2 : Rasa Tak Acuh
Matahari kali ini belum sepenuhnya terik. Masyarakat sekolah SMA Tunggal Cermat berbondong-bondong ke sana-kemari bersama tas ranselnya. Waktu menunjukkan pukul 06.40 bersamaan dengan gadis tanpa senyum yang keluar dari mobil sang Ayah. Ia selalu tampak cantik meski tak dihiasi make up sekalipun.
"Belajar yang bener!" pinta Farhan.
"Iya, Ayah," jawab Pita.
"Jangan jutek-jutek!"
"Kalau yang itu mah Pita nggak bisa janji."
Farhan menjulurkan lengannya keluar mobil dan menyentil dahi Pita saat itu juga. Pita mendengkus sambil mengusapi dahinya yang terasa nyut-nyutan semacam hati apabila bertemu pujaan hati.
"Kalau kamu tetap kayak gini, gimana bisa kamu bakal punya temen?" Farhan kembali mencerocos tak peduli bahwa detik, menit, dan jam akan kian bertambah.
"Ayah kenapa hobi banget cerca anak sendiri, sih?! Suatu saat Pita bakal punya temen, kok. Cuma emang nyari temen yang bener-bener tulus, tuh, susah! Penindas semua. Bahkan Pita masih ingat banget kejadian satu tahun yang lalu."
Ya, satu tahun yang lalu. 2019. Saat dirinya mendapat satu teman sekelas yang hobi sekali dibuli. Waktu itu Pita baru menginjak kelas 11. Pita heran, mengapa teman sekelasnya yang lain sama sekali tidak ada yang mau menolong gadis korban buli itu? Alih-alih membantu, pantat Pita justru tak kunjung lepas dari bangku. Ternyata egonya lebih besar dari nurani.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
━═━═━═━═━═━═━═━
2019, SMA Tunggal Cermat.
"Sini lo!" Kakak kelas bernama Tari itu menarik paksa gadis cantik yang mengalami cacat pada kaki kirinya. Gadis itu bernama Belinda. Sudah berkali-kali dirinya menjadi bahan buli kakak kelas yang cantik tidak sok keren iya.
Pita mengerjapkan mata. Sebenarnya ia sudah sangat mengantuk akibat lantunan lagu yang tercipta dari earphone di telinganya. Ia menatap iba pada Belinda yang kini sudah dipojoki oleh geng Tari dan dijambak sarkas rambut panjangnya. Satu sisi, Pita ingin menolong. Tetapi setelah dipikir-pikir, apa mungkin ia harus membantunya? Sedangkan sampai saat ini pun tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ada satu orang yang peduli padanya. Pun jika Pita membantu, kemungkinan besar ia akan kena imbasnya. Mungkin bisa diprediksi, ia juga akan jadi korban buli selanjutnya.
Apa Pita akan sebodoh itu demi menolong seseorang hingga abai pada konsekuensi ke depannya?
Belum tentu yang ditolong pun akan berbalas budi, kan?
Jadi ... apa salah jika sekarang Pita memilih untuk tidur di antara lipatan tangan? Sepertinya tidak.
Hingga beberapa bulan berlalu, kasus buli membuli terhadap Belinda semakin menjadi. Bahkan sepertinya lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Pita lantas bergegas menghadang langkah Belinda ketika gadis itu akan mengambil pesanan para geng Tari.
"Permisi." Belinda mencicitkan kalimat tersebut sambil kepalanya menunduk.
"Ngapain lo bawa itu?" tanya Pita. Lempeng tanpa nada.
"Eum ... ini ...."
"Buat komplotan menor?"
"Hah? Si-siapa?"
"Ya yang nyuruh lo bawa beginian, lah!" Pita merasa gemas menghadapi keluguan Belinda.
"Woy pincang! Ngapain lo di situ?!" Teriakkan Tari berhasil membuat Belinda terlonjak.
Pita memicing tatkala Belinda menaikkan bola matanya hingga tatapan mereka beradu.
"Maaf, Pit. Aku nggak sengaja. Maaf, ya ... tolong jangan apa-apain aku."
Belinda mengatakan sesuatu yang tak pernah Pita duga sebelumnya. Gadis ini tidak melakukan salah apa pun. Lantas mengapa mulutnya mengucapkan kalimat maaf.
"Wah! Parah lo! Lain kali hati-hati makanya! Untung makanan kita nggak tumpah." Teman Tari menyuarakan kesinisannya.
Sekarang Pita paham mengapa Belinda berbicara tanpa alur yang sebelumnya tak terbahas sedikitpun. Tak lain karena ia tidak mau Pita tampak membelanya dan berakhir dengan diperlakukan seperti dirinya. Arah pandang Pita berputar saat Belinda beranjak melewatinya dan menghampiri komplotan Tari.
Hingga esok hari menjelang. SMA Tunggal Cermat mendapati kabar duka mengenai seorang siswi yang dikabarkan loncat diri dari lantai paling atas. Para siswa dan siswi berkerumunan mengitari sang korban yang sudah terkapar tanpa nyawa.
Pita terkejut mengetahui hal tersebut. Setelah lama ia beragumen jika masalah ini hanya berita hoax yang digali untuk mendapat simpati dari masyarakat sekolah. Ternyata dugaannya salah. Masih ada yang menyia-nyiakan masa hidupnya.
Belinda. Gadis itu. Gadis yang dikabarkan bunuh diri akibat frustasi karena terus menerus dibuli dan tak tahan akan kecacatan yang dimilikinya. Ia berpikir untuk apa dirinya hidup? Sementara tak ada alasan kuat untuk mendorongnya agar tetap hidup. Sampai akhirnya akal mengajak Belinda untuk mengakhiri hidupnya yang penuh rasa sesak di ulu hati.
"Belinda...." Pita hanya mampu menggumamkan nama gadis itu yang telah dimasukkan ke mobil ambulan.
━═━═━═━═━═━═━═━
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Pita menggelengkan kepala dan kembali meneruskan langkahnya menuju ke kelas. Gadis itu kemudian duduk di bangku pojok paling belakang tanpa teman sebangku. Pita memilih duduk sendiri. Sengaja untuk menghindari teman-teman sekelasnya yang selalu bersikap 'sok kenal sok dekat' padanya. Apalagi jika itu laki-laki. Entah sudah berapa kali mereka terang-terangan ingin mengambil hati Pita yang berujung penolakan.
Kelas pun di mulai. Seperti biasa guru perempuan bertubuh gempal yang memegang pelajaran Seni Budaya itu mulai menjelaskan materi pada kelas 12 IPS 1. Sudah menjadi rutinitas pelajar pada umumnya apabila penjelasan materi tidak jauh berbeda seperti mereka tengah dibacakan dongeng. Pengantar tidur. Membuat rasa kantuk menyebar luas. Apalagi jika sudah ada yang menguap.
Menguap satu, menguap semua.
Mata Pita memicing ke arah pria setengah baya yang sedang berdiri mengawasi guru wanita tersebut.
"Itu setan ... atau bukan?" gumam Pita, "laki-laki ... atau perempuan?" gumamnya lagi.
Sepertinya memang pria di belakang guru gempal tersebut adalah hantu. Hanya saja yang membuat Pita bingung, mengapa hantu pria itu menggunakan daster?
"Mau dibilang kuntilanak ... kok jenggotan?" Entah sudah ke berapa kalinya Pita bergumam. Dan ia baru sadar jika hantu itu memang berjenggot lebat.
Apa mungkin itu adalah jelmaan hantu laki dadi rabi?
"Pita?! Pinjem tip-x, dong." Lelaki yang duduk di bangku sebrang Pita mengeluarkan suara andalannya. Rengek manja seperti biasa.
"Buat apa?" sahut Pita malas-malasan.
"Ini, nih. Gue ada salah tulis," jawabnya.
"Nulis apa?"
"Seni Budaya."
Pita menatap lurus sejenak untuk menghela napas dan memejamkan mata agar dapat menyesuaikan diri dari rasa kesal yang sebentar lagi akan membeludak. Mencoba menetralisir perasaan kesal yang tiada tara. Efek bego apabila dipelihara, jadinya target modus lepas kandas tak tersisa.
"Seni Budaya udah dua minggu ini nggak ada tugas nulis!" Perkataan Pita sukses membuat lelaki itu tergagu, "mamam, tuh, modus! Makanya bego jangan dipelihara!"
Seorang hantu siswi tiba-tiba muncul di samping Pita sambil tertawa histeris melihat wajah lelaki itu yang sudah memerah malu. Andai saja Pita tak terbiasa, mungkin seluruh masyarakat kelas akan mengulur perhatian karena teriakkannya yang menggema akibat kaget akan kehadiran hantu ini.
"Padahal dia ganteng, lho," bisik hantu siswi itu sambil menatap genit pada lelaki yang barusan berniat modus pada Pita.
"Lo mau?" tanya Pita.
Hantu itu mengangguk polos. Tuing tuing....
"Buset, dah. Kenapa pake acara ngangguk segala, sih?!" Pita mendadak emosi pada hantu itu yang kini tengah cengengesan. "Btw ... kuntilanak berjenggot itu siapa?"
"Mau tahu aja apa mau tahu banget?"
"Lo jadi setan kenapa itung-itungan banget, sih?! Heran gue."
Hantu siswi itu kembali tertawa histeris. "Dia itu namanya Melati. Fans beratnya Rhoma Irama. Di negara perhantuan, dia itu raja-nya dangdut." Kemudian hantu itu menjelaskan bahwa Melati memang sengaja membeli produk penumbuh bulu demi menumbuhkan janggut agar terlihat mirip dengan Rhoma Irama.
Tak terasa, kelas pun akhirnya dibubarkan dengan artian pulang. Pita segera merapihkan alat-alat sekolah di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas sebelum benar-benar meninggalkan kelasnya. Seperti biasa Pita selalu sendiri tanpa seorang teman untuk berjalan bersisian dengannya.
Pita berhenti saat atmosfer di sekitarnya terasa berbeda. Matanya berputar beberapa derajat untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya dari belakang. Saking fokusnya Pita menatap ke belakang, ia sampai tidak sadar bahwa sudah menginjak salah satu kaki seorang hantu yang semula tengah berjalan berlawanan arah denganya.
"Woy! Mata mana, mata?!" sewot hantu berkaca mata hitam itu.
Pita menunjuk kedua matanya.
"Terus kenapa lo nggak liat-liat kalau ada kaki gue?!"
"Setan emang nggak bisa dilihat kali!"
"Bener juga, ya?" gumam hantu itu setengah di dengar oleh Pita, "tapi ini lo bisa lihat gue!"
"Kebetulan," balas Pita singkat.
"Wah be-"
"JULIETT!"
Pemanggil nama tersebut kian bertaburan dan riuh. Tentunya, suara itu berasal dari komplotan hantu yang tampak bersusah payah untuk menarik kakinya agar bisa berjalan. Terutama suster ngesot yang ngesot. Pocong yang loncat. Dan hantu lainnya yang berjalan lelet-ciri-ciri pemalas.
Hantu yang barusan bercekcok mulut dengan Pita dan diketahui bernama Juliet itu langsung berlari sekuat tenaga menghindari para hantu yang berusaha mengejarnya. Pita melongo ketika Juliet bisa berlari kencang tak seperti hantu biasanya. Bahkan Juliet terlihat cantik dan persis seperti manusia yang sesungguhnya.
"Heh!" Hanya dengan satu seruan tersebut, para hantu langsung berhenti dan tergerak menoleh pada Pita, "lo semua ngefans sama hantu tadi?"
Semuanya mengangguk.
Demi pak Rt yang baiknya tak terpepeti dan ikhlas ridho apabila kebunnya dijadikan penampungan Hantu Mall Story, Pita jadi ikut penasaran dengan Juliet.
Haruskah gadis itu mencarinya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top