🥀 - Melankoli sang Tuan Merah 02
Ada saat dimana William bermimpi akan masa lalu, tapi tak jarang pula ia bermimpi tak lebih dari warna hitam pekat layaknya terjebak dalam satu kotak luas tanpa ujung dan sudut. Ia pernah membaca, kalau sebenarnya bermimpi tanpa mimpi selain dari warna hitam pekat artinya otak kita masih bekerja sehingga tubuh dan alam bawah sadar kita tidak bisa memproses mimpi. Pengetahuan itu adalah pengetahuan yang William dapat ketika ia sedang bosan mengikuti kebaktian Gereja dan menyelinap keluar untuk pergi ke Perpustakaan di dekat Panti Asuhannya dulu. Pengetahuan tak begitu penting namun layak diketahui sebagai Ilmu Pengetahuan Umum tambahan.
William juga ingat, kalau mimpi alam bawah sadar sebenrnya merupakan reaksi dari emosi setiap individu. Emosi-emosi tertentu seperti stress, kegelisahan, atau mungkin hanya sekedar tak mendapat banyak waktu tidur. Untuk mimpi buruk berulang-ulang seperti William selama beberapa tahun belakangan ini, dikatakan bahwa itu adalah reaksi dari ptsdnya.
Anehnya, setelah William bangun dari koma, tak pernah sekali pun ia bermimpi tentang kecelakaan beberapa tahun lalu yang menewaskan August, yang meremukkan tubuh si lelaki di bawah onggokkan besi bus berwarna merah senada dengan darah kentalnya di atas aspal berwarna kelabu. Mimpi itu berkali-kali membangunkannya, membuatnya meraung dan menangis hingga fajar tiba dan memaksanya untuk sedikit membuka jendela. Namun, entah karena apa, tak pernah lagi William mendapatkan mimpi menyayat hati itu.
Sebagian dari hatinya bersorak karena, artinya tak ada lagi yang perlu ditangisi. Tak perlu lagi ia minum seonggok obat-obatan dengan fungsi serta efek samping yang tak ia ketahui. Tak perlu lagi William takut untuk menutup matanya baik untuk istirahat sejenak atau tidur pada malam hari.
Tetapi, sebagian dari hatinya lagi masih bimbang. Apakah ini artinya ia telah merelakan August? Apakah ini artinya ia sudah tak ada sangkut pautnya lagi dengan August? — Dan pertanyaan-pertanyan-pertanyaan lainnya.
Kalau William ditanya apakah kau senang telah lepas dari traumamu? — Maka William akan menjawab dengan mungkin aku senang dengan menggaruk tengkuknya dan menatap ke bawah tanda tak pasti. Selama ini William selalu hidup dibayang-bayang oleh traumanya, ia tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri selain dari menangisi mimpi buruk tak berkesudahannya atau melukai dirinya agar ia merasa lega. Tak jarang juga percobaan bunuh diri yang sudah berkali-kali ia lakukan karena sudah terlalu lelah dengan hidup dibayangi oleh masa lalu berupa mimpi buruk.
Kini mimpi buruk itu telah usai pertunjukannya. Dan William pun bertanya dalam hatinya sekarang ia harus apa?
— 🥀 —
Sebagai seorang caretaker, Sherlock sebenarnya memiliki mata yang begitu jeli, terlalu jeli malahan untuk seorang caretaker. Mata jelinya lebih cocok dipakai kalau ia adalah detektif dengan berbagai kasus misteri di balik mantelnya. Tetapi, Sherlock adalah seorang caretaker dan bukan sorang detektif dengan berbagai kasus misteri di balik mantelnya, karena yang ia pakai adalah pakaian sehari-hari berupa kaus berbahan ringan untuk musim panas atau kaus hangat berbahan rajut untuk musim dingin. Sherlock bukan detektif dengan rokok pipa di mulutnya, tapi caretaker dengan permen berbagai rasa di kantung serta mulutnya. Kelebihan menyerupai detektifnya hanyalah mata jeli serta kemampuan deduktif yang biasa ia pakai untuk menganalisis akhir dari suatu film dengan genre misteri yang mengundang kemarahan Ayah serta Kakaknya karena itu menjadi sebuah spoiler berat.
Dengan mata jelinya ini, Sherlock biasa melihat gelagat tak biasa dari satu dua orang. Misalnya, ketika orang sedang berbohong, Sherlock mengetahuinya karena gelagat mereka biasa melebih-lebihkan gerakkan tangan atau nada suara mereka bertambah tinggi satu atau dua oktaf. Masing-masing orang memiliki gelagat aneh mereka sendiri, dan saat ini, Sherlock melihat gelagat tak biasa dari William.
Sudah beberapa hari ini Sherlock mendapati William lebih banyak melamun. Lamunan William biasanya disertai dengan matanya yang tak tenang, namun kini William lebih banyak melamun dengan mata yang seolah mengisyaratkan kebingungan. Bukan kebingungan yang sama dengan seseorang ketika tidak tahu arah, tetapi lebih mirip dengan seseorang yang tidak tahu ia harus melakukan apa.
Karena hal ini lah, Sherlock akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada William di waktu senggangnya setelah makan siang. Sherlock, seperti biasa, mendudukkan pantatnya di pinggiran kasur rawat inap William sebelum bertanya, "Apa ada masalah?" Kepada William.
William tidak langsung menjawab, dia menunduk sebentar seolah berpikir lalu mengangguk untuk menanggapi pertanyaan dari Sherlock. William berkata, "Aku tidak tahu harus apa."
Sebelumnya, William tak pernah dengan mudahnya menceritakan sesuatu kepada orang lain. Tak usah kepada Sherlock, Louis pun kadang kesulitan untuk memancing William untuk bercerita setidaknya tentang apa yang dilakukannya pada hari itu. Namun kini William, dengan mudahnya bercerita kepada Sherlock, meski dengan terbata-bata tapi William berhasil menyampaikannya tanpa masalah. Apa ini artinya ia telah percaya kepada Sherlock? Apa ini artinya ia telah melupakan August sepenuhnya?
Pikiran-pikiran itu membuat William berhenti di tengah-tengah ceritanya. Ia tak melanjutkan walau Sherlock memanggil namanya untuk memastikan kalau William baik-baik saja. Karena tak dilanjutkan, Sherlock pun memaklumi, dia mengelus tangan William dengan gerakan lembut sembari tersenyum. Sherlock berkata, "Tidak apa-apa, jika kau belum siap, besok kita bisa coba lagi," sebelum keluar dari kamar rawat inap William, meninggalkan si penghuni kamar yang diam tak berkata apa-apa.
Hanya sedikit, sedikit dari keraguan William menghilang ketika Sherlock memberinya kata-kata yang tak ia duga.
— 🥀 —
Esok hari datang lebih cepat dari yang William duga. Ketika ia membuka mata, tahu-tahu seorang Suster berkacamata bulat tipis sudah datang membawakan sarapan. William berterima kasih dengan suara kecil, tapi sepertinya terdengar karena suster itu membalasnya dengan kalimat sama-sama disertai senyum tipis.
Tidak lama setelah sarapannya habis, Louis beserta Kakaknya datang mengunjungi dengan satu kue kesukaannya di tangan sang kakak. Mereka bercakap tentang banyak hal, salah satunya rencana pernikahan kakaknya dengan seorang gadis dari Durham beberapa bulan ke depan. William menanggapinya dengan semangat, menyelamati kakaknya dengan perasaan senang membuncah di dadanya. Albert, kakaknya, tertawa dan balas menyelamati William dengan alasan, "Kamu mengucapkan terima kasih kepada Suster yang biasa membawa makanan kan? Itu sebuah kemajuan untukmu Will, aku turut senang," sebelum mengakhiri kunjungan pada hari itu.
Sejujurnya William merasa itu adalah hal yang tak perlu untuk diselamati. Tapi raut di wajah Albert serta Louis sangatlah senang seolah mereka telah menemukan suatu harta karun dengan harga yang cukup untuk membeli Kerajaan Inggris. Ekspresi kebahagiaan pada wajah mereka pun begitu tulus, sampai William sedikit kebingungan untuk menyanggah ucapan selamat dari Albert.
Ia teringat ucapan August saat berada di alam antara, "Permintaanku hanya itu, agar kau selalu tersenyum dan bahagia. Karena, William, orang-orang yang mencintaimu masih sangat banyak di sana."
Mungkin selama ini William merasa hidupnya hanya berputar pada ia dan August saja sampai tak sadar bahwa ada beribu-ribu tangan penuh cinta mengelilingi hidupnya. Ia terlalu sibuk menangisi problematika Lengkaranya dengan August hingga tak sadar kalau sebenarnya selama ini ia telah diberkati dengan berbagai macam kasih dari semua orang.
Albert yang selalu hadir di tempat saat William memiliki jadwal terapi, Louis yang selalu mengunjunginya untuk melihat keadaannya, Tuan Moriarty yang selalu memantaunya walau tak secara langsung bertatap muka, Moran kekasih Louis yang selalu mau mengantarnya menuju klinik Psikiater yang jarak tempuhnya memakan waktu dua jam, juga Sherlock, Sherlock caretakernya yang selalu memberikan tangan bantuan kapanpun William membutuhkannya.
William paham sekarang, masalahnya bukan pada trauma miliknya, tetapi bagaimana ia bisa menerima dan melepaskan semua itu dengan hati ringan. Selama ini ia selalu ragu, bersembunyi pada bayang menyakitkan masa lalu, terombang-ambing dalam emosi tanpa kepastian yang membuatnya kerap menyakiti diri sendiri. William paham sekarang, ia memang tidak pernah sendirian sejak awal. Dia memiliki beribu orang-orang dengan kasih sayang tercurahkan untuknya. Ia tak pernah sendiri, dan karena ia tahu kini ia tak sendiri, William sanggup untuk berkata aku sudah tidak apa-apa.
Bersamaan dengan itu, pintu kamar rawat inapnya terbuka, Sherlock dengan senyum lebarnya datang dengan kantung berisi Pork Pies hangat. Mereka makan bersama, dengan berbagai cerita dari Sherlock, yang mana, untuk pertama kalinya bagi William, tidak terdengar menyebalkan.
Untuk pertama kalinya juga, pada hari itu, William merasa sinar matahari dari balik jendela kamarnya tidak terasa menyilaukan.
— 🥀 —
Setelah hampir sebulan terjebak di rumah sakit, William akhirnya diberikan izin untuk pulang. Dengan langkah kaki ringan dan tas berisi beberapa baju, William melangkahkan kaki keluar dari rumah sakit.
Sinar matahari masih terasa sedikit menyilaukan, namun tak semenyebalkan dulu. William berjalan-jalan sebentar di taman rumah sakit, menyapa beberapa pasien yang tengah berjemur sebelum lanjut berjalan menuju parkiran dimana mobil Vauxhall Corsa putih baru saja parkir dengan terburu-buru.
William tersenyum, mengetukkan tangannya pada kaca kemudi sampai akhirnya kaca jendelanya diturunkan, memperlihatkan iris biru Sherlock yang sedikit panik. Dia buru-buru membuka kunci mobil dan membantu William memasukkan beberapa barangnya ke dalam mobil. Sherlock menggaruk tengkuk, "Maaf, aku sempat terjebak macet tadi," Ucapnya.
"Aku juga baru saja selesai jalan-jalan di taman rumah sakit tadi," balas William dengan tawa ringan.
Sherlock mengangguk paham. Dia memasang sabuk pengamannya. Sebelum menancapkan gas, ia melirik William seolah bertanya apakah si lelaki bersurai emas sudah siap atau belum yang dibalas dengan senyuman lebar dari si surai emas. Setelahnya mobil pun meninggalkan rumah sakit menuju jalanan ramai kota London di musim panas.
— 🥀 —
Mereka berhenti di tempat dengan papan nama Abney Park Cemetery Trust di depannya. Tidak butuh waktu lama bagi Sherlock pun William untuk keluar dari mobil dan mulai berjalan menelusuri area pemakaman yang begitu sepi.
Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua serta burung-burung gereja yang hinggap pada batang pohon rimbun di sekitar jalan pemakaman. William bahkan sudah lupa kalau jalan pemakaman seharusnya sepi seperti ini, karena ia tak pernah sekalipun menginjakkan kaki kemari semenjak August dikebumikan. Pada hari itu juga, William terasa berada di atas angin, terombang-ambing tak pasti dan semuanya selesai begitu ia sadar.
Terlalu banyak melamun, tak sadar kalau mereka sudah sampai di depan pusara dengan nama Charles August Milverton terukir pada batunya. William menarik nafas panjang, ia meletakkan buket berisi bunga di dekat nama Milverton, berdo'a sejenak sebelum mulai membuka mulutnya.
"August, ini aku," — adalah kalimat pertama yang diucapkannya.
William dapat merasakan tangannya bergetar. Takut? Sedih? Cemas? Gelisah? Merasa bersalah? Mungkin semuanya, mungkin juga karena ia tak sanggup ingin melanjutkan perkataannya. Tangannya bergetar hebat, walau ia telah berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas, tubuhnya tak kunjung berhenti bergetar.
Kemudian hangat dirasakannya. William sedikit menoleh, mendapati tangan Sherlock mengenggam tangannya yang bergetar. Sherlock melemparkannya sebuah senyum seolah memberi tahunya kalau semua tidak apa-apa. William pun membalas senyumannya, menarik nafas dalam-dalam sekali lagi.
"Aku datang mengunjungimu, bukan karena aku merindukanmu, mungkin aku memang merindukanmu, tapi bukan dalam artian itu kalau kau paham maksudku."
"Terakhir kali kita bertemu di dalam mimpi, entah mimpi atau bukan, tapi kau berkata kau menyayangiku dan karena kau menyayangiku kau ingin aku menemukkan kebahagiaanku. Sejujurnya aku tak paham maksudmu saat itu, tapi setelah beberapa kali aku memikirkannya, beberapa kali Sherlock, orang ini, membantuku, aku akhirnya paham maksudmu August."
Suara William mulai pecah karena tangisannya, dalam hati ia memang merindukan August, ia pernah mencintainya dan cinta mereka berdua adalah cinta yang dalam di antara dua orang. Tapi William belajar, kadang melepaskan lebih baik daripada mempertahankan.
"August, terima kasih untuk segalanya selama ini. I Loved you. Tapi sekarang saatnya aku menghentikan ini, dan saatnya bagimu untuk pergi dari kelamku," William menarik nafasnya, "Selamat tinggal, Charles August Milverton. It's a blessing that God give me you. Thank you for everything."
Musim panas tahun itu, William melepaskan segalanya. Masa lalunya, cinta lamanya, traumanya, segala-gala dari bayangan kelam masa lalunya. William James Moriarty kini tak lagi terjebak dalam problematika Lengkaranya. Karena William telah merelakan semua, menghapus seluruh sedih dan kelamnya dengan tawa dan air mata.
— 🥀 —
❝ The worst part of holding the memories is not the pain. It's the loneliness of it. Memories need to be shared. ❞
— Lois Lowry, The Giver.
— 🥀 —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top