16 : Hantu Mabuk?
Suara dentuman musik dangdut menggema ke setiap penjuru ruang. Lampu bundar berefek kemerlap-kemerlip juga menjadi penghias di malam penuh hiburan ini. Berbagai pasukan hantu lainnya terlihat sibuk menghibur diri mereka sendiri dengan berjoget lepas di dance floor.
Ali awalnya menolak untuk datang ke sini. Namun, lantaran ia kesal akibat perlakuan Pita padanya beberapa jam yang lalu. Akhirnya ia sendiri yang datang kemari sambil menyumpah serapahi lelaki bernama Evan yang tiba-tiba saja mengalihkan perhatian Pita darinya.
Meskipun Ali kalah beberapa senti tingginya dari lelaki itu, tetap saja ketampanannya tiada tanding dan tetap pada rank nomor satu di daerah ini. Hantu sejuta keimutan itu pun bisa membuat siapa saja tertular oleh senyumnya. Senyum lepas tanpa paksaan atau kecanggungan sedikitpun. Yakin tidak yakin, Ali adalah sosok yang tidak membosankan apabila terus dipandang.
Komplotan hantu dedemit, alay girl, dan fucek girl lah yang sering memberikan pujian tersebut pada Ali.
Sudah cukup lama, Ali hanya duduk di bartender tanpa berjoget seperti para kuntilanak dan hantu kelas atas lainnya yang berjingkrak-jingkrak di lantai dance floor. Ali hanya melamun ditemani alkohol rasa semangka sedari tadi.
Pikirannya melayang tak tentu arah. Tentang mengapa hatinya bisa sesesak ini. Memikirkan nasibnya yang masih bertaruh antara hidup dan mati. Dan mencari tahu penyebab atas ketidaksukaannya pada Evan sejak awal mereka bertemu. Ralat. Lebih tepatnya sejak awal Ali bertemu dengan lelaki itu.
Enam gelas alkohol berhasil ditandas habis oleh Ali. Dan kini hantu noob itu memintanya lagi pada si penjaga bartender—vampir—yang tempat tinggalnya terbilang cukup mewah yaitu kastil mewah atau kuil. Bukan hanya itu. Vampir ini juga kerap memakai aksesoris mahal berupa kalung dan cicin giok berukuran besar. Maka tak perlu dijelaskan lagi seberapa banyak iler para hantu ketika sombongnya seorang vampir mulai kumat.
"Haiyyah, jangan banyak-banyak! Tepar lu ntar," kata vampir itu. Melarang, namun tetap menuangkan gelas Ali yang kosong.
Ali mulai hilang kesadaran. Matanya meredup dan gerak tubuhnya sudah tak terkendalikan.
Sang vampir terlonjak kaget begitu Ali menggebrak meja bar dan menunjuk wajahnya.
"Lo!" Ali berkata lirih, "jelek!"
Mendengar cercaan dan selingan tawa ejek dari Ali membuat vampir itu balas menggebrak meja dan menunjuk Ali tak terima.
"Haiyyah, enak aja lu main ngata-ngatain gue! Biarpun gue jelek, kalau banyak duit mah aman-aman aja, toh."
"Ngapain lo deketin Pita?!" Ali kembali mengamuk membuat vampir tersebut berjengit.
Biadab sekali. Tidak menanggapi tetapi kembali mengamuk lagi. Vampir itu mencoba untuk memaklumi Ali yang terkena efek alkohol. Tetapi semakin dimaklumi, Ali semakin menjadi.
"LO NGAPAIN DEKETIN PITA, HAHH?!"
"Haiyyah, lu ini tanya si Pita-Pita, toh? Cacing Pita?"
"Arghhh!" Ali menggeram dan mengibaskan tangan.
"Gue tahu ... pasti lo suka, kan, sama Pita?" tanya Ali lalu tertawa sumbang, "nggak akan gue biarin!" Kesadarannya mulai memburuk. Ia mulai tenggelam pada amarah efek dari alkohol rasa semangka barusan.
"Haiyyah! Kan udah gue tanya Pita siapa! O'on lu dasar!"
"BANGSAT KAU!" Ali menggebrak meja.
"HAIYYAH! KENAPA NGENGGAS ANJER?!" Vampir itu jadi kesal lantaran Ali seolah terus menerus menyalahkannya. Padahal Ali hanya sedang berhalusinasi dan menganggap bahwa hantu cina ini adalah Evan.
Ali menyeret vampir itu dari bartender. Membuatnya terloncat-loncat mengikuti langkah Ali. Mata Ali mulai memerah menyimpan kesedihan dan amarah. Aroma-aroma sad boy pun lantas menguar jelas dari sana. Tangannya terkepal kuat bersiap memukul vampir.
"Setopppp!" tahan vampir itu. Tangan Ali menggantung di udara. Vampir tersenyum dan melanjutkan, "kau mencuri hatiku, hatikuu uuu...."
Bugh!
Bonyok sudah wajah kaku si vampir akibat pukulan Ali yang begitu keras. Setelah berhasil memukulnya, Ali malah langsung tepar di atas lantai.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Pita menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku. Tidur samping kanan, tidur samping kiri, tetap saja jika sudah waktunya bangun ia pun harus bangun tanpa bisa dipaksa untuk mengantuk lagi.
Masih dengan mengumpulkan kesadarannya dan menahan matanya yang terasa berat, gadis itu meraih ponsel dari atas nakas dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Pita bangkit dari tidurnya dan menatap keresek putih berukuran sedang yang berada di meja belajarnya. Itu pemberian dari Evan. Isinya adalah barang-barang couple untuk seorang pasangan. Pita sudah menolaknya mentah-mentah. Tetapi Evan tak mau dibantah dan menyuruh Pita untuk menerimanya. Jika tidak, buang saja. Itu kata Evan tanpa pikir-pikir lagi. Mulutnya memang ringan sekali ketika berucap.
Sekarang, haruskah Pita memakainya? Jam tangan. Sepatu. Haruskah Pita melekatkannya saat menjelang sekolah besok?
Selagi memikirkan iya atau tidaknya. Bayangan Ali justru melintas tanpa izin. Saat itu ... apa mungkin hanya Pita yang merasa bahwa tatapan yang Ali berikan adalah tatapan kecewa? Tetapi mengapa? Ada yang salah?
Pita mengedarkan matanya ke segala penjuru kamar. Mencari keberadaan Ali namun tak ditemukan.
"Ke mana sih, tuh, setan?!" gerutu Pita.
Pita mengehembuskan napas sedalam-dalamnya dan menatap atap. Terasa ada yang mengganjal di lubuk hatinya.
"Dia marah sama gue?" tanya Pita pada dirinya sendiri, "ya tapi kenapa marah?!
Tak lama kemudian, ponsel digenggaman Pita bergetar. Ada nomor tak diketahui meneleponnya. Gadis itu berjingkrak panik. Tetapi segera mengangkatnya selepas mengatur napas.
Bisa saja ini Ali, kan?
Atau bisa saja ini hantu-hantu yang ingin mengabari kabar Ali pada Pita. Tanpa sadar senyum Pita terbit begitu mengangkatnya.
"Halo?" sapa Pita pada si penelpon.
Hening cukup lama dari sebrang sana dan kini hanya menyisahkan suara kerasak-kerusuk tidak jelas.
"Halo?" Akhirnya suara dari sebrang sana terdengar.
"Iya. Ada apa, ya?" tanya Pita.
"Nggak papa, kok. Cuma salah sambung."
Sialan!
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
"Apa baiknya, nih, anak kita rukiyah aja kali, ya?" tanya sundal bolong sambil menatap kasihan pada Ali yang tertidur di sofa.
"Iya. Habis itu lo yang bakal kepanasan jadi debu," balas genderuwo.
Sundal bolong itu mendekus.
Mata Ali masih terpejam. Lalu sekelebat kabut memperlihatkan seorang gadis yang terkapar di tengah jalan dengan berbagai darah yang menghiasi tubuhnya. Seorang lelaki datang menghampiri gadis itu dan mendekapnya. Kemudian, sebuah lampu mobil menyorot silau pada matanya. Dan ... terdengar tabrakan keras setelahnya.
Tangan Ali langsung terbangun dari pingsannya. Kepalanya yang dipenuhi keringat dingin itu terasa pening. Napasnya pun tersengal-sengal.
"Lo mules?" tanya kuntilanak.
"Makanya kalau mau pingsan itu berak dulu!" timpal genderuwo.
Pocong Ahmad seolah menjadi bapak bagi para hantu dan menggaploki kepala kuntilanak dan genderuwo menggunakan kepalanya. Belum lagi ia mendadak jadi moderator handal yang memberi banyak ceramah perihal sikap tak baik mereka berdua pada seseorang yang baru bangun pingsan.
"Nih, nih, minum!" Pocong Ahmad menyondorkan minum pada Ali. Ali menerimanya dan meminumnya.
"Kebetulan, itu air hasil kobokan," lanjut pocong Ahmad yang langsung dihadiahi semburan dari Ali.
Ternyata pocong tetaplah pocong. Pernah jadi seorang bapak, tapi bo'ong.
"Banjir dah muka gue. Mana bau jigong lagi."
"Lo ngajak berantem?!"
Pocong itu setengah terkejut. Tetapi kemudian balas menantang dengan cara mengangkat dagunya songong.
"Gue nggak berani," katanya lalu menggeleng.
Sebelum Ali benar-benar memberi serangan pada pocong, genderuwo dan kuntilanak sigap menahan tubuhnya. Lalu pintu kamar sewa yang mereka tempati ini—atau lebih tepatnya tempat para setan membelah duren di malam hari dan menghasilkan bayi-bayi tuyul, terbuka lebar dengan sedikit bantingan.
Semua yang ada di sana melirik. Rupanya para hantu cabe-cabean.
"SETAN GANTENG!"
"JODOH ORANG!"
"WAHHH!" Mereka langsung berlari menyerang Ali yang belum benar-benar terkumpul kesadarannya. Sampai pada akhirnya Ali yang baru bangun jadi dibuat pingsan lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top