π‘ͺπ’‰π’“π’šπ’”π’‚π’π’•π’‰π’†π’Žπ’–π’Ž π‘Ήπ’π’π’Ž β€’ π‘«π’‚π’š 05 : Let's laugh it all.

Aku menatap wajah Mitsuba yang samar.

Wajah menyebalkannya sedang berubah menjadi serius. Dia mengutak-atik infusan serta beberapa alat di sebelah kasurku. Rambutnya ditarik ke belakang sehingga wajahnya terlihat lebih jelas. Tidak ada lagi poni menyebalkan yang biasanya menggantung di depan mata kanannya. Mulutnya pun tidak menekuk menyebalkan seperti biasanya, melainkan membentuk garis horizontal.

Aku memutar kepalaku ke samping, ada Tsuchigomori yang sedang berbicara dengan Yako. Entah apa yang mereka bicarakan. Pendengaranku seperti ditutupi. Atau mungkin ini efek samping obat.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan Yashiro.

Aku tidak ingat.

Apa yang terjadi? Apa yang aku lakukan? Apa penyakitku kumat lagi? Kenapa banyak petugas di ruanganku?

Kenapa Yashiro tidak ada di kasur?

"Tidak ingat?" Tanya Mitsuba

Aku menggeleng. Mulut masih belum bisa terbuka karena otot-otot di sekitar wajah belum aktif lagi.

"Tadi-tadi sepertinya kamu mengeluarkan Tantrum? Yashiro ketakutan." Jawab Mitsuba

Tantrum? Aku?

Ah. Aku ingat sekarang.

Aku ingat. Percakapanku dengan anak bernama Sakura di taman. Aku ingat Tsukasa yang menunduk selama perjalanan. Aku ingat Yashiro yang terlihat ketakutan dan putus asa.
Mungkin ada benarnya kata Mitsuba, aku mengeluarkan tantrum seperti anak kecil. Jika anak kecil berteriak dan menangis, aku tertawa dan menangis. Tapi intinya sama, aku mengeluarkan tantrum seolah berkata aku tidak mau disini, aku tidak suka.

Lantas kenapa Yashiro membuat wajah yang mengatakan bahwa dia juga sama sepertiku?

Tatapannya sama dengan tatapanku. Tatapan yang tidak memiliki niat untuk sekedar melanjutkan hidup. Apa karena itu dia terus menyemangatiku? Untuk hidup? Untuk menang?

Aku membuang nafas banyak-banyak. Mengingatkan diri sendiri untuk melepaskan amarah yang tidak jelas asal serta bentuknya ini.

"Kemana Yashiro?" Tanyaku

Mitsuba menunjuk pintu dengan dagunya.

"Dia juga mengeluarkan tantrum. Sekarang sedang ditangani oleh Akane-san dan suster lainnya." Jawabnya

Pertanyaan yang sama kembali diputar.

Kenapa?

Kenapa dia yang mengeluarkan tantrum ketika aku yang akan mati?

Kenapa tatapannya begitu menyedihkan dan putus asa?

Kenapa dia menyembunyikan hal ini?

Kenapa harus aku?

Mitsuba mengeluarkan sapu tangan, mengelap wajahku yang kembali basah karena air mata. Entah air mata apa. Mungkin air mata kekesalan, atau kesedihan. Karena aku pun tidak tahu.

Aku ingin hidup.

Sayangnya sepertinya kata hidup pun tidak akan ada di dalam catatan. Aku menarik nafas dalam-dalam.

Aku ingin hidup, tapi aku harus mati.

Ironis.

Aku menatap ke luar Jendela. Salju-salju kembali menutupi pemandangan sehingga warna putih yang sama dengan ruangan terpasang di depan jendela. Pemandangan yang sama dengan pertemuan pertamaku dengan Yashiro.

Tapi kali ini, aku merasakan jarak yang luar biasa jauhnya antara aku dan gadis tanpa kaki itu.

†††

Mitsuba menyerahkan buku yang ditinggalkan Tsukasa di meja depan. Buku baru tentang Luar Angkasa seperti biasanya, buku Antariksa dan Misterinya. Syukur-syukur dia masih ingat keinginanku untuk memiliki buku ini dan memberikannya sebagai hadiah natal.

Lembaran pertama hanya berisikan kata pengantar, jadi aku langsung membuka halaman tengah. Di halaman itu, penjelasan mengenai Laut dan Bumi. Sebuah teori mengenai Big Bang, legenda-legenda dan teori Ilmiah. Semua dicampur menjadi satu, membentuk sebuah cerita yang sebenarnya tidak masuk akal.

Langit dan Laut selalu menatap satu sama lain.

Sebuah cerita tentang lahirnya bintang-bintang. Bagaimana Laut serta Angkasa memiliki wujudnya.

Ada seorang anak, dia menemukan teman sejatinya di laut. Dua manusia dengan perawakan tampan yang lahir dari laut. Dengan kulit seputih awan dan mata sebiru air. Mereka diberi nama Langit dan Laut seperti perawakan mereka.

Ada suatu festival.

Sebuah Festival kebangkitan.

Saat langit dan laut saling mengeluarkan nyanyian mereka.

Bintang-bintang mengeluarkan suara, bergembira atas festival yang akan segera dimulai.

Ikan-ikan mengeluarkan nyanyian mereka. Menyambut Festival.

Dikatakan semua mahkluk laut pergi menuju permukaan pada hari itu. Semua tanpa terkecuali, bahkan mahkluk dari laut dalam.

Hari itu Langit menenggelamkan dirinya. Di saat bersamaan bintang-bintang mengeluarkan suara mereka, menyambut langit yang terlahir kembali.

Ceritanya berhenti disana.

Aku menutup buku. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Sudah beberapa jam semenjak Mitsuba dan dokter lainnya pergi, namun Yashiro belum juga masuk ke kamar lagi.

Mungkin tantrumnya berjalan lebih lama. Atau mungkin dia menolak untuk masuk ke kamar lagi.
Pasti akan menjadi sangat canggung di antara kami berdua. Apalagi dengan aku yang tidak pandai berbicara.

Aku mengambil nafas dalam-dalam.

Setelahnya pintu terbuka, Yashiro yang sedang dalam keadaan tidur pun dipindahkan ke ranjangnya.

†††

"Aku dengar kita mengeluarkan tantrum?"

Yashiro menundukan kepalanya.

Rambut putihnya menutupi sebagian wajahnya. Tatapan matanya terarah ke kakinya yang tertutupi selimut.

"....Maafkan saya...." Ucapnya

Aku tertawa.

"Tidak apa-apa."

Situasi ini seperti deja vΓΊ. Hanya saja peran kami yang diubah. Yashiro yang meminta maaf dan aku menjadi penerima maafnya.

"Harusnya saya bilang sejak awal.... Maafkan saya...."

"Tapi kamu bercerita dan menyemangatiku itu bentuk dari rasa bersalahmu kan?"

"....."

Aku tertawa.

"Aku tidak marah."

Yashiro mengangkat kepalanya. Iris kemerahannya berkaca-kaca. Hidungnya memerah. Dia terlihat akan segera menangis.

"Sakura-san bilang kalau kau selalu mengambil cerita dari cerita orisinil ya?"

"Bukan mengambil-lebih tepatnya saya ambil ide dan konsepnya."

Aku kembali tertawa. Entah sudah keberapa kalinya aku tertawa hari ini. Mungkin memang benar ucapan yang bilang kalau apa pun yang terjadi dalam hidup, tertawakan saja itu semua. Sepertinya merujuk kepada beban dan rasa bebas. Aku menarik nafas. Menaiki kursi rodaku kemudian pergi ke kasur Yashiro.

"Yashiro." Panggilku

Yashiro menjawabnya dengan suara kecil.

"Ini buku Antariksa dan Misterinya. Anggap saja hadiah natal dariku."

Aku memberikan buku yang merupakan hadiah natalku kepada Yashiro. Sebagai hadiah natal untuk dirinya.

"Kamu senang membaca kan? Buku ini sudah aku baca seluruhnya. Kalau kamu memang senang membaca dan bercerita gunakan saja buku ini. Anggap hadiah dariku." lanjutku

Yashiro terdiam. Kemudian dia kembali menangis, meminta maaf berkali-kali sambil mengusap wajahnya yang memerah.

"Jangan menangis," Aku menghapus air matanya dengan sapu tangan.

"Ayo kita tertawa bersama. Waktu kita tinggal 6 hari lagi. Aku tidak mau menghabisi sisa waktu dengan tangisanmu."

Yashiro mengangguk, namun masih menangis. Aku pun tertawa karena kekonyolannya yang masih berusaha untuk tersenyum di tengah tangisannya. Sore itu kami habiskan dengan menangis dan tertawa bersama sampai Yashiro akhirnya memilih untuk ke kamar mandi dan mencuci muka.

Aku menghela nafas.

Natal kali ini bukan natal terindah, tapi setidaknya aku bisa tertawa dan melewatinya dengan mudah.

†††

BαΊ‘n Δ‘ang đọc truyện trΓͺn: AzTruyen.Top