🥀 - Melankoli sang Tuan Merah 00
Ada hamparan berisi bunga, ada suara aliran sungai jauh entah dimana, juga langit biru yang rasanya terlalu biru untuk dilihat. Jujur saja, biru dari langit sebenarnya tak terlalu biru jika dilihat-lihat dengan cermat. Mau secerah apa hari itu, langit yang memayungi bumi akan selalu terlihat sedikit lebih kotor. Langit sebenarnya memiliki fungsi, tapi William sejujurnya tak begitu ingat apa fungsi dari langit itu sendiri walau sebenarnya pernah diberitahu oleh seorang Pastor di Panti Asuhan dulu saat kebaktiannya. Yang ia tahu, langit adalah sesuatu untuk dilihat baik bagi orang yang hidup, pun mati.
Perbedaannya, langit akan selalu terlihat begitu cerah di mata mereka yang akan mati, atau mereka yang berada di alam mimpi, atau keduanya atau ketiganya dengan syarat orang itu berada dalam fase ambang antara hidup dan mati. Kalau William, William adalah ketiganya, karena ia sangat yakin kalau ini adalah fase ambang antara hidup dan mati.
Bagaimana dia bisa sangat yakin? Jawabannya mudah, William ingat telah mengiris pergelangan tangan dan menenggelamkan diri saat Sherlock pamit berbelanja. Sherlock — menurut William— bodoh juga sih, sudah tahu William pasien dengan gejala bunuh diri, malah ditinggal pergi berbelanja tanpa pengawasan. Dia memang bodoh dan sok tahu, jujur sekali lagi, William masih berat hati mengingatnya menukar piringan hitamnya.
Bodoh dan sok tahu, sebenarnya Sherlock mirip dengannya, seseorang yang bodoh dan sok tahu. Mau disanggah berapa kali pun memang benar kenyataannya kalau William ini bodoh dan sok tahu. Dikata kalau ia seorang jenius Matematika tak bisa mendefinisikan apa itu rasa klise Cinta. William si bodoh ini sebenarnya tak patut untuk menjadi tokoh utama dalam cerita yang fiktif namun tak sepenuhnya fiktif ini.
Betul, tokoh utama dalam cerita ini sebenarnya bukan William. Cerita ini juga sebenarnya bukan tentang dia atau si bodoh — sekali lagi, ini adalah pendapat William— Sherlock. Bagi kalian yang tahu, maka kalian pasti paham maksudnya. Tapi William yakin pasti ada di antara kita yang tak tahu, karena itu, sekali lagi akan ia jelaskan kalau ini bukanlah ceritanya. Ini memang tentangnya, tapi tak sepenuhnya hak miliknya. Kalian harus tahu kalau sebenarnya seorang Protagonis dalam cerita bukanlah tokoh utama, melainkan tokoh yang paling banyak disorot dan diceritakan.
Nah, karena sekarang kalian sudah paham maksudnya —kalau belum, William sangat amat menyarankan kalian baca perlahan dari awal, atau kalian benar-benar tidak akan paham apapun dari bab ini sama sekali.— Protagonis pada bab ini bukanlah William dengan Sherlock, atau dengan Louis, ataupun dengan Moran. Protagonis kali ini adalah ia dan Charles August Milverton. Panggilan singkatnya adalah August. August disini berperan sebagai kekasihnya. Kekasih yang telah ia bunuh.
— 🥀 —
Bagi kalian yang memiliki trauma tertentu, hidup bersama bayangan trauma itu tentu bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan. Kalian akan terus meras gelisah, paranoid, cemas, takut, tak jarang sampai di satu titik dimana kalian akan muak melihat orang lain. Orang-orang dengan trauma mereka lebih banyak diam jika persoalan tersebut di angkat, mereka lebih memilih untuk tersenyum dan mengalihkan topik, atau pada beberapa kasus tertentu hanya membahasnya sedikit sekali yang artinya tak semua dibahas dalam satu rentetan nafas percakapan.
Perbedaan signifikan dari seseorang yang sedang dibayangi trauma dan seseorang yang telah keluar dari trauma adalah tingkah laku mereka. Ini sebenarnya bukan penelitian formal, tetapi pengetahuan berdasarkan pengamatan, juga pengalaman. Ketika seseorang sudah berhasil melewati fase traumatik tertentu, mereka akan lebih terbuka soal diri dan masa lalu mereka walau tak selamanya semua hal mereka umbar. Perlu kalian ingat, mereka juga bukan tipe orang yang berseru hei! aku punya trauma ini loh! kepada orang lain. Mereka hanya akan membahas trauma mereka apabila seseorang membahasnya atau berkata sesuatu mengenai hal itu.
William, adalah seseorang yang berada di tengah-tengah kedua fase tersebut. Ia masih dibayangi trauma masa lalunya yang mana ia diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh Ibu tirinya karena perkara rumah tangga tak masuk akal. William sudah bolak-balik menemui Psikiater untuk mengobati trauma beratnya, hingga dia akhirnya bisa bertatap muka dengan orang lain selain dari Kakak, Adik, juga Ayah —William lebih nyaman memanggilnya Tuan Moriarty, atau Pak Tua sesuai panggilan Louis— yang sebenarnya adalah Ayah tiri karena ia mengadopsi William serta Louis, bukan membuat apalagi melahirkan mereka berdua.
Ayah tiri mereka sadar kalau trauma dan perlakuan kejam dari mantan istrinya itu akibat dari kelalaiannya dahulu —padahal memang benar kalau istrinya memiliki gangguan jiwa, Tuan Moriarty tetap tidak mau mengakuinya karena dia merasa semua murni kesalahannya— Pada akhirnya, Tuan Moriarty jarang menunjukkan wajahnya dan hanya meninggalkan uang dengan jumlah tak sedikit untuk biaya hidup serta pengobatan William. Sampai sekarang pun, Tuan Moriarty masih tetap enggan menemui William karena merasa bersalah atas perbuatannya.
Ia tentu tetap mendapat laporan tentang perkembangan William dari beberapa teman, juga kadang-kadang, Albert. Informasi paling menyenangkan baginya adalah ketika William dikabarkan hampir sepenuhnya sembuh dari traumanya. Hampir sepenuhnya sembuh artinya William tak seratus persen sembuh, juga tak seratus persen tak sembuh, William berada di tengah-tengah yang artinya traumanya bisa saja muncul sewaktu-waktu jika ada pemicu. Meski begitu kabar hampir sepenuhnya sembuh pastilah sangat menyenangkan.
Bagi William sendiri, kabar itu tak banyak memberi perubahan untuknya. Ia tetap akan menjalani sesi terapi seperti biasa, sampai ia benar-benar sembuh maka tak banyak yang harus ia rayakan. Sesi terapinya tetap berjalan lancar, ia pergi ke Psikiater, pulang dengan obat atau diagnosa, seperti itu setiap harinya.
Sampai ia bertemu dengan iris Emas di bawah teriknya matahari musim panas. Iris emas milik seseorang bernama Charles August Milverton.
— 🥀 —
August, bagi William adalah lilin di tengah gelap. August adalah orang yang paling mengerti dirinya, sosok penyangga bila ia sudah goyah dan runyam. August adalah seseorang dari sekian banyak manusia di bumi yang bisa mengerti dirinya. August adalah kesempurnaan bagi diri tak sempurnanya.
Sempurna adalah kata yang berat. Sempurna, artinya tak ada kecacatan, meski begitu, William lupa kalau August juga manusia. Karena ia adalah manusia, dan manusia adalah sebenarnya makhluk dengan banyak dosa, maka August juga begitu. Sejatinya August hanyalah manusia biasa bagi William yang tidak biasa. Tugas August tak lebih sebagai penetral, bukan penyelamat, pun penyembuh. August bukan Tuhan yang bisa melakukan segala-galanya tanpa hambatan. Sekali lagi, August hanyalah manusia biasa.
Dan, karena ia adalah seorang manusia biasa, maka August juga bisa melakukan kesalahan. Kadang kesalahan biasa, namun tak jarang juga ia melakukan keasalahan luar biasa. Bila diberi contoh, mungkin kesalahannya lupa mematikan keran air di kamar mandi sehingga apartemennya dan William banjir hingga ke ruang tengah mereka. Atau kejadian dimana August meletakkan ponselnya di ujung meja di balkon mereka sehingga ponsel seharga 37 Euro jatuh ke lantai 1 —bagi kalian yang tidak tahu, lantai apartemen August dan William adalah lantai 12— dan pecah berantakan.
Itu adalah dua dari sekian kesalahan besar yang dilakukan August. Kesalahan-kesalahan memanglah hal wajar, namun kadang kesalahan besar ada yang tidak bisa kita wajarkan. Sebut saja salah satu kesalahan besar August, yang ditemukan William, dan tidak bisa dihindarkan, adalah ketika August terlihat keluar bersama seorang wanita lain dari restoran berbintang.
Ketika seseorang memiliki trauma, maka mereka punya pemicu. William adalah seseorang dengan trauma hampir sepenuhnya sembuh yang berarti ia masih memiliki pemicu untuk traumanya. Ketika sebuah pemicu datang, maka seseorang dengan trauma akan melakukan banyak hal tak biasa walau dirinya biasa saja. Seperti William yang berteriak histeris dan langsung menghampiri August untuk menamparnya di wajah.
Mereka bertengkar hebat, August berkata ia tidak salah karena wanita itu adalah rekan kerja bergaris miring temannya di hotel. Ia tak memiliki hubungan selain dengan William.
Bagi William, August tentu salah karena tak memberitahunya lebih dahulu, dan ia tak mengenali wanita itu meski sudah dijelaskan. William tak langsung percaya karena pemicu yang ia miliki telah ditarik. William bertingkah tak wajar, berteriak dengan nada tinggi, wajahnya memerah, tangannya meremas dan memukul August walau sang lelaki berusaha menenangkan.
Saat seseorang berada dalam hubungan, ada yang namanya kepercayaan. Kepercayaan ini sendiri seperti pisau bermata dua. Jika terlalu percaya kadang kita bisa dibodohi, jika tak percaya maka akan ada sebuah retakan kecil pada hubungan. Kepercayaan adalah hal yang sulit untuk dimaknai, karena itu banyak dari hubungan yang retak akibat kepercayaan ini.
August, kepada William, sudah sangat percaya kepadanya. William, kepada August, sudah sangat amat percaya kepadanya. Karena mereka sudah saling sangat percaya dan sangat amat percaya, mereka saling menyalahkan karena mereka merasa saling terkhianati. Padahal, jika mereka membicarakannya baik-baik, semua akan baik-baik saja. Walau tak tahu betul apakah setelah ini hubungan mereka akan berlanjut, setidaknya untuk sesaat, mereka akan baik-baik saja.
Semua akan baik-baik saja jika William tak berlari dengan sembarang menuju jalan penuh mobil. Seperti film drama pada televisi, dimana si tokoh Protagonis nyaris tertabrak dan diselamatkan oleh belahan jiwanya, lalu mereka jatuh cinta, menikah, bahagia selama-lamanya. William mengalami hal itu, ia adalah hampir menjadi protagonis dalam ceritanya, protagonis yang nyaris tertabrak bus berkecepatan 52 kilometer per-jamnya kemudian diselamatkan oleh si belahan jiwa.
Sayangnya, William bukanlah seseorang yang hidup di dalam dunia fantasi drama dengan beribu kemungkinan kebahagiaan. William adalah William, yang hidup di dunia realita, dan realita bisa menjadi keji kapanpun mereka mau. Realita adalah karma adil, membagi bahagia dan sengsara dengan porsi tertentu walau sebagian besar orang selalu mendapat sengsara, seperti William.
Bunyi klakson bus, suara tubuh yang tertabrak, riuhnya orang-orang, serta rasa fana rintik hujan pada tubuhnya. William menatap iris emas terbelalak menatapnya terakhir kali, sebelum tubuh si empunya hancur lebur tertabrak onggokkan besi berwarna merah serupa dengan cipratan darah dari tubuh August. Bau anyir bercampur bau lembab hujan, pertanda berakhirnya musim panas. William telah kehilangan kebahagiaannya. Hancur lebur tak berbentuk, kebahagiaannya telah direngut di depan matanya, setelah pertengkaran hebat tak berakhir mereka.
Itu adalah kisah, bagaimana trauma hampir sepenuhnya sembuh William, berubah menjadi belum sembuh sama sekali yang membawanya menjadi William sekarang ini. William yang takut akan orang-orang dan dunia luar, William yang selalu merasa bersalah dihantui oleh mimpi-mimpi akan kejadian bertahun-tahun lalu, William yang selalu mencoba mengakhiri dirinya sendiri. William, si protagonis malang. Terkurung dalam problematika Lengkara ia dan kasih lamanya, August, yang telah direngut darinya.
— 🥀 —
❝ For all sad words of tongue and pen, The saddest are these, 'It might have been'. ❞
— John Greenleaf Whittier.
— 🥀 —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top