🥀 - Melankoli sang Tuan Merah 01
Pada akhir hidup seseorang, ada kisah yang mengatakan kalau orang tersebut akan melihat kilas balik kehidupan mereka dari lahir hingga momen kematian mereka. Momen dari mereka lahir, berteriak menangis layaknya kesetanan ketika keluar pertama kali dari rahim Ibu mereka sampai dengan momen mereka di sapa oleh malaikat maut dan memberi izin agar nyawa mereka dicabut.
Tapi William tidak menemukan kilas balik kelahiran maupun kematiannya. Ia hanya menemukan kilas balik kematian August sebelum menemukan dirinya kembali berdiri di hamparan luas padang bunga dengan langit biru yang terlalu biru. Suara air yang samar digantikan dengan kicaunya burung tanpa nama. William tidak menemukan dirinya bertemu dengan malaikat maut atau penjaga gerbang kematian seperti cerita-cerita dari buku. Tidak ada malaikat kematian, tidak ada penjaga gerbang, tidak ada apa-apa selain dirinya, hamparan bunga Aster putih dan langit biru yang terlalu biru.
Bunga aster putih selalu mengingatkan William akan August. Kuningnya putih dari bunga mengingatkannya akan emasnya mata August dan putihnya kelopak selalu mengingatkannya akan surai perak keputihan si mantan kekasih. August sendiri, memang memiliki kesukaan tersendiri terhadap bunga aster putih. William selalu menemukan buket berisi aster putih alih-alih mawar seperti kekasih pada umumnya pada hari-hari penting mereka. Tetapi ia tak pernah protes, toh, bagi William, bunga sudah cukup melambangkan rasa cinta besar August kepadanya.
Sejujurnya, William pun tak tahu menahu apa arti dari aster putih. Ia sering mendengar kalau artinya kemurnian dan kepolosan, namun, mengingat August itu orang seperti apa rasanya bukan itu. Mencari tahu sendiri pun rasanya tak terlalu bermakna, jadi William selalu menunggu August memberi tahu arti sebenarnya. Walau hari itu tak pernah tiba.
Si surai emas menghela nafas. Pandangan sekali lagi ia arahkan ke sekeliling hamparan bunga aster putih yang terlalu harum dan langit biru yang terlalu biru. Samar-samar, namun pasti, William melihat sesosok orang lain tak jauh dari tempatnya berdiri. Dari tempatnya, orang tersebut tak terlihat jelas, hanya berupa bayang-bayang warna pantulan sinar matahari walau sebenarnya tak ada matahari di langit biru yang terlalu biru.
Karena William penasaran, dan karena ia tak mau sendirian di hamparan bunga aster putih yang terlalu harum dan langit biru yang terlalu biru, William berlari kecil menghampiri sosok kabur di tengah hamparan tersebut. Teriknya pantulan matahari —sekali lagi, walau sebenarnya tidak ada matahari di langit biru yang terlalu biru, sinarnya tetap ada karena sejatinya langit yang cerah merupakan kerja keras cahaya matahari juga.— juga terangnya pantulan cahaya di hamparan antah-berantah membuat William kesulitan untuk mengetahui atau mengenali sosok tersebut walau ia sudah berjarak cukup dekat. cukup dekat artinya ia sudah dekat tapi belum sangat dekat untuk tahu dan melihat lebih jelasnya, siapa sebenarnya sosok misterius tak jelas itu.
Sosok itu tiba-tiba berbalik, entah karena ayunan angin, atau karena ia mendengar suara langkah kaki keras William di hamparan bunga aster yang terlalu harum. Sosok itu berbalik, memperlihatkan wajahnya dengan jelas walau William masih cukup dekat. Sosok jangkung berbalut jas berwarna kelabu dengan rambut yang disisir ke belakang, serta kacamata bulat yang sangat amat William kenal.
Rasanya lidahnya kelu, tubuhnya berhenti bergerak, William hanya diam di tempat dan memandang tidak percaya dengan mata terbelalak. Ia ingin bersuara, setidaknya memanggil, tapi hanya ada suara inkoheren tak bernada yang keluar dari mulutnya. Mungkin ia sudah kehabisan kata-kata, mungkin juga ia terlalu tak percaya. Tapi William tetap diam membatu dengan suara inkoheren keluar dari mulutnya walau sosok di depannya perlahan berjalan mendekat hingga mereka saling berhadapan.
"William," panggilnya.
Suaranya tak terlalu rendah, namun tak terlalu tinggi juga, berada di oktaf tengah-tengah yang selalu membuat William nyaman setiap kali mendengarnya. Dan, karena William sudah sangat lama tidak mendengarnya, air matanya tumpah begitu saja. Ia tak banyak bicara selain akhirnya merengkuh sosok di hadapannya dengan kencang. William menangis, meraungkan nama kasihnya dalam tangisan hebatnya.
Sudah berapa lama sejak ia merasakan hangatnya tubuh August? Merasakan rengkuhan tangan kekar dari kekasihnya, mendengarkan detak jantung dengan ritme teratur dari lelaki di hadapannya. Rasanya hangat, nyaman, sebuah perasaan yang telah lama tidak William rasakan. Bohong jika William bilang dia tidak merindukan perasaan ini, sejujurnya dia sangat rindu rasanya direngkuh oleh tangan besar si surai perak keputihan.
Di padang berisi bunga aster putih yang terlalu harum dan langit biru yang terlalu biru, tak ada sepatah kata yang mereka katakan selain dari panggilan beserta isakan dari William kepada August. Tangisan dari seorang William yang telah hancur hampir sepenuhnya, yang terdengar seperti ringkihan anak kecil ketika jatuh di tempat bermain dan terluka. Karena sejatinya William masih menyimpan jiwa masa kecilnya yang kesepian.
— 🥀 —
William berhenti menangis setelah beberapa saat. Wajahnya masih merah, matanya pun masih sembab. Tampilannya seperti anak remaja yang baru saja diputuskan kekasih semasa SMAnya, tetapi tampilan ini jauh lebih baik dari tampilan William sehari-hari. Jauh lebih baik berarti tampilan William sebelumnya adalah sangat buruk atau jauh lebih buruk. Yang jelas, potret seseorang yang patah hati saat masa remajanya jauh lebih baik daripada potret William setiap harinya.
"William," August akhirnya membuka suara setelah sekian lama diam menatap paras elok sang kekasih lama di hadapannya.
William membalas dengan memangil "August," dengan suara paraunya.
August tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap pipi William dengan pelan. Dia tak tahu apa yang harus di ucapkan untuk saat ini. Bertanya kabar adalah hal mustahil karena August tahu betul bagaimana kabar William selama ini. Ia tahu bagaimana William belum benar-benar melepaskan kepergiannya setelah kecelakaan penuh dengan darah. Orang biasa pun bisa merasa trauma dengan hal itu, apalagi dengan William, seseorang yang hampir sepenuhnya sembuh dari trauma sebelumnya.
Lamunan August terhenti ketika ia mendengar William bertanya, "August, apa ini artinya aku sudah mati?" dengan naifnya.
August menggeleng, "Belum, kau belum mati. Ini alam di antara dua, hidup dan mati." Jawabnya.
Bohong jika August bilang dia tidak melihat kekecewaan pada wajah William. Kekecewaan yang dengan jelas berkata sayang sekali kepadanya dengan helaan nafas berat disertai muka menekuk tak sedap dilihat. August mengerti, mungkin malah terlalu mengerti kalau William sudah berkali-kali mencoba untuk membunuh dirinya sendiri agar bisa bertemu dengannya. Tapi itu hal mustahil dan selamanya akan menjadi mustahil.
"August, kamu tidak mau membunuhku?" Tanya William.
August menggeleng, "Tidak mungkin aku berani," dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Hidupmu masih sangat panjang William. Jangan mengakhirinya dengan sia-sia."
Seolah tak terima, William berseru "Tapi terlalu hampa rasanya jika tidak bersamamu! August, aku ini sangat merindukanmu!"
August menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia menarik nafas dalam-dalam, sebuah kebiasaannya ketika akan berbicara sesuatu yang serius. William hafal kebiasaan itu, tetapi ia tak mau tahu apa yang akan dibicarakan serius dengan August, jadi dia membuka mulutnya untuk kembali mengeluarkan argumen, namun August menautkan jemarinya pada jemari William, sedikit meremasnya, seolah meminta William untuk diam dan mendengarkan.
"William," Ia diam, menarik nafas, lalu melanjutkan ucapannya dalam suara parau, "Kita ini Lengkara. Kita tidak mungkin bersama."
William menggeleng, meremas tautan jemari mereka seolah berharap, "Kalau begitu aku akan menyusulmu! Kita bisa bersama lagi, kita—"
"William," Potong August.
"William, kamu tahu betul kalau kita ini sudah tidak lagi bersama. Kau dan hidupmu. Aku tidak patut untuk diingat, aku hanya sebuah halaman dari buku usang pada lemari memorimu William. Tidak ada gunanya merasa bersalah, menyakiti dirimu, mencoba untuk mengakhiri hidupmu, hal lainnya yang tidak akan membuatmu merasa lega, William, hidupmu masih panjang," August menarik nafas,
"Karena itu, aku mohon. Lupakan aku. Kita ini Lengkara, tidak mungkin kita bisa bersama walau semua kemungkinan sudah kau coba. Dan aku, aku, aku tidak mau seseorang yang aku cintai begitu sengsaranya hingga melakukan hal ini," August mengusap bekas luka pada tangan William. Dia kemudian melanjutkan, "Aku hanya ingin kebahagiaanmu William, dari dulu, sampai saat ini pun aku hanya ingin melihatmu bahagia walau aku tidak lagi ada di sisimu."
Iris emas August menyipit karena senyumnya, dia mengecup dahi William dengan hati-hati seolah pria di hadapannya akan runtuh seketika jika ia melakukannya terlalu kasar. Sebuah hal, atau mungkin kebiasaan yang dilakukan August selama ia bersama dengan William. Sebuah gerakan lembut agar William tak merasa ketakutan. Meski begitu, gerakan yang sama itu kini dipenuhi dengan kesedihan. Kesedihan lirih, seolah ia akan pergi. Dan kenyataannya memang August akan pergi.
"Permintaanku hanya itu, agar kau selalu tersenyum dan bahagia. Karena, William, orang-orang yang mencintaimu masih sangat banyak di sana." Lanjutnya, mengakhiri ucapan panjang menyerupai ocehannya.
Langit biru yang terlalu biru seolah menghilangkan sebagian dari birunya, padang berisi bunga aster putih yang terlalu harum juga ikut menghilangkan harumnya. Begitu pula, August, sosoknya perlahan berubah menjadi seperti kelopak bunga yang tersapu angin. William berusaha menahannya, memeluk sosoknya yang perlahan menghilang layaknya buih pada lautan.
August menyelipkan anak rambut liar ke belakang telinga William, ia kemudian berujar, "William, aster putih memiliki arti Aku mencintaimu dengan sungguh-sungguh —"
"— Dan, karena aku memang mencintaimu dengan sungguh-sungguh, aku selalu berharap untuk kebahagiaanmu." Lanjutnya.
Tubuh August perlahan berubah menjadi kelopak bunga yang tertiup angin sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari William yang dengan putus asanya berusaha untuk mencegahnya pergi. William kini sendiri, di bawah langit biru yang terlalu biru namun sudah menghilangkan sebagian birunya, serta padang bunga berisi aster putih yang terlalu harum namun telah kehilangan sebagian harumnya. William akhirnya merengkuh dirinya sendiri, terisak dengan bahu bergetar dan raungan tak karuan. Ia menangis, sampai akhirnya kehilangan kesadarannya di bawah langit biru yang terlalu biru namun sudah menghilangkan sebagian birunya dan di atas padang bunga berisi aster putih yang terlalu harum namun telah kehilangan sebagian harumnya.
Pada saat kesadarannya lenyap, saat itulah William mendengar namanya diserukan oleh suara yang asing tetapi tak begitu asing baginya. Tetapi, William terlalu lelah, jadi ia hanya membiarkan dirinya kembali tertidur, direngkuh sekali lagi oleh gelapnya dunia.
— 🥀 —
Ketika dia bangun, William tahu dia tak lagi berada di alam antara hidup dan mati, tetapi rumah sakit yang terletak tak jauh dari Apartemennya. Langit-langit bercat putih serta bau obat yang terlalu familiar baginya membuat William dengan cepat tahu dimana dia berada. Tidak seperti alam antara hidup dan mati, disini tidak ada langit biru yang terlalu biru atau hamparan bunga aster putih yang terlalu harum. Disini hanya ada orang-orang sakit, obat-obatan untuk orang sakit, serta tenaga kerja untuk merawat orang sakit.
William bangun dengan perlahan, ia mengerjapkan mata, menyesuaikan pandangan sekitarnya ke dalam benak. Setelah menyesuaikan pandangan, barulah ia sadar kalau di sebelahnya ada si bodoh —ini adalah pendapat William, jika kalian lupa, William juga menyebut Sherlock dengan si bodoh pada bab sebelumnya— Sherlock Holmes yang tertidur pulas pada sofa berwarna putih kamar rawatnya.
Baru kali ini William melihat postur Sherlock ketika tidur. Surai biru yang biasa diikat model ekor kuda kecil sedikit berantakan dengan anak rambut mencuat disana-sini. Di bawah mata Sherlock ada kantung mata, meski tak terlalu terlihat, kantung mata itu cukup untuk membuktikan kepada William kalau Sherlock mungkin tidak tidur selama beberapa hari mungkin untuk menunggunya siuman.
Pandangan William kini beralih ke kedua tangannya. Lukanya telah dijahit dan diperban, juga ada sebuah selang infus tertancap pada salah satunya. Sayatan samar bekas ia melukai diri diberi perekat luka, yang baru William sadari, ternyata cukup banyak. Dia melamun, menyentuh luka-luka sayatannya dengan pelan. Tak ada lagi rasa sakit atau perih dari luka-luka itu, namun William ingat setiap momennya. Setiap sayatannya memiliki cerita, cerita yang menyedihkan.
Mungkin karena terlalu fokus melamunkan cerita dari masing-masing luka sayatannya atau mungkin karena Sherlock bangun tanpa mengeluarkan suara, William tidak menyadari kalau kini si surai biru telah sepenuhnya sadar dari tidur lelapnya. Sherlock, dengan wajah masih terkantuk walaupun sudah sadar, memandang William yang tengah melamun menatap tangan putih nyaris pucat penuh perekat lukanya.
"William," Panggil Sherlock.
William berhenti melamun. Dia menoleh patah-patah ke tempat dimana Sherlock seharusnya masih terlelap tidur. Sherlock — yang menurut William harusnya masih terlelap sampai 2 atau 3 jam ke depan — menatapnya lekat-lekat dengan mata biru gelapnya, seolah sedang menganalisis sesuatu. Sejujurnya, tatapan Sherlock lebih mirip dengan seseorang yang tengah mengamati perilaku aneh kucing peliharaannya ketimbang mengamati William. Mungkin sebenarnya Sherlock melihat tingkah laku William seperti kucing? Entahlah! Lagipula, tidak mungkin ada kucing yang membunuh dirinya sendiri kecuali karena ketidak sengajaan bukan?
"Aku akan panggil dokter," Sherlock akhirnya membuka suaranya.
William tidak mengangguk tanda setuju ataupun menggeleng tanda tidak mau. William hanya diam, menatap punggung Sherlock yang perlahan berjalan menuju pintu kamar rawat inapnya sebelum berhenti di tengah-tengah jalannya untuk kemudian berbalik ke arah William. Sherlock menggaruk tengkuknya, menatap William dengan setu alis terangkat seolah sedang gusar.
"Louis.... Louis menceritakan semuanya kepadaku," Ucapnya setelah mungkin menimbang-nimbang dalam pikiran, haruskah Sherlock memberitahu William kalau Louis sudah memberi tahu hampir keseluruhan dari masalah.
William tidak membalas ucapan Sherlock selain memandang si lelaki bersurai biru seolah menatap ruang hampa. William tidak memperlihatkan segelintir emosi, hanya netra merahnya yang seolah berbicara kalau dirinya berada dalam tahap hampa.
Sherlock mengerti bagaimana itu tahap kehampaan atau tahap hampa. Ia sudah melihat bagaimana Ibunya, selama 5 tahun berada dalam fase hampa akibat trauma. Sherlock tahu seseorang bisa masuk tahap kehampaan, tapi yang ia tak tahu adalah bagaimana mengatasinya. Ibunya, selama 5 tahun berada di tahap kehampaan, akhirnya memutuskan untuk menghadapi traumanya. Dan pada akhirnya, senyum Ibunya kembali.
Tapi William, William bukanlah seseorang yang dengan mudah menghadapi trauma atau sumber dari traumanya. William sudah terlalu pasrah. Dan, ketika seseorang sudah pasrah ia akan membiarkan apa saja terjadi tanpa memedulikan resiko atau akibatnya.
Sherlock yakin, ia bukanlah kriteria orang yang pantas untuk menyemangati atau memberikan William wejangan. Sherlock hanyalah caretaker untuk William, dengan umur bertemu yang tak lebih dari 5 hari semenjak ia datang di depan pintu Apartemen berantakan si surai emas. Meski begitu, ia setidaknya harus. Karena itu adalah tugasnya sebagai Caretaker, motivasinya untuk membantu mereka yang terjebak dalam problematika Trauma baik ringan maupun berat.
"William," Sherlock memanggilnya, "Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, atau mungkin aku bukanlah orang yang tepat untuk mengatakan ini," Lanjutnya, "Tapi William, kau harus tahu,Time doesn't heal emotional pain, you need to learn how to let go."
Setelah mengatakannya, Sherlock melanjutkan langkahnya menuju pintu kamar rawat inap William dan membukanya. Tetapi, ia berani bersumpah kalau dia mendengar William berbisik dalam suara yang sangat amat pelan, "Roy T. Bennett, The light in the heart," sebelum akhirnya pintu berwarna putih pucat itu Sherlock tutup dengan bunyi tuk yang tak terdengar di lorong ramai rumah sakit.
Itu adalah suara, ucapan, kalimat pertama yang diucapkan William semenjak ia bangun dari koma. Walau bukan sesuatu yang mengesankan, tapi itu cukup membuat Sherlock yakin, lebih tepatnya berharap, kalau William, dengan perlahan-lahan pasti bisa sembuh dari fase kehampaan miliknya. — Dengan pikiran seperti itu, Sherlock berjalan, melompati beberapa langkah menuju meja administrasi untuk memberitahukan kalau pasien atas nama William James Moriarty telah bangun dan berada dalam kondisi sadar total dari koma 3 harinya.
— 🥀 —
❝ And perhaps there is a limit to the grieving that the human heart can do. As when one adds salt to a tumbler of water, there comes a point where simply no more will be absorbed. ❞
— Sarah Waters, The Little Stranger.
— 🥀 —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top