𝕺𝖓𝖊

𝕺𝖓𝖊

Alarm berbunyi riang, menandakan waktunya bangun. Berisiknya menyebar ke seluruh ruas rumah. Namun mengartikan bahwa pagi sudah tiba.

Langit jernih nan bersih membentang luas sepanjang angkasa. Awan putih melayang. Sinar mentari menyinari dunia.

Burung bertebangan bebas, bertengger di dahan kokoh, sesekali berkicau menyapa. Sungguh suatu permulaan indah.

Pastinya hari ini adalah awal baru. Kecuali bagi gadis bersurai navy. Kata siapa ia ingin terbangun?

Bergulung di balik selimut, tubuh rampingnya terburu nyaman. Hampir ia jatuh dari kasur jika bergerak sedikit lagi. Begitu pula bantal di dekapan seolah tidak rela lepas.

"Ayo," bujuk seseorang dari luar. Wahai terpanggil tidak kunjung membuka mata. Nampaknya terlelap nyenyak. "Nee-san!" Sekali lagi yang bertugas menyadarkan si putri tidur menggedor pintu.

Apa daya nihil. Mau bagaimana lagi, jadilah melaporkan Ibu. "Tolong buat nee-san siuman."

Gedung tradisional bertingkat satu di sana biasa tentram damai tanpa kebisingan, sampai seseorang mendobrak kamar. "WOY BANGUN!" Melupakan tata krama seperlunya mengetuk sebelum masuk. "Katanya, mau kerja?!" Teriakan bergema seisi bangunan.

Tikar tatami yang diinjaki terasa bergetar. Nyatanya-- selain masalah lantai, pintu yang dibuka kencang ikut rusak saking rusuhnya. Terjamin suatu hari nanti mereka akan menghancurkan barang lain.

Lelaki separuh baya yang tengah menikmati segelas kopi di dapur pun menghela napas. "Berapa kali aku harus memanggil tukang service?" keluhnya mengingat istri sering menjadi pelaku penghancur properti rumah. Kacamata di pangkal hidupnya bersinar terang terpantulkan cahaya bohlam lampu, mengkilat seiring penggunanya berkata, "Bisa-bisa gajiku habis hanya untuk memperbaiki kesalahan mereka."

Kembali ke sudut pandang heroine.

Penghuni kamar alias Munakata Reon mengerjap bingung. "Hah? Kerja...?" lontarnya setengah sadar. Begitu melirik gantungan berbalut seragam, netranya membulat sempurna. "BISA TELAT, HEH! INI, KAN HARI PERTAMA KERJA!" ocehnya pada diri sendiri.

Tanpa ba-bi-bu, Reon berlari menyiapkan ritual bersih. Bergegas ia mandi terhujani air shower setelah melepas piyama. Sabun membasuh, mencuci setiap inci kulit, jemari lentik Reon menggosok bagian kotor. Tidak lupa ia menggosok gigi.

Kemeja putih, dasi dilengkapi celana panjang. Mengenakan pakaian yang ditentukan, ia terburu keluar menghadapi ruang tamu. Tidak Reon pedulikan keadaan sekitar. Termasuk satu hal, yaitu sarapan sepiring roti panggang di meja.

"Aku berangkat duluan!" pamit Reon seusai mengikat tali sepatu.

Bibir Ibu mengulum senyum saat melihat sosok Reon dari belakang. "Haduh, padahal sebentar lagi dia akan hidup mandiri.... tetapi kecerobohannya bukan main!" Walau terkesan galak, sebenarnya dia cukup membanggakan prestasi putri sulungnya yang pintar.

Suara berat menginterupsi berupa, "Ceroboh, pelupa, pemalas, semua gen miliknya benar-benar persis denganmu."

"Ah, sayang! Mana mungkin aku..."

Lagi terlontar hela napas panjang. "Hm... kalau begitu, kenapa kau lupa memberikan bekal pada Reon?" tanya suami melirik sekotak berwarna hijau terbungkus kain.

Hening.

Tahu akan diledeki, nyonya besar Munakata bungkam seoah berpura tidak menahu. "Bukan..." bohongnya mencari alasan..

Seorang lebih muda muncul di belakang mereka. "Onee-san mana?" Hadirlah anak bungsu; Ronin. Paras imut lucu apalagi perawakan lemah lembutnya menarik hati dua kaum sekaligus. Walau begitu jangan salahkan seksualitasnya, lelaki sejati.

"Tadi dia berangkat!" sahut Ibu mengacungkan jempol.

Bagai tersambar petir, Ronin membeku. "Eh... aku, kan ikut."

Kedua kali Ibu berhenti berbicara. Langsung ia mundur menyerahkan sekotak bekal yang tertinggal. "Sudahlah, kau susul saja."

Manik Ronin mendelik pelan. "Bekalnya hanya cukup untuk Reon onee-san... apa Ibu lupa memasak lebih banyak?" Terdapat intonasi cemas di akhir kalimat.

Semburat merah menghias kedua pipi tirus Ibu. "IH, CEPAT PERGI!" usirnya bercampur kesal akibat tidak mampu mengelak.

Sedangkan pukul 07:30 di suatu hotel mewah. Interior mengkilap, karpet bergelar membuat setiap penginjaknya merasa adalah raja, biaya penginapan mahal. Ciri-ciri kehidupan bak orang kaya.

Suasana elegan yang seharusnya bertahan lama secara tidak sengaja terpecahkan dentingan sendok antik. Seorang insan berlabel nama 'Arkeen' asyik bersantai mengaduk gula di cangkir. "Hadeh, gak ada yang jual Indomie dua bungkus, kah?" pikirnya mulai menyeruput breakfast tea.

Awalnya ia berniat merasakan sarapan ala Barat. Apa daya lambung tetap berdemo meminta asupan berlebih. Warga Indonesia macamnya tidak akan puas memenuhi kebutuhan perut melalui sepotong roti berbentuk bulan sabit. Istilah lainnya adalah croissant.

Semangkuk ramen berukuran mini ia tatap. Dilihat sekilas saja ia tahu tidak mengeyangkan. Mau tidak mau akhirnya Arkeen habiskan karena menahan lapar semalaman. 

Sialnya, pihak hotel sendiri belum menyediakan catering sebelum jadwal makan siang. 

Menyerah, Arkeen beranjak menuju kendaraan dimana sebuah bus terparkir di halaman luar. Beruntung ada bangku kosong untuknya diduduki. Spanduk juga berkibar, menjelaskan adanya penyelenggaraan touring. 

Arkeen sebagai salah satu remaja Indonesia hasil program pertukaran pelajar. Baru pindah seminggu lampau, ia perlu mengetahui lingkungan Negeri Sakura. Namun yang terbayang di pikiran hanyalah anime, manga, atau robot gundam-- bukan sejarah Jepang. 

Seketika datanglah gadis menawan berteriak meminta maaf. "MAAF, AKU NYARIS TELAT! KUBERJANJI LAIN KALI TIDAK TERULANG KEMBALI." Semua orang pasti sadar perempuan itu masih SMA.

"Aku adalah asisten pramuwisata kalian. Salam kenal, Munakata Reon."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top