🥀 - Nuraga sang Tuan Biru 00
Hari itu cerah. Alunan dari piringan hitam di ujung ruangan, suara kertas yang terbalik karena angin, serta suara nyaring suara orang-orang bertegur sapa di jalan. Semua terlihat, terdengar, begitu menyenangkan dan sempurna. Bertolak belakang dengan dirinya. Ia, si surai pirang dengan amarah tak terkendalinya, yang kini dengan malangnya meringkuk pada kursi tersayat di dekat piringan hitam yang masih setia berputar.
Meski piringan hitam pada ruang apartemennya memutarkan melodi tenang nan mendayu The Swans selama hampir semalaman, ruangannya masih sanggup ia porak-poranda. Seolah melodi ciptaan Saint Saens yang termansyur tak bisa meredam amarah jiwanya. Ruangannya hancur berantakan, terlihat kelam, minim akan cahaya meski kalender di atas nakas - juga pecahan vas di sekitarnya - menunjukkan bulan Juli. Pada bulan ini ia harusnya keluar dari ruangan apartemen kecilnya, memanjakan diri di bawah terik matahari, atau mungkin pergi berkeliling Britania Raya seperti rencananya beberapa tahun silam. Seharusnya, ia sudah berencana dengan matang, namun tak tahu ternyata badai datang menerjang. Semuanya hancur, luluh lantah tak bersisa. Pendiriannya hilang tak tahu kemana, ia kini hanya seorang pemuda dengan emosi tak menentu, layaknya orang dengan gangguan jiwa akut.
Dikata sepenuhnya waras pun tidak. Berkali-kali ia pergi berkonsultasi kepada mereka dengan gelar Psikologi mentereng pada papan nama di atas meja mahoni. Berkali-kali pula ia berakhir dengan segenggam-dua genggam obat di tangan, guna menetralisir kecemasan serta merta akar menyebalkan mereka di kepala. Tak jarang pula ia datang untuk terapi, namun berakhir menangis dan memekik layaknya tikus-tikus di malam hari. Meski begitu, ia tak sepenuhnya gila. Kalau kata adiknya, ia hanya sedang berada di fase dimana ia butuh banyak perhatian serta konsultasi. Ia tidak gila, hanya saja ada luka besar tak nampak dalam dirinya.
Si surai kuning mengigit ibu jarinya, tak peduli dengan luka tak sedap pandang pada kelima jarinya. Ia menggelengkan kepalanya, mengacak surai keemasannya frustasi sambil mengerang kencang. Lagi-lagi, ia mengambil barang terdekat, melemparkannya ke setiap penjuru apartemen kecilnya. Ia tak peduli akan tangannya yang mulai meneteskan darah akibat perbuatan kasarnya. Ia tak peduli dengan tusukan dari kaca-kaca kecil pada tangannya. Ia terus berteriak, memekik, mengerang, melemparkan semua barang, memperlihatkan amarahnya entah kepada siapa. Mungkin kepada dirinya, mungkin kepada orang lain.
Kini kakinya mulai menendang, menginjak, merusak semua barang yang ada pada injakannya. Meski pecahan kaca atau kayu-kayu kecil menusuk, menembus sandal berbahan terbaik pada kakinya, ia tak berhenti. Walau suaranya mulai serak dan kerongkongannya terasa begitu panas, ia tak berhenti. Sang tuan bersurai keemasan tak berhenti. Ia berhenti ketika rasakan kepalanya berputar, berdenging tak berhenti sampai ia harus kembali mendudukkan pantatnya di sofa penuh sayat disana-sini. Lagi-lagi, ia duduk memeluk kaki, menyembunyikan wajah di antara kedua lutut.
Perlahan air mata meleleh turun dari magentanya. Air mata yang terasa begitu panas pada kulitnya, terasa begitu melelahkan. Ia sudah lelah menangis hampir setiap saat belakangan ini. Ia lelah mengontrol hati, serta diri agar tak terlalu menyakiti diri. Ia lelah, sangat lelah, segala keinginan untuk mengorek habis leher ia pendam dalam-dalam meski tangan yang menjadi korban. Ia tak ingin mati, namun rasanya ia seperti mati. Ia hidup, namun tak sepenuhnya merasakan udara kehidupan. Ia tak ingin mati, karena ia tak mau mati, ia tahu banyak hal dalam hidup menanti dirinya untuk turun menikmati sinar mentari. Namun ia ingin mati, ia ingin semuanya berakhir, ia ingin semua bisikan dalam kepalanya berakhir, berakhir dengan dengungan, menjadi satu garis lurus pada hari itu.
Magenta menutup spontan, tangan memukul-mukul kepala dari kedua sisi sembari bergumam tidak berkali-kali. Dadanya terasa sangat sakit, sangat panas, seolah akan meledak detik itu juga. Ia terus bergumam tidak pada dirinya sendiri, tak ingin lagi mengingat tragedi pilu menyayat hati. Tak mau lagi ia menangis, atau merusak, ia sudah sangat lelah. Ia ingin Istirahat dengan tenang, tanpa harus terbangun karena mimpi mengerikan, tanpa harus terbangun akan suara bisikan tak bertuan dalam gelapnya malam. Sang surai keemasan terus menerus memukul kepalanya, gumaman yang perlahan-lahan kembali berubah menjadi isakan putus asa. Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak - gumamnya.
Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, aku tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak mau ingat, tidak mau dengar, tidak---
"Kak William?"
Semua bisikan berhenti, rasa panas berhenti, ia mengadah dengan patah-patah. Wajah serupa sepertinya menatap cemas. Iris magenta mengerjap, barulah William merasa pedih luar biasa pada kaki serta tangannya. Luka terbuka pada lengannya seolah meraung-raung minta diperhatikan juga. William meringis, menatap tangan penuh darah serta pecahan kaca, membolak-balikkannya seolah baru sadar kalau ia terluka-bukan, melukai dirinya sendiri. Pandangannya beralih ke sekitarnya. Apartemennya lebih dari berantakan, lebih wajar jika di sebut dengan kata hancur, porak-poranda, tak berbentuk. Semua barangnya hancur tak tersisa, bahkan keramik pemberian kakaknya hancur tak lagi berbentuk di bawah nakas kelabu.
Tangan William bergetar, dia membuka mulutnya, mengeluarkan suara inkoheren serak akibat terus-menerus berteriak. Dengan suara seraknya ia berbisik, memanggil nama sang adik dengan wajah serupa, "Louis...." ia menarik nafas, "Aku.... Aku tidak tahu.... Tidak ingat.... Aku...." lanjut William dalam racauan.
Louis mengerti. Ia pergi ke arah kamar mandi, membuka kabinet di atas wastafel untuk mengambil kotak pertolongan pertama serta dua botol berisi pil. Kemudian ia bergegas berbalik ke tempat dimana Kakakknya duduk meringkuk. Dengan hati-hati, ia menarik satu per-satu pecahan kaca dari tangan Kakaknya. Terkadang Louis mendengar rintihan kecil, diiringi dengan gumaman inkoheren yang tak bisa ia pahami maknanya.
Ialah yang paling ingin menangis disini. Melihat Kakaknya hancur berantakan di hadapannya, Louis bahkan tidak bisa tidur dengan tenang di malam hari jika ia tak menyelipkan satu dua pil tidur dalam minuman Kakaknya, agar tidak terbangun dan kembali mengamuk, menghancurkan ruangan dan melukai diri. Setelah bertahun-tahun usaha Kakaknya untuk bangkit, namun realita kejam kembali menghancurkannya. Tidak ada lagi senyum ceria, kini ingatan Kakaknya hanya terhenti pada hari itu. Yang bahkan, ia tak tahu detailnya. Ia hanya tahu Kakaknya hancur, terluka, kecewa, marah. Ia hanya tahu Kakaknya kembali tersiksa. Mengurung diri, menolak pergi, hanya diam bertekuk lutut atau bergumam sendiri.
Louis mengikat perban terakhir pada tangan Kakaknya. Samar-samar ia mendengar gumaman terima kasih, namun tak yakin juga karena suaranya begitu parau dan berbisik. Iris magenta serupa menatap sekitar, sepertinya ia harus menyewa jasa pembersih lagi kali ini, juga menghubungi Kakak tertua mereka untuk meminta furniture pengganti.
Ah, benar juga. Mengingat sang Kakak tertua, ia jadi ingat percakapan mereka belakangan ini. Setelah berdiskusi kesana-kemari, serta berkonsultasi kepada Psikolog dan Psikiater yang menangani William, mereka akhirnya mencapai satu keputusan bulat. Baik Louis, dan Kakak tertua mereka, Albert, keduanya sudah setuju. Louis pun menarik nafas, berbalik menghadap Kakaknya.
"Kak William," Panggil Louis
"Aku.... bukan, kita sudah memutuskan untuk memanggil Caretaker untuk Kakak." Lanjutnya
William tak bergeming. Ia hanya mentap Louis dengan kepala ditelengkan ke samping. Caretaker katanya? William berpikir sejenak. Selama masa pengobatannya, ia belum pernah sekalipun diberi Caretaker. Selama ini ia selalu ditemani dan dikunjungi oleh Louis, sesekali Albert, kadang pula teman-temannya. Mereka bergiliran mengurusnya, namun Louis dan Albert paling sering, itulah mengapa percakapan mengenai Caretaker tidak pernah terungkit. Namun kenapa tiba-tiba? Apa Louis sudah berada di fase jenuh karenanya? Apa ia akan ditinggalkan? Lagi? William tak mau itu. Ia menatap Louis dengan penuh ketakutan, Louis, seolah mengerti isi pikiran Kakakknya pun tersenyum, ia mengenggam tangan berbalut perban sang Kakak.
"Bukan, bukan, aku, Kak Albert, dan yang lain tidak membenci Kakak." Ucapnya
Ia melanjutkan, "Kami mendiskusikannya juga dengan Psikolog dan Psikiater Kakak, ini bisa menjadi terapi, agar Kakak lebih terbuka dengan orang lain.... Kita mulai pelan-pelan, aku tetap akan sering berkunjung, hanya saja sekarang Kakak memiliki teman disini. Tidak apa kan?"
William mengerti sekarang. Gemuruh di dadanya berangsur hilang. Ia tersenyum kecil dan mengangguk. Louis pun balas tersenyum, ia bertanya dengan nada ringan jika Kakaknya ingin teh atau kudapan kecil. Namun percakapan hangat mereka terhenti ketika terdengar ketukan dari pintu masuk. Louis tersenyum kecil ke arah William yang menatap takut, ia menenangkan dengan berkata kalau itu mungkin Caretaker yang ia dan Kakaknya sewa.
William mengintip dari tembok pembatas antara ruangannya dengan pintu masuk. Ketika Louis membuka pintu, cahaya matahari serta angin berbau musim panas menyeruak masuk. Magenta menyipitkan dirinya, tapi ia masih bisa melihat, dari celah matanya. Seseorang bertubuh jangkung, rambutnya panjang, namun dikuncir satu. Setelannya rapih namun tak begitu formal. Wajahnya sempurna, dengan rahang kuat mengukir bentuknya. Louis menyapanya, dibalas dengan suara beraksen Cockney kental. William menatapnya waspada, kemudian mereka beradu pandang. Magenta suram menatap tarum kentara. Si iris tarum tersenyum, memperkenalkan dirinya dengan suara ringan menyenangkan.
"Nama saya Sherlock Holmes. Mulai hari ini, saya adalah caretaker anda, Tuan William James Moriarty."
- 🥀 -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top