk Ali sambil menyertakan senyum terlukanya.

Pita tak kuasa menahan air matanya. Baru pertama kali ini Pita melihat Ali begitu sedih secara alami.

Pita mendekat dan langsung merengkuh tubuh Ali. Tak peduli jika sewaktu-waktu Nerlana melihatnya dan menganggapnya tidak waras, Pita hanya berniat menyalurkan kekuatan pada Ali.

"Lo jangan sedih, lah! Lo jelek, makanya gue ingetin buat nggak nambah-nambahin jelek dengan acara nangis kek gini," pesan Pita di sela tangisnya yang pecah.

"Lo juga nangis."

"Tapi nangis gue beda! Gue cantik bagaimanapun caranya."

"Iya ... tapi gue nggak mau liat lo nangis."

"Yaudah tutup mata!"

"Bukan gitu, anjim!"

"Makanya jangan gaul sama genduruwo! Lo nggak cocok pake kata-kata manis," peringat Pita.

"Tapi gini-gini lo suka, kan?" Ali menggoda Pita dengan menaik-naikkan alisnya.

"Pede amat lo!" umpat Pita.

Kemudian terjadi hening cukup lama. Sebelum akhirnya suara Ali kembali terdengar dan terasa mengubah suasana.

"Kalau gue nggak ada ... setidaknya lo adalah kenangan manis bagi gue selama ini."

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢


Tak perlu ada hujan, jika sedih sudah mampu merubah perasaan. Menangis di bawah hujan bukanlah caranya. Dan untuk pertama kalinya Pita dibuat menangis hanya karena sosok Ali.

Perkataan Ali sebelum dia menyuruh Pita pulang masih jelas tersimpan di memori. Suaranya bermunculan di kepala. Pita khawatir jika kalimat tersebut adalah sebuah kalimat pembatas antara dirinya dan Ali kelak. Di mana mereka akan benar-benar beda alam. Dan Pita tak bisa menemukan Ali di manapun dengan wujud seperti apa pun.

"Woy, Pitak! Diem-diem bae," celetuk pocong Ahmad. Dia berbaik hati datang kemari karena ingin menghibur Pita yang terlihat begitu sedih.

"Diem lo!" sungut Pita.

"Emang lo dari mana, Pita?" Kali ini kuntilanak yang bertanya. Pita lupa bahwa pocong Ahmad tidak datang sendiri.

"Menyembuhkan diri dari definisi sakit tapi tak berdarah."

"Patah hati?"

Pita menggeleng. "Ngupas komedo."

"Nggak seru lo, ah! Sejak kapan lo lesu begini, sialan?!" Kuntilanak itu ikut-ikutan badmood dan menidurkan dirinya di lantai. Mungkin ia cukup sadar bahwa dirinya tak pantas tidur di tempat empuk sementara kebiasaannya sering tidur di pohon.

"Ali udah makan belum?" tanya Pita tiba-tiba.

"Tahu aja lo kalau gue belum makan," celetuk pocong Ahmad.

"Dia bilang Ali, bukan Tai wujudan lo," bisik kuntilanak lalu menoyor kepala hantu bentukan risol itu.

Kuntilanak menyengir pada Pita. "Yang gue tahu, sih, belum, Pit. Emangnya kenapa?" tanyanya.

Pita menghela napas sejenak lalu mengambil bungkusan nasi dari atas nakas. Pita memberikannya pada kuntilanak.

"Terima kasih," ucap kuntilanak.

"Bukan buat lo!" kata pocong Ahmad seraya menoyor kepala hantu itu.

"Udah tahu gue!" Kuntilanak mendengkus sinis.

"Pokoknya antar, tuh, makanan ke Ali dengan selamat," peringat Pita, tersirat ancaman.

"Oke siap!" Kuntilanak dan pocong Ahmad kompak memberi hormat dan segera berbalik. Berencana pergi bersama untuk mengantar pesanan Pita.

"Menurut lo isinya apa?" tanya pocong Ahmad.

"Nasi tabur micin?"

"Nggak estetik!"

"Gimana kalau buka aja?"

"Yaudah buka!"

"GUE MASIH BISA DENGER LO BERDUA, YA!" teriak Pita yang langsung membuat mereka berdua berbalik dan cengengesan. "Itu makanan buat Ali! Jangan disentuh apalagi dimakan!" lanjutnya.

"Yang namanya bawa barang di mana-mana ya harus disentuh. Begimana ceritanya?!" cerocos pocong Ahmad.

"Tendang aja udah," celetuk kuntilanak.

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Tubuh Ali mati rasa dan terasa sakit. Semakin lama, tubuhnya semakin meremang tak terlihat. Pandangannya mulai blur dan hampir menggelap. Sampai tiba-tiba tubuhnya menghilang seperti debu tertiup angin.

Ali menghilang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top