17 : Ada Apa?
Sudah dua hari ini Pita tidak menemukan Ali di mana pun. Bahkan hantu lain saja seakan ikut bersembunyi dari Pita sehingga ia kesulitan untuk sekadar menanyakan keberadaan Ali. Ia merasa bersalah karena sempat mengabaikan hantu noob itu. Tetapi ... Ia juga merutuki kemunculan Ali di waktu yang tidak tepat saat memergokinya jalan bersama Evan. Di mana Pita mendadak jadi penurut dan tidak memutuskan untuk kabur dari lelaki itu sebelumnya.
Namun, mengapa Pita harus peduli? Mengapa ia seolah takut Ali marah padanya? Sungguh, ini memusingkan kepala Pita lebih dari pusingnya menghadapi tugas yang menumpuk.
Pita menoleh pada jendela kamarnya. Detik itu juga sebuah koran menimpuk tepat mengenai wajahnya yang kecut bagaikan asem. Semar mesem... semar mesem....
Belum sempat Pita mengeluarkan umpatan indahnya, kepala Juliet menyembul dari bawah jendela. Hantu itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar lalu menyengir ketika tatapannya langsung bertemu dengan Pita. Juliet tampak kelimpungan awalnya. Tapi selanjutnya ia berdeham cukup keras. Malahan sekarang ini sedang bersusah payah melejitkan gaun dan menaikkan kaki kirinya lebih dulu untuk bisa memanjat jendela ini.
Juliet mengembuskan napas panjangnya begitu berhasil duduk di ambang jendela.
"Kebetulan lo di sini." Pita menghampiri Juliet yang sedang kelelahan.
"Haus, woy! Kasih gue minum dulu, kek," ujar Juliet dengan nada ketus. Bagaimanapun juga Juliet tamu dan harus semestinya disambut dengan baik.
Pita beranjak sejenak untuk mengambil minum dan kembali lagi lalu menyerahkannya pada Juliet. Juliet terlihat sangat kehausan dari caranya menegak minum tersebut.
"Berubah pikiran?" tanya Pita setelah menaruh gelasnya ke atas nakas.
"Ahahaha, no way! Mustahil gue ini bisa berubah pikiran," Juliet ngakak terpingkal-pingkal, "emang berubah pikiran tentang apa?" lanjutnya dengan wajah yang berubah datar.
"Papi rucika emang!" cerca Pita dan hampir saja tangannya dibiarkan menoyor kepala hantu itu.
"Pipa, ogeb!" ralat Juliet dan malah dia yang menoyor kepala Pita hingga membuatnya mendelik.
Pita tersenyum miring dan bersedekap memandang Juliet yang mengangkat satu alis.
"Lo ke sini mau bilang kalau lo terima gue sebagai teman?"
Juliet mengibaskan rambut panjangnya yang tak terurus. "Emang, ya. Setan cantik kayak gue selalu diarep-arepin." Juliet berjalan mengintari tubuh Pita dan menyembulkan kepalanya dari belakang menuju depan wajah gadis itu.
"Tapi pede lo udah nggak bisa ditolong! Karena sampe rambut gue lurus juga gue nggak bakal mau temenan sama lo," lanjut Juliet.
"Lagian kenapa nggak bonding aja, sih?!"
Juliet memicingkan matanya. "Mahal." Hahahaha.
Pita memutar bola matanya. Kepalanya pusinnya mulai kumat dan kini lebih terasa cenat-nenut nya.
"Jadi ngapain lo ke sini?" Pantaskah Pita bertanya? Oh, tentu! Karena makhluk satu ini tak pernah setumben ini sebelumnya.
Juliet menggerakkan bola matanya ke atas seolah berpikir. Kemudian ia maju dan membisikkan sesuatu, "Ali kenapa?" tanyanya.
Perasaan yang tak seharusnya muncul malah nyelonong begitu saja. Khawatir bukan main setelah Ali menghilang ditambah Juliet yang jarang-jarang nongki di rumahnya memilih mampir hanya untuk bertanya akan hal itu.
Pita mencondongkan diri. Juliet pikir Pita akan memberitahukan jawabannya. Tetapi yang keluar dari mulut gadis itu malah, "Ali kenapa?"
Sial.
Justu balik tanya lagi.
"Eh, Pitak! Gue tanya malah balik tanya!" Juliet sewot, "seharusnya lo jawab, dong! Kemarin malem gue liat Ali mabok diobok-obok—"
"Airnya diobok-obok—"
"Woy nggak usah dilanjutin!"
"Yaudah lanjut!"
"Pasti ada masalah sama lo, kan, dia?!" tuding Juliet membuat Pita mendelik tak terima.
"Gue nggak ngapa-ngapain dia, ya! Lagian gue jalan sama temen cowok gue emangnya salah? Itu nggak ada urusannya sama dia."
"Apa lo bilang?" tanya Juliet.
"Emang gue bilang apa?"
"Yang tadi, bangsul!"
"Kebanyakan kata tadi. Nggak tahu ngomong apa. Lupa. Tunggu kalau gue rekam misal mau nagih, mah!"
"Goblok!" umpat Juliet yang langsung diserang jambakan maut dari Pita. Hampir saja rambut keritingnya rontok bagaikan mie misal ia tak segera menahan gadis berperingai buruk itu.
"Berhenti, woy! Gue bukan ngumpatin lo!" sergah Juliet.
Pita terdiam. Menunggu maksud Juliet yang akan dibahas selanjutnya setelah membereskan rambutnya yang amburadul.
"Yang goblok itu Ali!" Juliet kembali buka suara setelah diam cukup lama.
"Maksud lo?" tanya Pita.
"Dia cemburu. Tapi goblok karena nggak ngerti."
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
"Balik!"
"Kalau sampe lo nggak balik, mobil-mobilan yang lo sembunyiin dalam lemari bakal gue bakar."
Ali membaca pesan dari nomor asing. Tetapi dengan sekali baca, ia sudah mengetahui siapa si pengirim. Tentu saja dia adalah Pitaloka Oncella. Gadis yang sudah membuat perasaannya susah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Siapa suruh sok-sok'an jadi orang Inggris.
Pita kembali mengirimkan pesan pada Ali. Kali ini beserta foto yang menampilkan mobil-mobilan berwarna merah yang ditahan oleh tangan Pita tepat di atas api.
"ITU MOBIL-MOBILAN CACA, ANJIM! BISA BROKEN TET DIA NANTI!" Broken heart, kadal!
"Iya-iya gue pulang!" ketik Ali pada akhirnya sebagai balasan.
"Nah gitu, dong! Love you."
Ali mengucek matanya berkali-kali. Berharap ia tidak salah lihat mengenai dua kalimat terakhir yang diketik oleh gadis itu. Menyadari hasilnya tetap sama, entah mengapa perasaan Ali tiba-tiba melambung tinggi.
Ali menjerit heboh saat itu juga. Ia melompat girang saking senangnya. Kemudian ia berhenti saat ponsel yang masih digenggamnya berdering menunjukkan adanya notif baru.
"#bajak_Juliet." Isi pesan Pita selanjutnya.
Ali tersenyum tipis bagai rasa ingin menghujat.
Dijatuhkan lagi? Sudah biasa.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Paha Evan bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sesekali juga ikut berputar dengan lihainya.
Apa kalian pikir lelaki ini sedang berjoget? Tidak!
Lalu?
Ponsel di saku celananya bergetar. Tapi karena orangnya terlampau goodlooking, jadi alay sedikit tidak masalah baginya. Toh, nanti keliatan lucu juga di mata kaum hawa—walau ada kampret-kampretnya gitu.
Evan lari menuju toilet pria. Berusaha mengamankan kondisi, ia menatap sekeliling dan masuk ke dalam salah satu bilik dan menguncinya rapat.
"Udah gue bilang jangan telepon di jam-jam sekolah gue!" Bentakkan itu disebut sebagai sambutan hangat dari Evan pada si penelpon di sebrang sana.
"Gue cuma butuh kepastian," jawab orang di sana.
"Nanti gue kabarin lagi."
"Gue butuh kepastiannya sekarang! Bagaimanapun juga gue ini kerja. Gue nggak mau lo ngabarin gue di saat orang lain butuh jasa gue."
"Kalau emang lo nggak sabar dan nggak bisa tunggu nanti, yaudah gue tinggal cari yang lain!" putus Evan dan langsung mematikan sambungan secara sepihak.
"Pitaloka Oncella," gumam Evan sebelum akhirnya keluar dari dalam toilet.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top