Part 1: Derana

Derana

(ark) tahan dan tabah menerima sesuatu (tidak lekas patah hati, putus asa)

— 𝓜𝓮𝓷𝓰𝓪𝓹𝓪 𝓗𝓪𝓻𝓾𝓼 𝓙𝓾𝓶𝓹𝓪 —

Benar kata orang, cinta dalam diam itu serba salah. Diungkapkan salah, tidak diungkapkan sakitnya begitu dalam. Adra tidak pernah berharap perasaan ini akan terbalas, akan tetapi hanya satu yang ingin ia tekadkan. Ketika laki-laki itu terang-terangan mengenalkan pujaan hatinya, Adra harap perasaan tak terbalas ini cepat lepas dari belenggu jiwanya.

"Mau pulang, Adra?"

Suara itu mengejutkan saraf-saraf tubuhnya. Seketika matanya terbelalak sangking terkejutnya. "O-oh iya, Kak. Izin pamit duluan."

Di siang yang terik ini, Adra bersiap-siap memakai sarung tangannya supaya tangan yang telah terlanjur belang tidak mencoklat berlebihan karena teriknya matahari.

Sejak SMA ia sering mengendarai motor jika ke mana-mana, alasannya hanya satu tidak ingin merepotkan sang ayah untuk mengantar jemput. Ya, hanya sesekali jika motor akan dipakai maka ia akan meminta tolong ayah atau memesan ojek online. Namun jika tidak kepepet sekali, rasanya Adra males memesan ojol, sebab uangnya akan habis begitu saja.

"Jam satu ada jadwal praktikum, Kak. Izin ya Kak, tadi udah bilang juga sama Kak Fatih."

Genta hanya manggut-manggut mendengar jawaban Adra. Harusnya laki-laki itu tidak usah bertanya karena tentu saja hati Adra tidak bisa diajak kompromi walaupun sebentar. Adra berdeham menetralisir suasana yang kembali canggung.

"Duluan ya, Kak."

"Oke hati-hati, Adra."

Adra tersenyum di balik maskernya. Belum sampai tiga langkah, namanya dipanggil. Bukan. Bukan Genta. Laki-laki itu memanggil namanya selalu lengkap, yaitu Adra. Genta tidak pernah memenggal namanya seperti teman-teman Komunitas Peduli Sesama seperti "Ra ..." dan "Dra ..."

"Kenapa, Kak?"

"Jam berapa selesai praktikum, Ra?" tanya Fatih, ketua divisi kaderisasi Peduli Sesama. Laki-laki berkulit sawo matang dipadu kaus abu-abu itu selalu peduli dengan anggota. Pertama karena dia adalah ketua kaderisasi, maka Fatih bertanggung jawab untuk keaktifan para anggota.

"Jam empat sepertinya, Kak."

"Dari kampus langsung ke JSC, ya. Awas lo nggak, dari kampus cuma berapa menit doang."

Adra mengernyit bingung. "Ngapain emangnya?" Bola matanya masih curi-curi pandang dengan sosok Genta yang kini tengah mengobrol dengan Sella—sekretaris Kominfo Peduli Sesama—di teras sekretariat. Untung saja matahari sedang terik-teriknya, jadi kacamata lensa photocromic yang kini ia kenakan pasti sudah berubah gelap, sehingga aksi curi-curi pandang ke arah Genta tidak terlalu terlihat.

"Healing berjamaah," sahut Fatih. "Nanti nyusul aja ke JSC."

Adra mengangguk. "InsyaAllah. Ya udah, aku duluan, Kak," pamitnya pada Fatih dengan netra yang masih melirik Genta yang sama sekali tidak tergubris dengan deru motornya.

Adra menghela napas panjang ketika motor matic yang ia kendarakan sudah keluar dari halaman sekretariat Peduli Sesama. Di balik masker, ia tersenyum getir.

"Inget ya, Adra. Mencintai dia tanpa diketahui itu adalah yang terbaik. Kamu masih bisa mengobrol dengannya, kamu masih bisa berada di sekelilingnya," monolog Adra.

Karena jika Genta tahu bahwa dirinya menaruh hati padanya, maka akan ada rasa canggung di antara mereka berdua. Dan belum tentu juga Adra berani menampakkan wajahnya di hadapan Genta.

Dan ini adalah pilihan yang terbaik untuknya. Walaupun menyakitkan, akan tetapi Adra tidak terlalu berharap bahwa perasaan ini akan terbalas.

Karena tentu saja Adra takut kecewa.

— 𝓜𝓮𝓷𝓰𝓪𝓹𝓪 𝓗𝓪𝓻𝓾𝓼 𝓙𝓾𝓶𝓹𝓪 —

Sepuluh menit setelah azan ashar berkumandang, Mbak Fara—asisten praktikum mata kuliah Mikrobiologi—mengakhiri kegiatan praktikum sore ini. Seluruh mahasiswa bernapas lega karena praktikum kali ini tidak memakan waktu begitu lama, sebab biasanya mereka akan pulang malam.

Karena hari ini hanya pembuatan media PDA untuk stok pemurnian fungi endofit yang akan dikerjakan besok, maka hari ini praktikum selesai sebelum langit menggelap.

"Aku mau ke JSC, ikut nggak, Sha?"

Alisha menyipitkan kelopak matanya. "Pulang Ra, nggak lelah kamu? Bukannya kamu dari pagi ya udah keluar? Ngapain rapat?"

"Iya rapat, awal bulan Agustus mau ada acara dari Peduli Sesama."

"Rapat terus ya. Lain banget aktivis kampus. Apalah daya mahasiswa kupu-kupu ini," sahut Geni. Perempuan berhijab hitam itu pun mendesah pelan. "Pulang Adra, udah sore. Bunda nanti nyariin kamu."

"Bentar aja deh, nggak enak sama anak PeMa. Yok, kita sholat dulu."

Sering sekali Adra dibilang seperti ini oleh teman-teman satu circle-nya. Sebab hanya dirinya yang katanya aktivis kampus, orang paling sibuk diantara mereka berlima. Padahal, Adra merasa dia tidak terlalu berlebihan seperti yang teman-temannya katakan. Dia hanya ingin bermanfaat untuk dunia pendidikan. Tugas kuliahnya juga masih Adra kerjakan semaksimal mungkin. Bahkan di semester tiga, ia mendapatkan IPS 4,00.

Menjadi aktivis kampus bukanlah kegiatan yang salah, asal mahasiswa tersebut bisa mengatur waktunya dengan baik antara organisasi dan kuliah. Jadi, Adra selalu membuat list prioritas mana yang harus ia kerjakan terlebih dahulu. Dia menyetujui untuk menjadi sekretaris pelaksana di acara PeMa beberapa pekan ke depan karena Adra merasa semester empat ini akan berakhir, hanya menyelesaikan kegiatan praktikum mikrobiologi dengan satu pertemuan lagi. Sisanya hanya menunggu nilai keluar saja.

Dan tidak salahnya Adra ikut untuk healing berjamaah di JSC sore ini, menyegarkan otaknya yang sedari tadi berpikir keras dengan rangkaian proses praktikum. Karena besok pastinya ia akan terkurung di ruang laboratorium mikrobiologi sampai malam hari, maka Adra memutuskan untuk merilekskan otaknya.

Setelah sholat ashar, Adra pamit duluan untuk ke parkiran. Hanya butuh sepuluh menit, ia akan sampai di JSC.

Adra mengaktifkan ponselnya untuk menghubungi Fatih sesudah ia memasuki loket masuk. Matanya mengitari seantero JSC yang begitu luas.

Menghela napas ketika tidak ada jawaban ketika memberikan pesan kepada Fatih. Lalu ia putuskan untuk menekan logo telepon dan setelahnya layar ponsel Adra hanya tertuliskan kata berdering. Sudah sepuluh menit ia duduk di atas motor, orang-orang juga sudah mondar-mandir di hadapannya, akan tetapi belum juga ada balasan dari Fatih.

Ingin rasanya menelpon Genta, akan tetapi keraguan mendominasi hatinya. Adra skeptis jika menyangkut Genta. Bahkan hingga saat ini, sepertinya laki-laki itu tidak menyimpan nomor ponselnya. Itu artinya Adra tidak termasuk ke dalam list prioritas kehidupannya, kan?

Mungkin benar kata teman-temannya tadi, harusnya ia pulang. Bukan malah melipir ke sini tidak jelas. Namun sudah kepalang tanggung, akhirnya Adra berusaha menghubungi Sella, ya semoga saja ada jawaban.

Dan setelah panggilan berdering, akhirnya usaha Adra membuahkan hasil.

"Hallo, Ra. Iya, kenapa?"

"Kak Sella ada di JSC sekarang?"

Terdengar suara riuh di dalam speaker ponselnya. "Iya, Ra. Ini baru selesai sholat. Ada apa? Kamu jadi nyusul ke sini?"

Adra mengangguk. "Iya, Kak. Aku udah di JSC."

"Kamu ke masjid aja, kami tunggu di masjid, ya."

Adra mematikan sambungan telepon setelah mengiyakan perkataan Sella tadi. Dan segera menancapkan gas motornya menuju masjid di dalam area JSC.

Setelah memarkirkan motornya, Adra tersenyum ketika Alya yang tengah duduk di teras masjid melambaikan tangan ke arahnya. Alya merupakan teman satu angkatan Adra di Peduli Sesama. Namun bedanya, perempuan manis itu menempuh pendidikan di Universitas Tridinanti. Sedangkan, Adra berkuliah di universitas khusus para ustadz dan ustadzah. Ihh, padahal jelas berbeda sekali dengan stereotip yang beredar di luar sana.

Apalagi jika ditanya, "Kuliah di mana?" Adra malas sekali menjawabnya. Bukannya tidak bangga berkuliah di Universitas Islam Negeri, akan tetapi stigma masyarakat yang menganggap bahwa anak UIN adalah orang-orang suci. Ingin rasanya Adra membelah otak-otak yang berasumsi seperti itu.

Anak UIN juga manusia, ya mas-mba!

"Udah sholat, Ra?" tanya Sella. Sedangkan yang lain sibuk dengan gawainya masing-masing kecuali Sella dan Alya.

"Alhamdulillah sudah, di kampus tadi, Kak."

"Sorry banget, Ra. Nggak bermaksud mengabaikan telepon kamu, tadi HP-nya aku silent." Fatih menyengir setelah mendapatkan dengusan dari Adra.

Pengunjung masjid sore ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena sudah hampir jam lima dan azan ashar telah bergema kurang lebih satu jam yang lalu. Di teras ini saja hanya segelintir orang yang tengah duduk, menikmati semilir angin. Adra sedari tadi melirik sebentar ke arah Genta yang hanya diam memainkan ponselnya, lalu pura-pura menyimak obrolan antara Fatih dan Sella yang sesekali ditimpal oleh Ayla dan Ria.

"Gimana kalau kita ke danau? Tapi syaratnya harus jalan kaki. Motornya kita parkiran di sini aja," usul Fatih yang dibalas dengan sorakan oleh Alya dan Ria, termasuk Adra juga. "Sekalian olahraga juga kali. Kan sekarang kita di JSC. Jakabaring Sport City. Itu artinya ke sini harusnya olahraga!"

"Kakak aja deh, kami nggak!" celetuk Alya tidak setuju.

Adra hanya tersenyum kecil, sedikit heran dengan Alya dan Fatih yang hobi sekali berdebat dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Dan pada akhirnya nanti, mereka akan berbaikan lagi.

"Kita voting, ya. Yang setuju angkat tangan. Satu... Dua... Tiga!"

Semuanya mengangkat tangan kecuali Alya dan Adra. Kedua netranya melirik Genta yang entah kenapa hanya diam sejak tadi. Memang laki-laki itu tidak seperti Fatih yang suka berbicara banyak, namun tidak seperti biasanya Genta hanya diam. Kadang kala sesekali dia menimpali ucapan Fatih yang terkadang tidak masuk akal.

"Kali ini kita nggak cees ya, Ra." Fatih menjulurkan lidahnya ke depan, lebih tepatnya mengejek Ayla yang kini memasang mimik jutek. "Terima aja deh, kalau nggak mau pulang aja sana sendiri."

Kontan saja Ayla naik pitam. "Ya sudah, aku pulang duluan. Sendiri. Bye!"

"Eh, Ay! Jangan gitu ah, Kak Fatih kan cuma bercanda. Mending kamu pulang sama Kak Fatih, kan hemat ongkos."

"Denger tuh apa kata Adra," timpal Fatih. Namun setelah mendapat pelototan dari Ayla, Fatih menyengir. "Iya-iya, maaf ya Dek Alya."

Adra membingkai wajah malasnya ketika dua sejoli itu akhirnya berbaikan. Samapun seperti Sella dan Ria yang kini menarik lengan Adra untuk menjauh dan mengambil sepatu mereka di rak.

Akhirnya setelah perdebatan panjang, mereka menyusuri jalanan menuju danau. Sebenarnya lumayan jauh, akan tetapi karena jalan bersama seperti ini tidak terasa karena diselipi candaan receh ala Fatih.

Adra yang berada di barisan belakang yang di sampingnya ada Ria hanya mendengarkan ucapan Fatih, tapi matanya tak lepas memperhatikan interaksi antara Sella dan Genta yang berada di barisan paling depan. Mereka sibuk mengobrol, bahkan manik mata Adra sesekali menangkap Genta tersenyum dan tertawa.

Adra tidak tahu bagaimana caranya supaya bisa berinteraksi dengan Genta seperti itu? Namun sepertinya mustahil karena Genta begitu membatasi, jika bukan orang-orang yang penting saja menurutnya. Ya, Adra harusnya sadar diri. Nomor WhatsApp-nya saja tidak disimpan oleh Genta. Jadi, jangan harap bisa diposisi seperti Sella.

"Tih, fotoin gue sama Sella dong. Jarang-jarang, view-nya juga lagi bagus nih."

Adra yang sibuk memotret langit biru dan pohon seketika berhenti ketika Genta berbicara seperti itu. Atensinya yang semula pada pemandangan yang indah di sore hari ini mendadak panas kala menyaksikan crush-nya mengabdikan foto berdua dengan perempuan lain. Bukan dia.

Semangat Adra, menyaksikan senyum indahnya saja sudah begitu mendebarkan, bukan?

Adra berusaha menghilang rasa perih yang datang dari lubuk hatinya. Tidak boleh patah hati, Adra. Ingat dia bukan siapa-siapa kamu.

— 𝓜𝓮𝓷𝓰𝓪𝓹𝓪 𝓗𝓪𝓻𝓾𝓼 𝓙𝓾𝓶𝓹𝓪 —

Terima kasih. Vote dan komen sebanyaknya, ya!

💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top