𝑪𝒉𝒓𝒚𝒔𝒂𝒏𝒕𝒉𝒆𝒎𝒖𝒎 𝑹𝒐𝒐𝒎 • 𝑫𝒂𝒚 08 : Live [END]

Sepi sekali.

Saya menatap keluar jendela. Salju sudah tidak turun lagi, artinya hari ini mungkin sekali lagi para Pasien dari kamar tertentu diperbolehkan untuk bermain di taman.

Harusnya kemarin giliran saya dan Amane-san yang turun. Saya sudah sangat menantikannya. Bermain dengan Amane-san yang unik dan berisik. Katanya Tsuchigomori-Sensei juga akan ikut menemani, jadi saya sangat amat menantikannya hingga tidak bisa tidur di malam hari.

Kasur di depan saya sekarang kosong seperti dulu. Kamar ini pun rasanya menjadi sangat luas dan sepi. Selama Amane-san menjadi pasien di kamar ini, saya sebenarnya terhibur dengan kehadirannya. Dia baik. Amane-san orang yang baik. Hanya saja dia agak sedikit konyol dan keras kepala. Tapi saya sangat suka dengan sosoknya yang hangat. Sayangnya karena kegilaan orang-orang, Amane-san yang tidak pantas mati akhirnya harus menanggung takdir yang pahit.

Pintu kamar yang berdecit di buka. Dari ujung mata saya melihat Tsukasa-San berjalan masuk ke dalam kamar dengan tatapan kosong. Saya menundukan wajah, tidak berani menatapnya.

"Halo Yashiro-chan."

Ah, dia menyapa saya.

Saya akhirnya mengangkat kepala saya. Iris coklat yang serupa dengan Amane-san menatap saya dengan ramah. Meskipun begitu saya tahu pasti Tsukasa-san menangis semalaman penuh ketika dia mengetahui kejadian pahit yang menimpa saudara kembarnya. Sebenarnya saya bertanya-tanya, kenapa dia menangis ketika sebenarnya tahu Amane-san akan mati?

"Bagaimana kabarmu?"

Saya menganggukkan kepala tanda kabar saya baik-baik saja. Tsukasa-san tersenyum lega.

"Terima kasih sudah menjadi Pasien sekamar Amane selama ini. Hari ini aku datang untuk menyampaikannya. Awalnya mau bersama ibu, tapi Ibu masih sedih sepertinya. Jadi aku datang sendiri."

"Bukan apa-apa. Saya senang kok ditemani dengan Amane-san."

Tsukasa-san tertawa. Tawanya terdengar patah-patah dan dipaksakan. Tapi saya tetap menganggapnya sebagai tawa. Iris ambernya yang serupa dengan Amane menatap saya dengan lurus. Meskipun begitu, saya tahu betul kesedihan yang ia simpan dalam tatapannya. Tsukasa-San pandai menyembunyikan emosinya dengan tawa, tidak seperti Amane-san. Amane-san selalu terang-terangan menunjukan ketidak sukaannya.
Tapi kali ini, kali ini pertama kalinya saya bisa membaca sorot mata Tsukasa-san yang biasanya seperti ditutupi oleh kabut. Sorot kesedihan dan kehilangan tidak bisa lepas dari tatapannya meskipun dia sudah berkali-kali meyakinkan saya bahwa dia tidak apa-apa.

Saya ditawari Wagashi yang Tsukasa-san bawa sebagai wejangan untuk saya. Dengan sopan saya menolak manisan berbentuk kelinci yang terlihat lucu dan menarik tersebut. Nafsu makan saya turun belakangan ini, dan sepertinya Tsukasa-san sadar akan hal itu. Wagashi berbentuk kelinci ia letakan di meja kecil di dekat kasur saya. Topi baseball di kepalanya ia lepas. Tsukasa-san kembali mendudukan bokongnya di ujung kasur saya.

"Amane.... Orang yang menyenangkan ya?" Ia berujar pelan

Saya mengangguk sebagai jawaban. Tsukasa-san tersenyum lebar, terlihat senang akan jawaban yang saya berikan dalam diam. Ia memainkan topi berwarna biru di tangannya sambil tertawa. Namun tawa itu tidak berlangsung lama. Bahu Tsukasa-san bergetar setelah ia mengakhiri tawanya. Air mata turun dari iris ambernya. Kesedihannya seolah menular sehingga saya, tanpa sadar, ikut meneteskan air mata.
Sepertinya baik Amane-San dan Tsukasa-San sama-sama peka. Saat menyadari saya menangis Tsukasa-san memeluk saya lemah. Kini saya bisa mendengarkan isakannya dengan jelas. Mulut saya pun ikut mengeluarkan suara isakannya yang terdengar sangat jelek. Air mata kembali menemukan jalan keluarnya dari mata saya, dan mungkin ingus menjijikan yang bisa membuat hidung saya merah ikut keluar.

Saya dan Tsukasa-san berpelukan sambil menangis. Kami tidak berbicara apa-apa, tapi saya seolah mengerti apa yang ingin Tsukasa-san katakan. Mungkin Tsukasa-san juga merasa begitu, karena dia mengeratkan pelukannya seperti gerakan menguatkan. Saya pernah mendengar bahwa Tangis dan Tawa adalah bahasa Universal. Tanpa diberi tahukan artinya pun kita akan mengerti sendiri alasan dari tangisan atau tawa yang keluar. Saya rasa hal itu benar.

"Yashiro-Chan, kau harus janji ya...." Tsukasa-san berkata dengan suara parau

"Karena Amane sudah berkorban sekarang kau yang harus menggantikannya. Jangan, jangan pernah berpikir untuk mengakhiri segalanya begitu saja" Lanjutnya

"Rasanya sakit kan? Sakiit sekali, saking sakitnya kadang kau tidak bisa menangis lagi. Kehilangan seseorang yang sangat berarti bagimu seolah kehilangan setengah dari hidupmu. Kehilangan seseorang itu suatu emosi yang tidak bisa kau utarakan dengan baik. Aku mengerti Yashiro-Chan, aku mengerti. Aku dan Amane sudah mengenal satu sama lain sebelum dirimu mengenalnya. Karena itu Yashiro-chan...."

"Kau harus tetap hidup...." Tsukasa-san menyeka air mata saya dengan tangan bergetar

"Untukmu dan untuk Amane."

Saya sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Jadi saya mengangguk sebagai tanggapan saya. Tsukasa-san menyedot ingusnya kembali ke hidung. Dia mulai menceritakan tentang Amane-san.

Keluarga mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Kedua orangtua mereka hanya dosen di Universitas Swasta. Gaji per bulannya sebenarnya cukup banyak, sayangnya beberapa dari gaji itu dipakai untuk pengobatan Amane-san.
Akhirnya teman Ayah mereka menawarkan soal Lab ini. Lab yang tidak manusiawi ini. Ayah mereka menyetujuinya, nengurusi semua dokumennya meskipun Ibu mereka melarang dan menentangnya. Akhirnya Amane-san masuk ke Lab ini.

Ayah yang kejam.

Tapi saya tidak bisa menghujatnya karena Ayah saya pun sama kejamnya. Saya mendengar cerita Tsukasa-san dalam diam. Tsukasa-san pun mengakhiri ceritanya dengan mengelap sisa air matanya. Dia tertawa kering setelahnya.

"Sebenarnya saya juga ingin mati." Ucap saya

Tsukasa-san tidak berkata apa-apa. Hanya diam dan memandang saya, seperti mengisyaratkan saya untuk melanjutkan ucapan saya.

"Saya merasa tidak pantas untuk hidup."

"Saya benci..... Saya benci semua ini. Saya benci kenyataan ini. Saya selalu membenci semuanya. Saya membenci setiap hal yang ada di sini setelah saya tahu kenyataannya. Pun, semua orang selalu membenci saya yang menceritakan hal-hal diluar kepala. Sama bukan? Membenci dan dibenci, saya merasa saya lebih pantas mati daripada Amane-san."

"Saat saya pertama kali bertemu dengan Amane-san. Saya senang. Saya amat senang. Saya merasa seperti sebuah listrik yang memiliki satu frekuensi. Saya mengerti Amane-san dan Amane-san mengerti saya. Saya seperti menemukan apa yang saya cari selama ini. Saya mencari pengakuan dan kepercayaan"

Mata saya terasa panas. Saya menelan ludah yang terasa pahit. Tidak sanggup melanjutkan ucapan saya. Tsukasa-san menepuk-nepuk punggung saya. Tangan satunya mengelus pucuk kepala saya. Seperti yang biasa saya lakukan kepada Amane-san jika dia menangis. Saya menarik nafas dalam-dalam.

"Saya ingin mati." Ucap saya

"Kamu tidak boleh mati Yashiro-chan." Balas Tsukasa-san

"Saya ingin mati."

"Kamu tidak boleh mati, tidak ada yang menginginkan kamu mati."

"Saya harusnya mati."

"Tapi kamu tidak mati. Amane memberikan nyawanya kepadamu. Para Psikopat itu memilihmu. Kamu tidak mati."

Tsukasa-san memegang pipi saya, menempelkan jidatnya kepada jidat saya. Jarak antara Tsukasa-san dan saya sangat dekat. Dalam hati saya tahu Tsukasa-san tidak akan melakukan itu, dia hanya menatap saya dengan iris ambernya yang serupa dengan Amane-san.

"Kamu hidup. Kamu harus hidup Yashiro."

"Kamu merasa bersalah? Itu hal natural. Bahkan aku, merasa bersalah atas kematian Amane. Dia dan aku adalah satu, dia mati maka aku seperti kehilangan setengah kakiku. Bagimu Amane seperti apa? Pangeran dengan kuda putihnya? Tuhan dengan jimatnya?"

"Amane sudah mati. Dia sudah mati. Dia sudah tenang, kremasinya sudah selesai. Dia sudah tidak ada lagi di dunia. Karena itu, sebagai seseorang yang hidup karena dia, kamu harus tetap hidup."

Tsukasa-san melepaskan pegangannya, kembali membentangkan jarak di antara kami berdua. Saya tidak membalas apa-apa, tidak berkata apa-apa. Saya hanya menatap jemari saya dan Tsukasa-san yang menggaet satu sama lain. Kamj memberi kekuatan dalam diam.

Saya tertawa.

Ah, saya ingin mati.

Kemudian saya kembali menangis. Menghela nafas dan menangis.

Tapi saya harus hidup.

Tsukasa-san mengeluarkan sapu tangannya, mengusap air mata saya. Dia tersenyum lembut seolah tahu isi pikiran saya. Tsukasa-san memeluk saya dan saya pun membalas pelukannya.

Saya ingin mati.

Tapi saya harus hidup.

Saya ingin hidup. Saya harus hidup.

Siang itu, saya dan Tsukasa-san memutuskan untuk pergi ke meja administrasi. Mendaftarkan nama saya sebagai Pasien yang akan menjalani terapi dan pengobatan penuh. Tangan saya bergetar ketika menulis nama Amane-san, namun Tsukasa-san memijat pundak saya. Saya menarik nafas dalam-dalam.

Saya ingin mati.

Tapi saya harus hidup.

Saya harus hidup. Saya harus ingin hidup.

Amane-san, saya akan hidup untuk anda.

†††

Siang itu bunyi burung berkicau di musim semi.

Saya menutup buku Antariksa dan Misterinya. Menatap jendela yang memantulkan sinar matahari.

Pintu kamar diketuk, wajah Tsukasa-san muncul di ambang pintu. Dia tersenyum lebar, menawarkan tangannya yang saya terima dengan senang hati. Saya perlahan-lahan bangun dari kasur.

"Selamat atas kepulanganmu Yashiro-chan!" Serunya

Saya tertawa. Mengepaskan sepatu di kaki saya. Berjalan keluar dari pintu Lab yang berkarat. Sinar matahari musim semi dengan angin yang membawa bau bunga sakura. Saya tertawa.

"Terima kasih Tsukasa-san,"

Tsukasa-san tersenyum. Melepaskan genggamannya.

"Sekarang apa yang akan kamu lakukan?"

"Berkeliling dunia, seperti apa yang sudah saya dan Amane-san janjikan."

"Sendiri?"

Saya mengangguk mantap. Merenganggkan tangan saya lebar-lebar dan tertawa kencang di antara hamparan rumput dan pohon Sakura.

"Sekarang saya sudah bisa berdiri di atas kaki saya sendiri" Jawab saya

Siang itu angin membawa bau musim semi dan bunga sakura, sebenarnya masih ada sisa-sisa bau musim dingin dan kesedihan. Tapi hari ini saya menatap ke langit yang berwarna biru dengan gumpalan awan putih. Untuk pertama kalinya, langit yang biasanya saya lihat dengan warna kematian kini memancarkan warna kehidupan.

† F I N N †

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top