✧˖*°┊❝ 𝘗𝘪𝘤𝘯𝘪𝘤ᵕ̈೫˚∗

╰─▸ ❝ 𝑫𝒂𝒚 𝑺𝒊𝒙 : 𝒫𝒾𝒸𝓃𝒾𝒸

╰─▸ ❝ 𝑻𝒐𝒅𝒂𝒚'𝒔 𝑷𝒂𝒊𝒓 : 𝘋𝘢𝘮𝘪𝘢𝘯 𝘋𝘦𝘴𝘮𝘰𝘯𝘥 𝘹 𝘈𝘯𝘺𝘢 𝘍𝘰𝘳𝘨𝘦𝘳

╰─▸ ❝ 𝑻𝒂𝒈𝒔 : The modern universe, characters are aged up to 16 years old.

˗ˏˋ ⁱᵐᵖᵒʳᵗᵃⁿᵗ! ᵃˡˡ ᶜʰᵃʳᵃᶜᵗᵉʳˢ ᵇᵉˡᵒⁿᵍˢ ᵗᵒ ᵗᵃᵗˢᵘʸᵃ ᵉⁿᵈᵒ!¡ 'ˎ˗

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

𝑰'𝒍𝒍 𝒃𝒆 𝒕𝒉𝒆𝒓𝒆.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Saat Anya merayakan ulang tahunnya yang ke-14, Damian memberinya sebuah jam pasir dengan hitungan waktu 30 menit. Jam pasir itu sangat cantik, mungkin lebih mendekati kata indah daripada cantik. Pasirnya berwarna kebiruan dengan penyangga kaca yang terbuat dari kayu jati. Ada sedikit bunyi pasir setiap kali jam tersebut dibalik, seperti bisik kekehan peri. Ketika Anya bertanya untuk apa jam pasir itu diberikan kepadanya, Damian hanya menjawab "Gunakan itu sebagai alat hitung waktumu," dengan wajah memerah.

Sekarang, setiap kali Anya membuat janji dengan Damian, ucapan sang lelaki selalu saja putar jam pasirmu, aku akan tiba saat pasirnya sudah habis — yang mana selalu benar ia tepati. Setiap pasirnya mencapai titik terakhir, Damian selalu tiba mengetuk pintu rumahnya. Kadang Anya bertanya, apa lelaki ini memiliki kemampian untuk lari dengan cepat seperti Ibunya? Atau sebenarnya Damian adalah mata-mata seperti Ayahnya? Sampai sekarang pertanyaan itu tetap tidak terjawab.

Kalau kata Becky yang merupakan teman baik Anya sejak di taman kanak-kanak, ada kemungkinan Damian memiliki kemampuan berlari cepat seperti salah satu Superhero di film aksi terkenal. Anya menolak mempercayai ucapan Becky walau sebenarnya ia sempat meng-iyakan dalam hati. Anya memang percaya dengan mata-mata atau semacamnya, tapi tidak dengan para pahlawan super dan kedatangan heroik mereka. Mata-mata terdengar lebih keren dan realistis pikir Anya walau sebenarnya waktu itu dia tak mengerti apa arti dari kata realistis.

Pada akhirnya pertanyaan akan mengapa Damian selalu bisa sampai tepat waktu ketika pasir di jam milik Anya sudah habis masih menjadi pertanyaan besar. Bahkan sampai sekarang ketika umur Anya akhirnya menginjak 16 tahun, Anya masih tak tahu bagaimana bisa tuan muda Desmond yang satu itu sampai di pintu rumahnya tepat waktu.

Walau begitu Anya tidak ambil pusing. Ia tetap tersenyum dan menerima uluran tangan Damian ketika dilihatnya sosok berpakaian rapih itu di depan pintunya, seperti saat ini. Dengan keranjang piknik di tangan kanan dan tangan Damian di tangan kiri, keduanya berjalan bersama-sama menuju bus yang akan membawa mereka ke taman hari ini.

︶꒦꒷♡꒷꒦︶

Taman yang mereka kunjungi tak ramai seperti taman-taman pada umumnya. Mungkin karena seluk taman yang tak bisa dipandang dengan sekali lirik, atau karena beberapa orang memilih memutar balik karena pagar tinggi dengan tumbuhan merambat seolah menimbulkan kesan angker. Padahal jika dilihat-lihat, kumpulang bunga Ivy Meksiko yang merambat di pagar sangatlah rapih seperti dirawat oleh tukang kebun setiap hari.

Sayangnya kebanyakan orang selalu melewatkan detail-detail kecil. Karena kebanyakan orang itu lah, taman luas yang sebenarnya sangat memanjakan mata ini jarang memiliki pengunjung selain mereka-mereka yang memiliki hobi golf karena ada sarana golf khusus di bagian utara taman.

Sesampainya di taman, Anya meloncat kegirangan dan berlari kesana-kemari layaknya monyet di hutan lepas. Namun bagi Damian, Anya layaknya anak kucing yang sedang bermain di tempat bermainnya.

“Damian, lihat! Kupu-kupu! Kupu-kupu!!” Seru Anya dengan semangat.

Damian mengangguk, “Kupu-kupu,” beonya.

Sesudah puas berlari-lari seperti monyet lepas, Anya memutuskan untuk menggelar karpet piknik mereka di bawah pohon Maple dengan daun yang mulai menguning tanda awal datangnya musim gugur. Beberapa helai daun jatuh ke karpet piknik mereka namun Anya malah mengumpulkan semua yang jatuh sembari bergumam dengan nada riang kalau itu akan ia jadikan pajangan.

Damian sebenarnya tidak begitu mengerti maksud dari gumaman Anya. Tapi iya meng-iyakan saja karena menurutnya Anya yang sedang bergumam dengan suara riang dan pipi memerah itu amatlah lucu seperti boneka akrilik pemberian Ayahnya beberapa tahun lalu.

Anya meletakkan daun-daun itu di sebelah kirinya, tak jauh dari pantat Anya. Ia berhati-hati agar daun dengan warna merah atau kuning tersebut tidak robek, patah, hilang daun sebagian, terbakar, terduduki, tertabok, terinjak, dan hal jelek lainnya.

Setelah dirasa kumpulan daunnya aman, Anya mulai mengeluarkan roti lapis dan buah-buahan dari dalam keranjang pikniknya. Roti lapis berisi daging ham, selada, tomat, juga sedikit mayonaise dengan harum mentega berhasil membuat perut mereka berdua keroncongan. Dengan cekatan, Damian membantu dengan menuangkan jus apel ke masing-masing gelas plastik.

“Selamat makan,” Ucap Damian seperti anak manis.

“Selamat makan!” Seru Anya seperti anak keren.

Keduanya memakan roti lapis dalam diam namun juga tak diam-diam amat karena Anya selalu menggerakkan kepala atau memutar badannya untuk melihat-lihat sekitarnya. Kadang melihat kupu-kupu, daun-daun yang berguguran terlalu jauh, atau lelaki dengan anjing berwarna kecoklatan mereka. Sambil mengamati, pipi dan mulut sang gadis tak pernah berhenti mengunyah.

“Damian,” panggil Anya setelah menghabiskan roti lapisnya.

Damian mengangguk sebagai jawabannya, karena ia tak bisa membalas dengan memanggil nama Anya atau dengan ucapan balasan seperti biasanya dikarenakan mulutnya masih sibuk mengunyah roti lapis yang belum juga habis-habis — sebenarnya Becky pernah berkata kalau Damian adalah seseorang yang memiliki mulut dan suapan kecil dan memang benar itu faktanya — di tangan dan piring plastiknya.

“Waktu Ulang Tahunku yang ke-14, kamu memberiku Jam Pasir kan?” Tanya Anya yang dibalas anggukan oleh Damian.

“Waktunya 30 menit kan?” Tanya Anya lagi yang dibalas oleh anggukkan oleh Damian lagi.

Anya diam sejenak, “Sebenarnya ada yang mengganjal di pikiranku. Setiap aku menelponmu, kamu selalu memintaku untuk memutar jam pasirnya. Dan kau selalu datang setiap pasirnya habis,” Ucapnya dalam bentuk rentetan kata.

“Aku selalu bingung, bagaimana, bagaimana caranya kau datang tepat waktu?” Lanjut sang gadis.

Damian membuka mulutnya yang akhirnya tak lagi mengunyah roti lapis, dengan wajah sedikit memerah ia menjawab “Aku selalu berpikir kalau kau menelponku pasti kau butuh bantuan. Karena itu aku memegang prinsip agar aku selalu ada disana saat kau membutuhkanku,” jelasnya.

Wajah Anya memerah sesaat setelah Damian menyelesaikan perkataannya. Benar juga pikir Anya. Jadi selama ini, Damian selalu datang karena memikirkan dirinya. 30 menit bukanlah waktu yang lama, namun Damian menjadikan waktu itu sebagai hitungan mundur karena ia tak mau Anya lama-lama menunggunya.

“Sudahlah! Tidak perlu dipikirkan! Ayo kita lanjutkan ke makanan selanjutnya!” Seru Damian yang nampaknya terlalu malu karena Anya tak membalas perkataannya.

Sore itu mereka habiskan dengan bermain dan mengelilingi taman. Dengan senyum di wajah, keduanya pulang dengan perasaan berbunga pada hati mereka. Damian menurunkan Anya di halte dekat rumah sang gadis layaknya pria benar yang menuntun gadis manis. Setelah saling menggenggam tangan untuk terakhir kalinya, keduanya berpisah dengan senyum berseri-seri masih menempel di wajah mereka.

- ̥۪͙۪˚┊❛ めでたしめでたし ❜┊˚̥۪͙۪◌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top