πͺππππππππππππ πΉπππ β’ π«ππ 06 : Our happiness. Your happiness.
Hari ini Tsukasa datang.
Dia masih menekuk wajahnya. Kotak donat ia tenteng di tangan kirinya. Kotak donat yang masih rapih dan belum tersentuh sama sekali, tidak seperti beberapa hari lalu dimana dia menghabiskan lima dari sepuluh jatahku.
"....Amane.... Aku datang...."
"Hai, terima kasih kado natalnya." balasku
Tsukasa menatapku takut-takut. Kotak donat ia letakan si tempat yang sama seperti kemarin. Dia duduk dengan kepala yang menatap ke lantai. Sama seperti posisi Yashiro kemarin.
Aku mengambil kotak donat, mengeluarkan satu donat berlapis saus maple dan gula yang dibakar.
"Tenang saja, aku tidak marah." Ucapku sebelum mulai memakan donat
"Kenapa tidak marah?"
"Kalau aku marah pun tidak akan mengubah fakta kalau aku akan mati."
Tsukasa membuka mulutnya, tapi menutupnya kembali. Mungkin dia takut akan mengucapkan hal yang salah, atau mungkin sekedar tidak tahu apa yang harus dia ucapkan. Alih-alih mencari kalimat, dia malah memegang tanganku dan meremasnya kuat-kuat. Aku terkekeh pelan.
"Kalau aku mati...."
Tsukasa meremas tanganku. Matanya menatap mataku. Aku seperti melihat ke cermin. Wajah yang sama persis dengan wajahku kini sedang memperlihatkan bahwa dirinya akan menangis.
"Kalau aku mati tolong jaga Yashiro ya."
Tsukasa mengangguk dalam diam. Menunduk dan menangis sambil menggenggam tanganku. Aku menepuk-nepuk kepalanya pelan sambil tertawa dan berkata kalau tidak ada yang bisa ia tangisi.
Aku mengambil nafas dan tertawa. Memeluk Tsukasa yang sedang menangis di kasur rumah sakit.
β β β
Aku pulang dengan mata sembab dan hidung yang terasa tersumbat. Beberapa orang di bus berbisik-bisik sambil ber spekulasi kalau aku baru saja putus dengan pacar. Padahal sebenarnya aku baru saja menangisi nasib kembaranku yang waktu hidupnya hanya terhitung hari.
Bus yang mengantarkanku pulang tidak terlalu ramai. Mungkin penyebabnya karena aku pulang larut. Orang-orang biasa pulang kantor pada pukul enam sampai delapan sore. Tapi aku memilih pulang pada pukul sembilan. Setelah makan malam di rumah sakit bersama Yashiro dan Amane menggunakan Kare instan yang diberikan oleh Suster Akane sebagai hadiah natal.
Aku menatap ke luar jendela, mendengarkan mesin Bus yang berderak berirama. Salju memadati beberapa sudut jalan. Salju berwarna putih bersih seperti isi dari rumah sakit. Aku menghela nafas.
Aku dan Amane itu kembar identik. Jika dia kedinginan maka aku merasa kedinginan, ketika dia sedih maka aku akan ikut menangis, jika dia tertawa aku akan merasakan senang.
Tapi hari ini kami saling merasakan hal yang bertolak belakang.
Ketika aku sedang menangis, Amane tertawa. Tawanya membawa getaran yang jauh di dalam diriku. Getaran yang mengatakan bahwa amane memang tertawa. Dan itu pertama kalinya aku merasakan getaran tawa Amane. Mungkin itu juga pertama kalinya Amane merasakan getaran tangisanku.
Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Amane.
Two peas in a pod adalah julukan yang tepat untuk kami. Identik, mirip, dan tahu satu sama lain. Sayangnya aku tidak pernah memiliki waktu untuk memahami Amane. Dan Amane selalu tahu segalanya tentangku.
Aku menyayangi Amane. Lebih menyayanginya dari apa pun. Dari siapa pun. Karena itu aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya. Tanpa diriku yang lain. Tanpa kembaran yang setengahnya adalah diriku. Kadang aku mengutuk takdir dan Tuhan. Bertanya-tanya apa yang telah Amane lakukan sampai-sampai nasibnya bisa seperti itu? Apa kesalahannya? Apa yang membuatnya harus menghadapi kematian yang sangat dibencinya?
Padahal jika Tuhan ingin mencari orang yang ingin cepat mati. Yashiro Nene adalah orang yang tepat. Dia selalu ingin mati. Tatapannya mengatakan kalau dirinya berteriak meminta untuk segera mati.
Kenapa harus Amane?
Aku ingin kembali mengutuk. Tapi aku malah mengantupkan tanganku dan berdoa. Meminta kepada Tuhan yang sebenarnya aku ragukan kehadirannga agar Amane bisa mati dengan tenang. Dan agar Amane bahagia di hari-hari sebelum kematiannya.
Getaran yang sama kembali muncul. Aku tahu kalau Amane mungkin tertawa lagi. Tapi untuk apa dan kenapa aku tidak tahu. Setidaknya Amane tertawa. Dia tertawa dan bahagia pun sudah cukup bagiku.
Kami berdua kembar identik.
Jika Amane merasa bahagia, maka aku juga akan merasakannya.
β β β
Yashiro menutup buku Antariksa dan Misterinya. Dia meletakannya di meja kecil dekat ranjangalu menggulungkan dirinya sendiri ke dalam selimut. Setelahnya dia mengambil buku lalu membacanya.
"Apa bukunya menarik bagimu?" Tanyaku
Yashiro mengangguk.
"Sangat menarik. Apalagi soal Legenda lahirnya langit dan laut. Saya dengar itu di adaptasi jadi film ya?"
Saya mengedikkan bahu.
"Mungkin, tapi aku belum pernah mendengarnya." Jawabku
"Saya rasa legenda ini mirip dengan cerita rakyat."
"Cerita rakyat yang mana?"
"Banyak, ada banyak cerita rakyat di seluruh dunia twntang langit dan laut."
"Saya biasa membacanya di buku. Saya suka dengan seluruh kisah dan cerita rakyat. Mereka memiliki keunikannya sendiri."
Aku mengangguk mengerti. Yashiro menandai halaman terakhir yang dibacanya lalu bangkit dari posisi tidurannya.
"Saya ingin berkeliling dunia, tapi rasanya mustahil dengan keadaan saya." Ujarnya
"....Aku juga memiliki mimpi yang sama." Jawabku
Yashiro menatap saya. Iris rubinya seperti mengisyaratkan rasa penasaran. Aku tertawa.
"Sepertinya kita memiliki banyak kesamaan ya?" Ucapku
Yashiro mengangguk semangat. Dia kembali membuka buku Antariksa dan Misterinya, membuka halaman dimana cerita mengenai legenda Langit dan Laut. Aku menatapnya yang membaca bagian legenda dengan raut wajah serius.
"Sepertinya legenda ini.... Harusnya ada satu orang lagi."
"Apa maksudmu?"
"Legenda ini. Karena ini buku terjemahan bahasa Inggris nama mereka diubah menjadi Sea, Sky dan Terra. Nama mereka harusnya Sora, Umi dan Ruka. Sora dari kanji langit, Umi dari kanji laut dan Ruka dari kanji Bumi."
"Saya rasa legenda ini benar terjadi, Ayah saya pernah memberitahukannya saat dia habis tugas dinas ke satu pulau."
Yashiro membolak-balik buku dengan penasaran.
"Sepertinya Antariksa memang memiliki misteri mereka." Gumamnya
Aku tersenyum
"Karena itu aku selalu ingin tahu. Misteri dari Antariksa."
Yashiro membalas senyumanku.
"Amane-san pasti akan tahu. Kalau sudah tahu nanti beritahu saya ya?" Ujarnya
"Kau juga, kalau sudah bisa berkeliling dunia. Kabari aku ya?"
Kami melakukan Yubikiri dari kasur kami. Setelahnya kami tertawa. Pembicaraan ini seolah-olah kami tidak peduli kalau akhir tahun hanya terhitung jari. Seolah-olah kami tidak tahu kalau salah satu dari kami akan mati. Kami berbicara seperti anak kecil yang berjanji akan bermain.
Setelah melakukan Yubikiri, Yashiro memejamkan matanya dan tertidur pulas.
Sebenarnya jauh, jauh di dalam hati aku takut.
Tapi untuk hari ini aku ingin menghabiskan waktu dengan tertawa. Aku ingin mati dan berkata kalau aku berhasil bahagia. Aku ingin berkata kalau aku sudah bahagia.
Saat jarum jam berdentang dua belas kali, angka kalender digital di ujung ruangan berubah menjadi angka 31. Sudah akhir tahun. Aku menarik nafas dalam-dalam. Memegangi dada dengan degup jantung yang terasa sangat sakit, seperti memaksa dadaku untuk terbelah dua dan membiarkannya keluar.
Aku kembali menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian aku menangis.
Ah, aku tidak ingin mati.
Do'a yang mustahil untuk terkabulkan. Aku terbatuk beberapa kali. Sepertinya penyakit ini sudah berhasil mematikan seluruh jaringan di dalam tubuhku. Karena semua tubuhku mati rasa.
Aku menutup mata, lalu membukanya.
Awan hitam di ujung ruangan terlihat semakin jelas. Dia berubah bentuk menjadi seseorang berwajah hitam. Sebuah sabitan ia tenteng di tangan kirinya.
Aku tertawa pahit.
Kematianku sudah tiba.
β β β
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top